Menakar Independensi Media di Tahun Politik

Menakar Independensi Media di Tahun Politik
10 Desember 2018 | MediaCentre

Independensi menilik makna di Kamus Bahasa Indonesia WJS Purwodarminto adalah ketikdaktergantungan. Artinya kalau kata independen dirangkai dengan media (baca pers), maka secara substantif dapat diartikan netralitas pers menghadapi tarik menarik di tahun politik.

 

Bagaimana sikap Per s Indonesia menghadapi tarik menarik seperti itu? Persoalan ini menjadi aktual untuk diurai dan dipetakan karena sikap pers akan menentukan hasil politik pada Pileg dan Pilpres mendatang.
Sekarang misalnya, kita bisa merasakan ekses dari adanya tarik menarik itu. Dan kecenderungan tersebut akan semakin intensif karena hajatan penting, yakni Pileg dan Pilpres telah  menempatkan pers dalam pusaran yang sangat sentral. Menangkali efek negatif yang lebih parah, seperti terjebak pada praktik praktik yang tidak fair, Dewan Pers telah mengeluarkan edaran sebagai pedoman.
Butir penting dari Edaran Dewan Pers itu tidak lain agar insan Pers Indonesia tidak terjebak pada keberpihakan yang akan meruntuhkan kebebasan Pers itu sendiri. Sekali lagi pers harus independen, tidak memihak dan menjadi penjaga atau pengawas melalui fungsinya sebagai sosial kontrol. Memang, ada pendapat keliru jika pers tidak memihak, justru pers harus berpihak, yakni untuk kepentingan publik.
Sekadar catatan independen sesuai Penafsiran dalam Kode Etik Jurnalistik (Pasal 1 KEJ) berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Nah, di sinilah memotret dinamika politik yang eskalasinya mulai meningkat, bagaimana pers melihat realitas yang terjadi di lapangan. Kontrovesi yang mencuat terkait kebijakan redaksional dalam menyingkapi, misalnya, aksi massa yang beririsan dengan politik dalam bentuk sajian di media, baik itu platform cetak, elektronika maupun online, dapat menjadi sebuah kaca bengala.
Munculnya kontroversi terkait jumlah massa dalam kampanye terbuka kelak  misalnya, menjadi persoalan yang peka. Di sinilah independensi menjadi penting, karena tanpa itu semua pers akan terjebak pada palagan yang sangat destruktif. 

Kebijakan Dewan Pers yang memberikan rambu-rambu menyangkut netralitas wartawan dalam Pileg dan Pilpres menjadi instrumen yang penting. Artinya secara standar, baik itu etik maupun profesional ada pijakan yang dipedomani. Ikhtiar itu mendesak untuk disosialisasikan secara terbuka, karena posisi pers dalam hajatan demokrasi itu akan menjadi target yang oleh semua parpol akan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.
Jadi dapat dibayangkan tanpa rambu-rambu etik dan pedoman standar menyangkut profesionalisme, maka independensi pers menjadi sesuatu yang jauh api dari panggang. Implikasi, distorsi dan ekses yang terjadi akan menggelinding menjadi bola salju yang mengerikan karena media menjadi ajang pertempuran terbuka. 

 


Kebebasan Pers vs Kepentingan Politik
Pascareformasi kebebasan Pers di Indonesia mengalami perkembangan yang luar biasa. Tanpa SIUP, tanpa sensor,  Pers Indonesia tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Munculnya sejumlah lembaga yang mengatasnamakan wartawan di awal reformasi menjadi indikator yang lain atas euforia tersebut. 
Kini setelah dilakukan verifikasi, dan kebijakan sertifikasi melalui UKW (Uji kompetensi Wartawan) standarisasi secara obyektif mulai dilakukan. Data statistik menunjuk-kan dari jumlah secara nasional wartawan mencapai 17.000, sekitar 11.000 telah tersertifikasi melalui UKW. Jumlah itu menjadi penanda secara standar wartawan Indonesia telah memiliki kualifikasi yang dapat dirunut bobot profesionalitasnya.
Standarisasi profesi melalui UKW secara signifikan akan memberikan pengaruh positif pada perusahaan pers di mana mereka bekerja. Apalagi pada agenda strategis yang lain organisasi-organisasi kewartawanan, seperti PWI melalui PD/PRT nya menyebut dan mensyaratkan untuk menjadi pengurus ada ketentuan menyangkut tingkatan sertifikasi yang dicapai. Hanya mereka yang memiliki sertifikat UKW dengan jenjang utama dapat menjadi pengurus harian PWI.
Ketentuan- ketentuan tersebut menjadi semacam penegas bahwa Dewan Pers telah melakukan langkah yang tepat. Karena semua itu muara akhirnya adalah profesionalisme wartawan. Independensi, netralitas dan keberpihakan kepada kepentingan publik menjadi roh atau jati-diri wartawan itu sendiri.
Persoalan sekarang yang dihadapi adalah dari sekitar 47.000 media nasional, meliputi 2000 media cetak, 674 media radio, 523 media televisi, 43.300 media online sebagian besar masih perlu meningkatkan kualitas SDM. Adalah tugas dari organisasi wartawan, baik itu PWI, AJI dan IJTI untuk melakukan pembinaan dalam bentuk capacity building yang memadai. Melalui peningkatan SDM pada gilirannya pemaknaan profesionalisme akan berjalan linier dengan independensi.
Pelajaran menarik bisa dipetik dari Pilkada DKI 2017 lalu. Di sini polarisasi terjadi: ada media yang nyata-nyata partisan, abu-abu dan media yang tetap memegang teguh profesionalisme, independen dalam  menyajikan liputan sesuai dengan fakta dan hati nurani. 
Kecenderungan seperti yang terjadi pada Pilkada DKI 2017 adalah trend yang perlu diwaspadai bersama. Dan ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi Pers Indonesia. Dewan Pers memberikan perhatian khusus dalam konteks ini, yakni melalui edaran sebagai pedoman atau pijak di lapangan. 
Fakta lain perlu menjadi perhatian khusus juga, seperti disebut Leo Batubara (Etika, Juli 2018) 80 persen dari 2000 media cetak dan sekitar 99 persen dari 43.300 media online terpantau belum memenuhi ketentuan UU No 40/99 tentang Pers. Banyak dari media tersebut menjadi media abal-abal yang beroperasi dengan “semboyan” maju tak gentar, membela yang bayar.
Realitas lain adalah adanya indikasi, sejumlah media mapan sekalipun juga tak steril dari kemungkinan jatuh menjadi corong parpol atau pendukung kandidat capres. Beberapa media terkemuka telah memosisikan keperpihakan mereka secara terang benderang pada kepentingan parpol dan kandidat capres tertentu.
Dihadapkan persoalan yang pelik demikian, maka independensi media tidak semata tertumpu di pundak wartawan. Semua elemen perlu menjaga Pers Indonesia yang sehat, profesional, dan independen dengan tidak menarik-narik ke gelangang politik. Analogi yang te-pat netralitas Pers adalah seperti netralitas TNI dan Polri. TNI dan Polri juga Pers adalah bandul penyeimbang. 
Dengan teguh menjaga independensi maka produk pers terkait  pesta demokrasi diharapkan akan melahirkan hasil sesuai pilihan nurani rakyat. Sebaliknya jika pers tak mampu menjaga independensi, maka proses demokrasi akan ter-cederai sehingga pemimpin yang terpilih baik di tingkat legislatif maupun di tingkat pemimpin tertinggi eksekutif (presiden) tidak sebagai-mana diharapkan masyarakat dan  pada gilirannya akan menjadi bom waktu. ***

 

Jayanto Arus Adi, 
Anggota Pokja Hukum Dewan Pers



Download