Mengevaluasi 8 Tahun Pelaksanaan UKW
10 Desember 2018 | MediaCentre
Dewan Pers telah mengeluarkan Peraturan Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Delapan tahun su-dah pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW), seperti apa hasilnya?
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menjadi salah satu lembaga penguji kompetensi jurnalis, karena memenuhi syarat dari Dewan Pers. Syarat itu sesuai Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/I/2011 tentang Kriteria dan Tata Cara Menetapkan Organisasi Wartawan Sebagai Lembaga Penguji Standar Kompetensi Wartawan.
Sedikitnya ada 10 kriteria organisasi wartawan bisa menjadi lembaga penguji kompetensi, antara lain memenuhi standar sebagai orgasisasi wartawan sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 7/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Wartawan Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Jika merujuk pada aturan ini maka, yang memenuhi standar hanya ada tiga yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
AJI Indonesia juga telah bebe-rapa kali melaksanakan Training of Examiner (ToE) atau pelatihan penguji yang diikuti jurnalis kompetensi wartawan utama dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka disiapkan sebagai penguji sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 2/Peraturan-DP/VIII/2015 tentang Penguji Kompetensi Wartawan.
Peraturan Dewan Pers tersebut menetapkan enam syarat sebagai penguji kompetensi yakni berkompetensi wartawan utama, memahami kemerdekaan pers dengan semua aturan yang melingkupinya, lulus pelatihan untuk menjadi calon penguji komptensi wartawan.
Selain itu magang sebagai penguji kompetensi wartawan sekurang-kurangnya tiga kali, direkrut oleh lembaga penguji kompetensi wartawan. Yang terakhir adalah tidak sedang dalam posisi pengurus partai politik atau organisasi yang punya potensi menghambat kemerdekaan pers.
Selain organisasi wartawan sebagai penyelenggara, UKJ juga bisa dilakukan oleh sejumlah pihak seperti perusahaan pers, lembaga pendidikan dan pelatihan pers, serta perguruan tinggi. Tentu lembaga ini harus memenuhi ketentuan yang diatur oleh Dewan Pers.
Sekitar pertengaan tahun 2016 silam, saya dihubungi salah seorang kawan jurnalis di Manado. Dia bercerita tentang seorang pengurus partai politik yang diundang mengikuti UKW. Politisi ini ternyata atlet di salah satu cabang olahraga. Karena syarat untuk ikut dalam salah satu event olahraga wartawan itu adalah memiliki sertifikat kompeten, maka dipanggillah politisi itu ikut UKW. Duduklah sang politisi bersama para wartawan lainnya mengikuti UKW yang digelar oleh salah satu lembaga penguji kompetensi di Sulawesi Utara.
Cerita lainnya adalah tentang perdebatan dua orang wartawan, yang satu belakangan diketahui belum mengikuti uji kompetensi. Sedangkan yang lainnya sudah mengikuti uji kompetensi, tapi bukan seorang wartawan karena tidak menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Perdebatan di media sosial yang mengundang perhatian publik ini cukup menggelikan, karena tentu saja menyangkut martabat jurnalis itu sebagai sebuah profesi.
Itu hanya dua dari sekian banyak contoh biasnya pelaksanaan uji kompetensi yang sudah berlangsung lebih kurang 8 tahun itu. Belum lagi pelaksanaan uji kompetensi yang cenderung “dikomersilkan” di mana peserta wajib membayar sejumlah uang. Sementara pihak penyelenggara juga meminta dana ke pemerintah daerah setempat.
Pola lain yang terjadi adalah komunitas wartawan di daerah-daerah menggandeng salah satu lembaga penguji, kemudian melaksanakan uji kompetensi dengan dana dari pemerintah daerah.
Terkait sejumlah persoalan di atas, sebenarnya dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan sudah secara jelas mengaturnya. Kompetensi wartawan yaitu kemampuan wartawan untuk memahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu di bidang kewartawanan.
Standar kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan. Artinya ujian ini diberikan kepada mereka yang berprofesi sebagai wartawan; bukan politisi, pengamat sosial, atau profesi dan pekerjaan lainnya.
Untuk peserta UKW sudah diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/VIII/2015 tentang Peserta Uji Kompetensi Wartawan. Setidaknya ada tiga syarat sebagai peserta antara lain, bekerja sebagai wartawan sekurang-kurangnya satu tahun serta menunjukan hasil karya jurnalistik dalam tiga bulan terakhir.
Sedangkan menyangkut pelaksanaan uji kompetensi yang “dikomersilkan” memang menjadi kebijakan masing-masing lembaga penguji. Meski kemudian dalam pertemuan membahas Indeks Kemerdekaan Pers di Jakarta, Oktober 2016, lembaga penguji kompetensi di daerah tidak bisa meminta langsung dana ke pemerintah setempat me-lainkan harus melalui Dewan Pers. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga independensi serta profesionalisme jurnalis yang akan menjalani uji kompetensi itu.
Lalu bagaimana pengawasan Dewan Pers terkait pelaksanaan UKW oleh lembaga-lembaga tersebut, atau hanya mengabaikan laporan masyarakat terkait penyimpangan dalam pelaksanaannya? Untuk tetap menjaga kepercayaan publik dan juga mutu jurnalisme, penting kiranya Dewan Pers mengawasi pelaksanaan UKW itu, bahkan mencabut sertifikat dan kartu kompetensi wartawan yang ternyata bermasalah.
Karena memang telah diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 3/Peraturan-DP/VIII/2015 tentang Pencabutan Sertifikat dan Kartu Kompetensi Wartawan.
Dalam peraturan ini disebutkan selain karena pelanggaran kode etik, sertifikat dan kartu dapat dicabut karena peserta uji kompetensi itu memberikan dokumen karya jurnalistik yang kemudian diketahui tidak benar atau bohong. Apalagi ternyata yang bersangkutan bukan jurnalis, karena tidak menjalankan tugas jurnalistik.
Di penghujung tahun 2017 silam, Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Nomor: IV/Peraturan-DP /XII/2017 tentang Standar Kom-petensi Wartawan. Dengan lahirnya peraturan yang baru ini, maka ada 4 peraturan sebelumnya yang dinyatakan tidak berlaku lagi, karena substansi dalam 4 peraturan itu sudah terangkum dalam peraturan yang baru ini.
Empat peraturan itu adalah Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Stan-dar Kompetensi Wartawan, Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan-DP/VIII/2015 tentang Peserta Uji Kompetensi Wartawan. Selanjutnya Peraturan Dewan Pers Nomor: 2/Peraturan-DP/VIII/2015 tentang Pe-nguji Kompetensi Wartawan, dan Peraturan Dewan Pers Nomor: 3/Peraturan-DP/VIII/2015 tentang Pencabutan Sertifikat dan Kartu Kompetensi Wartawan.
Salah satu poin yang tetap ada dalam peraturan yang baru ini adalah usulan pencabutan sertifikat dan kartu kompetensi wartawan dapat dilakukan atas masukan dari masyarakat, usulan atau rekomendasi dari perusahaan pers, organisasi wartawan, atau atas temuan Dewan Pers.
Selain peraturan yang baru itu, pada Nopember 2018, Dewan Pers mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4/DP/SE/XI/2018 tentang Revisi dan Penambahan Materi Uji Kompetensi Wartawan: Standar Kompetensi Wartawan.
Lebih kurang 8 pelaksanaan UKW, ribuan wartawan sudah ter-sertifikasi. Namun UKW tidak se-kadar formalitas, apalagi untuk me-legitimasi wartawan abal-abal.
Jika masyarakat didorong mengawal pelaksanaan UKW ini, bagaimana dengan Dewan Pers? Apakah berani menindak pelangga-ran dalam penyelenggaraan UKW oleh lembaga pelaksana?
Di tangan 9 anggota Dewan Pers yang baru, masyarakat pers dan publik berharap banyak.
Yoseph E Ikanubun adalah Ketua AJI Manado 2012 – 2015 dan 2015 – 2018; Majelis Etik AJI Manado Periode 2018 – 2021; Penguji Kompetensi Jurnalis AJI Indonesia
Download