Sirene di Balik Kasus M Yusuf

Sirene di Balik Kasus M Yusuf
10 Maret 2019 | MediaCentre

Hadir sebagai manifestasi atas UU 40 Tahun 1999, Dewan Pers nyaris tak sepi dari rongrongan mereka yang anti karena kepentingannya terusik. Kebijakan Dewan Pers mengawal verifikasi Perusahaan Pers, dan Uji Kompetensi Wartawan pun digugat. PN Jakarta Pusat telah memutus langkah Dewan Pers sudah tepat. Sebaliknya materi penggugat dinilai kabur dan tak relevan. Dengan demikian profesionalisme wartawan menjadi agenda khusus dan prioritas. 

 

Menjaga netralitas dan peka terhadap aspirasi publik adalah panggilan jati diri pers nasional. Dewan Pers menjadi payung sekaligus garda terdepan untuk ini. Sejumlah catatan mengiringi, menjadi jejak positif, berikut sejumlah koreksinya. In-siden kekerasan terhadap wartawan, perlindungan saat melakukan tugas, dan duka karena beberapa menjadi korban, bahkan meninggal merupakan lampu kuning untuk terus siaga. Sirene tanda bahaya ju-ga telah menyalak, profesionalisme wartawan adalah mutlak. Tidak bisa ditawar-tawar lagi.  
Kematian M Yusuf menghadirkan catatan tentang profesionalisme wartawan. Tidak itu saja, perlindungan wartawan juga menjadi agen-da yang lain. Kasus ini (kematian M Yusuf ) menjadi pemantik, betapa dunia pers masih rawan. Rawan dan aktivitas jurnalistik itu rentan disalahgunakan. Kasus M Yusuf seperti sirene atau mungkin lebih tepat alarm tanda bahasa. 
Dua pesan penting setidaknya menjadi tengara, pertama profesio-nalisme wartawan sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kedua, seluruh stakeholder pers perlu bersinergi membangun kehidupan pers yang lebih bermartabat. Perlindungan hukum jelas, dan yang tak kalah pentingnya adalah upaya upaya peningkatan kesejahteraan menjadi kebutuhan yang mendesak.

Langkah Dewan Pers mengi-nisiasi adanya MoU dengan be-berapa pihak, seperti Polri, Kejagung, Mahkamah Agung, BNPT, Kementerian Pemberdayan Perempuan dan Pembelaan Anak, serta Mabes TNI patut diapresiasi. Tentu dalam implementasi kebijakan ini perlu penguatan di lapangan. Diseminasi publik harus terus di-lakukan agar masyarakat memiliki kesadaran  yang sama. 

Terkait dengan profesionalisme wartawan, aspek yang perlu mendapatkan tekanan adalah menyangkut kesadaran meneguhi Kode Etik Jurnalistik. Pada kasus M Yusuf mengacu investigasi yang dilakukan PWI dan Dewan Pers tersirat aktivitas jurnalistik yang ditempuh melampui batas-batas yang ada.
Pemberitaan berulang-ulang dan hanya menyuarakan salah satu pihak mencederai prinsip-prinsip keberimbangan cover both side. Materi berita sebagian besar mengandung opini yang menghakimi, tanpa keberimbangan dan mengindikasikan: adanya itikad buruk, tidak bertujuan untuk kepentingan umum, dan tidak sesuai dengan fungsi dan peranan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UU NO 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam sejarah Pers Indonesia tercatat sejumlah jurnalis meninggal sedang bertugas  dan penangaannya tidak tuntas. Selain Udin ada lagi di Bali, yakni wartawan Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa. 
Aktor dari kasus terbunuhnye Prabangsa - sebagaimana vonis pengadilan - adalah I Nyoman Susrama. Bertepatan dengan Hari Pers Nasional Februari lalu, yang dihelat di Surabaya sempat mencuat kontroversi karena Susrama mendapatkan remisi. Munculnya remisi mengundang sejumlah tanggapan keras. Untuk menyikapinya Presiden Jokowi bertindak cepat dengan mencabutnya. 
Selain Udin (1), kemudian Prabangsa (2) kasus lain yang juga merenggut nyawa wartawan masih gelap penyelesaian dan penuntasannya. Kasus-kasus itu adalah pekerjan rumah bagi kita semua.  
Mencermati dinamika yang terjadi, Dewan Pers sejak era kepemimpinan Prof Dr Ichlasul Amal, kemudian estafet berlanjut di bawah Prof Dr Bagir Manan MCL dan sekarang di penghujung ke-pemimpinan Yosep Adi Prasetyo telah banyak membuat terobosan. Fondasi dasar membangun sinergi dengan stakeholder strategis, khu-susnya MoU dengan Polri, Kejagung dan Mahkamah Agung menjadi pilar penting.
Kasus-kasus pers kini telah menjadi ranah Dewan Pers, ketika pranata dan prasyarat secara kelembagaaan dan legal standing wartawan melaksanakan ketentuan ketentuan sesuai dengan UU 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bahkan kini Polri secara sinergis telah beriringan dalam menyikapi dinamika serta euforia pers bebas yang seringkali kebablasan di lapangan.
Ketidakpatuhan meneguhi kode etik jurnalistik berimplikasi produk jurnalistik menjadi sumber disinformasi. Jika sudah demikian maka kepolisian akan bertindak, sesuai dengan SOP yang telah disepakati bersama dengan Dewan Pers.
Saat ini terdapat sekitar 47.000 media di Indonesia, dan 43.000 di antaranya adalah media online. Ada pun yang tercatat di Dewan Pers dan memenuhi syarat sebagai perusahaan pers hanya 2.400 saja, sedangkan dari jumlah itu yang sehat hanya sekitar 7 persen. Ironisnya di tengah upaya membangun kehidupan pers yang berkualitas, berbagai gerakan yang muaranya merongrong Dewan Pers  masih terjadi. 
Dan cukup memprihatinkan praktik semacam itu jusru dilakukan elemen yang secara subtantif tidak memiliki visi profesionalisme kewartawanan. Jika dilacak lebih jauh institusi yang menaungi belum atau tidak menjadi bagian dari perusahaan Pers yang mengikuti aturan main, yakni berbadan hukum yang menerapkan secara tegas kegiatannya adalah jurnalistik.
Dewan Pers sendiri sejak HPN di Ambon 2017 memperteguhkan sikap tentang perlunya standar kom-petensi wartawan dalam rangka memerangi hoak dan mengikis media abaal abal. Sebagai variabel obyektif langkah yang sudah dilakukan Dewan Pers saat ini tercatat sekitar 15.000 wartawan telah tersertifikasi oleh Dewan Pers. Pengujian dilakukan oleh lembaga uji, terdiri dari perguruan tinggi, lembaga pendidikan, perusahan pers, PWI, IJTI, dan AJI.
Kematian M Yusuf di Kotabaru sempat dijadikan amunisi beberapa pihak untuk mempertanyakan eksistensi Dewan Pers. Pertanyaannya kemudian, jika langkah atau upaya itu dilakukan mereka yang selama ini patuh, taat, dan konsisten melakukan praktek jurnslistik dengan menyandarkan pada Kode Etik Jurnalistik dan secara kewartawanan telah bersertifikasi kiranya masih dapat dipahami. Aneh, ketika indikator primer tersebut tidak dipahami, apalagi dipatuhi, namun mempertanyakan kebijakan yang telah menjadi konsensus masyarakat pers secara nasional.
Untuk itu masyarakat umum dan terlebih khusus insan pers perlu mengetahui, bahwa konstituen Pers Indonesia yang ada saat ini adalah PWI, AJI, IJTI,  ATVSI, ATVLI , SPS, dan PRSSSNI. 
Dewan Pers hanya melindungi praktik pers yang profesional dalam rangka menjaga integritas wartawan Indonesia dan meningkatkan mutu pers nasional. Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepo-lisian Republik Indonesia No 2/DP/MoU/II/2017 dan B/5/II/2017 Tentang Koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan Pers dan penegakkan hukum pers terkait penyalahgunaan profesi wartawan. Nota kesepahaman ini menjadi pe-doman bagi Dewan Pers maupun Polri dalam rangka kordinasi dalam penegakan hkum dan perlindungan kemerdekaan pers. (***)

 

*Drs Jayanto Arus Adi, MM adalah Anggota Pokja Hukum Dewan Pers  



Download