Hati-hati Dengan Berita Bohong

Hati-hati Dengan Berita Bohong
10 Oktober 2018 | MediaCentre

Siapa menyangka Ratna Sarumpaet (RS) berbohong? Dia tokoh yang dipercaya oleh beberapa media televisi mainstream, yang sering menjadikannya sumber berita. Informasi RS dianiaya tersebar lewat media sosial yang dilengkapi potret wajah RS yang babak belur. Informasi itu ditambah dengan berbagai pernyataan tokoh oposisi, bahkan Prabowo Subianto sempat menengok RS di tempat yang dirahasiakan, yang disusul dengan jumpa pers.

 

Banyak media mainstream yang terdaftar pada Dewan Pers turut memberitakan penganiayaan terhadap RS. Bahkan sewaktu ada orang yang menduga bahwa wajah babak belur RS itu bukan karena penganiayaan tetapi karena operasi plastik, ada tokoh yang berkomentar, kok tega menganggap RS melakukan operasi plastik, dan dia yakin bahwa RS itu dianiaya.


Beberapa komentar
Informasi tentang penganiaya-an RS mendapat banyak tanggapan. Sandiaga Uno mengatakan itu tin-dakan yang tidak manusiawi dan biadab. Sandiaga menuntut polisi untuk mengusut tuntas.
Fahri Hamzah menganggap penganiayaan itu sebagai ancaman bagi demokrasi. “Polisi harus bekerja cepat, ... kalau bisa dalam satu dua hari ini orangnya harus ditangkap,” kata Fahri Hamzah.
Memang, Polisi bergerak, tanpa menunggu laporan. Hampir semua rumah sakit di Bandung dan sekitarnya diperiksa polisi, ternyata tidak ada nama RS yang dirawat karena penganiayaan. Pihak Bandara Hussein Sastranegara menyatakan nama RS tidak tercatat pada manifes pesawat yang datang maupun pergi.
Sedangkan polisi di Jakarta mengungkap bahwa RS memang di Rumah Sakit Bedah Bina Estetika pada tanggal 21-24 September 2018, dengan bukti rekaman CCTV dan catatan di Buku Register rumah sakit.  (Rabu 03 Oktober 2018, 11:28 WIB).

Dengan demikian, RS tidak berada di Bandung pada tanggal 21 September 2018.
Di media sosial, polisi dikritik karena meragukan penganiayaan terhadap RS.
Jangan cepat percaya
Kasus RS ini pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh ma-syarakat Indonesia sekarang agar jangan cepat percaya kepada siapa pun, berita apa pun, disiarkan oleh media mana pun. RS secara terbuka mengaku berbohong, dan minta maaf atas kebohongannya itu. RS tidak dianiaya, dan benar melakukan operasi plastik.

Saat ini adalah saat banjir informasi, sebagaimana banjir da-lam kota, sangat disarankan untuk tidak minum air banjir, karena sudah tercemar kotoran manusia maupun limbah pabrik. Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo juga mengingatkan media massa, se-perti yang disiarkan oleh  republika. co.id  Rabu (3/10/2018), “Tugas media itu menjadi verifikator. Ja-ngan sampai kemudian apa yang beredar marak di media sosial, jadi perbincangan, meme, dan seterusnya kemudian diangkat saja.”
Bahkan kepada pemerintah se-kalipun kita tidak boleh cepat per-caya. Mungkin pemerintah hanya memberikan sebagian informasi saja yang menguntungkannya. Ingat Rocky Gerung pernah mengingatkan pada acara Indonesia Lawyer Club (TVOne, 17/1/2017), bahwa pembuat  hoaks yang paling sempurna ada-lah pemerintah, karena pemerintah mempunyai semua peralatan untuk berbohong.
Pemerintah di mana pun di dunia ini adalah ahli disinformasi, ahli hoaks, menyebarkan berita bohong dengan sengaja. Amerika Serikat, Rusia, Myanmar dan pemerintah lain pernah melakukan disinformasi.
Bahkan teknik disinformasi ini diajarkan di sekolah militer di mana pun di dunia ini. Seorang tentara yang jujur waktu ditangkap lawan sewaktu perang dianggap sebagai penghianat. Dia dianggap penghianat, jika ditanya oleh lawan tentang posisi markasnya dan gudang senjata, dia menjawab dengan jujur.


Clearing house
Dalam keadaan seperti ini, setiap pejabat, setiap institusi perlu mempunyai clearing house untuk menyaring informasi yang bere-dar. Pegangan pertama masyara-kat tentang kebenaran informasi tentu berasal dari media massa mainstream, yaitu media massa yang terdaftar di Dewan Pers. Tentu dengan catatan, ada beberapa media mainstream yang cenderung partisan (mendukung salah satu pihak dalam masyarakat), dan sering terbawa arus oleh media sosial.

Selain itu, media massa mainstream mempunyai keterba-tasan, yaitu keterbatasan waktu siar untuk media penyiaran, dan keterbatasan halaman untuk media  cetak. Yang paling punya keleluasaan adalah media online. Perlu juga dicatat, media massa juga punya agenda setting, sudut pandang, dan prioritas penyebarluasan informasi. Semua faktor inilah yang memaksa setiap institusi dan pejabat perlu mempunyai clearing house sendiri, yang tugasnya menyaring informasi yang dibutuhkannya saja, karena sekarang ini banyak beredar kabar bohong.
Siapa pun memerlukan infor-masi yang benar. Ingat garbage in, garbage out. Jika yang masuk adalah informasi sampah, maka keputusan yang diambil bisa salah.***


Muhammad Ridlo 'Eisy adalah dosen FISIP Unpas dan Stikom Bandung, anggota Dewan Pers 2010-2016.



Download