Caleg Selebritis dan Jurnalis

Caleg Selebritis dan Jurnalis
29 Mei 2009 | Administrator

Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Berdasarkan penghitungan suara Pemilu Legislatif 2009 sampai akhir bulan April ini, dipastikan setidaknya 15 artis melenggang ke Senayan. Jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan Pemilu 2004, yang saat itu cuma meloloskan enam artis menjadi anggota legislatif. Meskipun naik tajam jumlahnya, secara keseluruhan persentase artis yang menjadi wakil rakyat hanya 2,6 persen dari total 560 kursi di DPR.

 

Bagi kalangan yang was-was dengan agresi artis ke wilayah politik, angka itu boleh mengundang kerisauan. Kalangan artis telah resmi melewati angka jumlah minimal persentase suara pemilu (election threshold) yang ditentukan KPU, bukan mustahil populasi mereka akan meningkat di masa depan. Kalau saja para artis bergabung mendirikan Partai Selebritis Indonesia (PSI), pada Pemilu 2009 ini, mereka telah menjadi partai terbesar ke-10, dan boleh langsung ikut pemilu 2014.

 

Dengan kultur politik dan politisi di Indonesia yang hampir non-ideologis saat ini, hampir dapat dipastikan lambat laun politisi-tulen bakal tergusur oleh politisi-selebritis. Karena ukuran utama keterpilihan seorang politisi akhirnya adalah pada popularitas. Darrell West, dalam buku “Celebrity Politics”, menulis artis yang terjun ke politik diuntungkan oleh ekspose media. Media, khususnya televisi, merupakan medium ampuh bagi selebriti untuk menuai popularitas. Sistem pemilihan langsung semakin menguntungkan selebriti, karena publik yang abai dengan kualitas politisi, akhirnya menjatuhkan pilihan kepada “siapa saja yang dikenal”.

Pada era Orde Baru, selebriti yang bertaburan di beberapa parpol, semula hanya menjadi penghibur, juru kampanye, atau votegetter. Namun pada era Reformasi, khususnya Pemilu 2009 lebih dari 60 selebritis resmi terdaftar sebagai calon legislatif nomor jadi. Hampir semua partai besar menempatkan beberapa selebriti sebagai caleg. Nampaknya ungkapan yang menyatakan “seorang artis berbakat memilih memainkan peran sebagai politisi besar di panggung, ketimbang berpolitik dengan peran kecil”, tidak berlaku lagi. Ketatnya persaingan dalam casting sinetron, mendorong sejumlah artis bersedia alih profesi: menjadi politisi paruh waktu (part-time politicians).

Tidak ada masalah artis menjadi anggota legislatif, mereka bakal dengan mudah berganti peran dari seorang aktor di layar televisi menjadi aktor politik. Lagi pula mereka terbiasa memainkan berbagai peran dalam dunia sinetron. Berperan sebagai wakil rakyat tentu amat mudah bagi mereka, terutama jika mau mengamini aksioma 3D (datang, duduk, duit) yang lazim dilakukan anggota DPR pada umumnya. Jika terbersit ingin memperjuangkan amanat rakyat, pastilah bukan hal sulit. Mereka cukup membaca, menghafal, dan mengulang platform partai yang mengusung mereka dalam setiap pidato dan sambutan, sebagaimana mereka biasa menghafal naskah skenario film dan sinetron.

Berbeda dengan caleg selebritis yang mengundang perhatian media dan rasa ingin tahu masyarakat, caleg jurnalis tampaknya sama sekali terlupakan. Bukan saja tidak terdapat data seberapa banyak caleg jurnalis yang berhasil masuk ke Senayan, namun eksistensi jurnalis yang berhasil menjadi anggota legislatif nampaknya juga sama sekali bukan menjadi isu yang layak dipedulikan. Memang pada tahap awal pendaftaran calon legislatif pernah diberitakan sedikitnya ada 100 caleg DPR berlatar belakang jurnalis. Namun perhatian terhadap jurnalis yang nyaleg umumnya bernuansa kecaman atau keprihatinan, sedikitnya mempertanyakan itikadnya.

Berkebalikan dari selebritis, yang memanfaatkan media serta diuntungkan dengan ekspose media dalam pemilu, jurnalis yang mencoba terjun ke politik justru lazimnya “dirugikan” oleh media. Bukan saja mereka tidak mendapat ekpose media; beberapa malah diminta mundur atau cuti di luar tanggungan dari perusahaannya, mereka masih harus menghadapi pandangan sinis dari rekan kerja atau komunitas pers karena terjun ke politik praktis, dianggap menggadaikan idealisme, dan semacamnya.

Panggung politik memang kembaran dari panggung sinetron, itu sebabnya sangat mudah bagi selebritis untuk berpolitik dan “feel at home” (ingat ungkapan: politics is show business for ugly people). Wajarlah kalau selebritis lebih sukses dalam merambah wilayah yang berpameo “tidak ada kawan dan lawan abadi selain kepentingan” itu.  Sementara itu, jurnalis kurang sukses berpolitik karena terbebani pameo: “menegakkan kebenaran; menyuarakan mereka yang tidak bisa bersuara; menjadi watchdog,” dan sejumlah prinsip yang seram lainnya.

Lagipula, jurnalis memang lazimnya mengawasi politisi, mempersoalkan dan membeberkan ke publik kinerja politisi tidak beres. Secara kimiawi, ion jurnalis dan ion politisi bertentangan, seperti air dan minyak, tidak bisa campur. Jurnalis tulen tidak tertarik dan tidak terbersit ingin menjadi politisi. Ibarat Satpam yang bertugas mengawasi keamanan gedung dari maling, tentu satpam tulen tidak tertarik mencoba-coba menjadi maling. Jadi kalau dalam Pemilu 2009 caleg jurnalis banyak yang gagal menjadi politisi. Itu adalah kabar baik dan patut disyukuri.

Tapi, karena menjadi politisi merupakan “hak konstitusional;” bagi jurnalis yang tetap ingin menjadi politisi pada pemilu 2014, ada satu tips yang perlu dipertimbangkan: mulailah dengan menjadi selebriti.*

Buletin ETIKA Dewan Pers, April 2009.