Independensi Media Merupakan Keharusan

Independensi Media Merupakan Keharusan
10 Agustus 2018 | MediaCentre

Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan berlangsung pada Rabu, 17 April 2019. Supaya terpilih 575 anggota DPR serta Presiden  dan  Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 yang mampu menyelenggarakan clean and  good governance, media nasional kembali diharapkan berperan. Media idealnya dapat sangat efektif melaksanakan peran utamanya yakni membantu terselenggaranya well informed citizens.

 

Menurut Kode Etik Jurnalistik media tidak melakukan negative campaign berkategori black campaign, karena kampanye seperti itu berbahan keterangan hoax, ujaran kebencian, fitnah, dan dusta. Akan tetapi melakukan negative campaign yang mengungkap rekam jejak (track record), kekuatan dan kelemahan para kontestan (parpol, calon legislator, capres dan cawapres) sesuai dalil-dalil Kode Etik Jurnalistik, media justru dapat membantu rakyat pemilih untuk dapat mengetahui calon-calon terbaik demi semakin terwujudnya cita-cita nasional.
Kata-kata bijak “global formula” mengatakan bahwa “Only the knowledge journalists can provide the knowledge media for the knowledge society.”
Kenapa independensi media menjadi keharusan dan kebutuhan? Sekarang ini lingkungan strategis yang dapat mempengaruhi masyarakat dan negara sepertinya bermasalah. Pertama, capaian cita-cita nasional terkait realisasi pencerdasan kehidupan bangsa dan terwujudnya kemajuan kesejahteraan rakyat masih jauh dari apa yang diharapkan.
Dibandingkan dengan kemajuan negara-negara tetangga, capaian Indonesia tertinggal. Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soebroto dalam tulisannya “Pantang Mundur Maju Terus” yang disampaikan pada satu pertemuan pada akhir Januari 2016 mengemukakan: “Melihat ke negara-negara tetangga seperti Singapura di mana GDP perkapita yang biasa untuk mengukur kesejahteraan, sudah mencapai $54.000, Malaysia  $9.800, Thailand $6.300 sementara Indonesia $3.500. Mereka pada tahun 1945 berada dalam kondisi yang sama  dengan Indonesia. Tapi yang terjadi setelah 71 tahun, Singapura telah menjadi 18 kali lipat lebih makmur dari kita, Malaysia 3 kali dan Thailand 2 x ” Kenapa Indonesia sedemikian tertinggal dibanding Singapura pa-dahal sangat kaya sumber daya alam? Fakta-fakta menunjukkan kesenjangan tersebut terjadi karena Singapura berhasil meningkatkan kualitas tenaga kerjanya, dan dengan  sendirinya produktivitas kerja warga  negaranya sangat tinggi. Sementara  menurut BPS tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia pada posisi tahun 2010: kurang terdidik 69,4% (tamat SD 50,4%, SLTP 19,1%), terdidik 30,6% (SMU/SMK 22,9%, akademi/dipl 2,8%, universitas 4,8%). Penye-bab ketertinggalan Indonesia lainnya adalah tingginya kegemaran korupsi di negeri ini. Berdasarkan Corruption Perceptions Index 2016, yang dirilis Transparency International dari 176 negara Indonesia termasuk 86 negara yang paling korup, sementara Singapura termasuk 7 negara yang paling mi-nim korupsi. Ironisnya lembaga yang paling korup justru adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Ketika Transparency International Indonesia memaparkan hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) di 16 negara Asia Pasifik pada Juli 2015-Januari 2017 di Jakarta (7/3/2017) dikemukakan, DPR adalah lembaga paling korup di Indonesia pada 2016.
Riswandha Imawan (alm) dalam tulisannya (Kompas, 1/11/2005) telah memberi peringatan bahwa penyelenggara negara sekarang ter-kesan melanjutkan laku penjajah. Guru Besar UGM itu mengatakan: “Orientasi dagang amat kuat mendasari dan menghasilkan gejala sosial politik yang sama dengan aktivitas VOC. Karena itu layak bila penyelenggara negara sekarang dijuluki VOC Baru, yang menghisap kekayaan negara untuk kepentingan segelintir elite seraya menciptakan kemelaratan pada tatanan rakyat. VOC berisi orang Belanda. VOC Baru berisi bangsa sendiri.”

Kedua, independensi media massa nasional bermasalah. Dari sekitar 47.000 media nasional – terdiri dari 2.000 media cetak, 674 media radio, 523 media televisi, dan 43.300 media online -  berapa banyak media yang dinilai sebagai berkategori media independen? Menurut Kode Etik Jurnalistik, media independen berarti media yang memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Dari pengalaman mengamati performa media dalam berbagai Pemilu seperti Pemilu pada 1999, 2004, 2009, 2014, terutama Pilgub DKI Jakarta 2017 terproyeksi selain media independen, juga ada media partisan (media yang pemiliknya juga terlibat sebagai kontestan Pemilu). Media seperti ini bersikap, right or wrong membela apa kata pemiliknya.
Kemudian, sekitar 80% dari 2.000 media cetak dan sekitar 99 persen dari 43.300 media online terpantau belum memenuhi ketentuan UU No. 40/1999 tentang Pers. Banyak dari media tersebut menjadi media abal-abal, yang beroperasi tanpa memenuhi ketentuan UU Pers dan melakukan “jurnalisme kuda”. Media jenis ini siap menyiarkan isi kampanye sesuai pesanan “penunggang kuda”. Pesanan tersebut adalah untuk memberitakan hoax, kebencian, fitnah dan dusta tentu saja dengan imbalan. Sekarang ini panggung media massa juga diinvasi oleh media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, youtube dan Whats App. Karena media jenis tersebut tidak memerlukan badan hukum, banyak tanpa identitas, tanpa kode etik, maka media sosial ini termasuk penyumbang terbanyak berita hoax, ujaran keben-cian, fitnah dan dusta. Bagi mereka ini, NKRI terancam disintegrasi tidak menjadi soal.

Media dan Pemilu 2019
Menyadari berbagai permasalahan sebagaimana diuraikan, kampanye Pemilu 2019 diperkirakan dapat membelah Indonesia menjadi dua kubu, yakni kubu the good dan the bad. Kubu Indonesia the good adalah yang taat asas untuk mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan: dilindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dicerdaskannya kehidupan bangsa, dan semakin majunya kesejahteraan rakyat. Sementara kubu Indonesia the bad adalah yang berprilaku VOC, memenangkan kekuasaan agar dengan kekuasaan ini semakin mampu mentransaksionalkan kekuasaan. Kecenderungan the bad itu ada di banyak calon legislator dan parpol anggota koalisi, hanya berbeda kadarnya. 
Tujuan kubu the good terkait Pemilu 2019 adalah untuk (1) memilih presiden dan legislator 2019-2024 yang taat asas prinsip-prinsip clean and good governance, (2) mencerdaskan bangsa, dan (3) memajukan kesejahteraaan rakyat. Kubu ini taat asas untuk mewujudkan cita-cita nasional. Untuk meraih tujuan tersebut, langkah-langkah yang ditempuh adalah per-tama, mengajak para kontestan Pemilu dan pendukungnya beradu visi, misi, program, gagasan, dan prestasi.
Kedua, kubu the good ini yakin bahwa jika kampanye digelar dengan adu gagasan, rekam jejak dan prestasi  dan jika kampanye diberitakan oleh sebagian besar 47.000 media dengan menaati prinsip independensi media, diyakini pemilu akan menghasilkan presiden dan legislator yang menegakkan pemerintahan bersih dan efektif.
Sementara itu, untuk meraih tujuan perjuangannya, kubu the bad menolak kampanye dengan adu gagasan, rekam jejak dan prestasi. Karena dengan kampanye seperti itu, mereka pasti akan kalah. Maka kubu the bad ini akan menugasi tim suksesnya secara tertutup untuk menyebarkan hoax, kebencian, fitnah dan dusta terhadap kompetitornya secara sis-tematis dan berkelanjutan. Menurut KPU jumlah pemilih 190 juta orang. Fakta menunjukkan jumlah itu terdiri dari tiga segmen. Rakyat pemilih yang berpendidikan (the knowledge society). Pemilih generasi milenial. Pemilih tak terdidik yang jumlahnya ditaksir sekitar 69,4% dari 190 juta pemilih.
Sasaran utama kubu the bad adalah merebut suara pemilih tak terdidik. Mereka ini rentan menjadi obyek yang disasar oleh media abal-abal dan medsos yang isi beritanya sarat hoax, kebencian, fitnah, dan dusta. Peluang kubu the bad untuk memenangkan suara segmen pemilih tersebut cukup besar karena media abal-abal dan sejumlah medsos sudah berpengalaman dengan black campaign.
Dari uraian di atas tersimpul bahwa hasil kampanye kubu the good dan the bad akan menentukan apakah Indonesia akan semakin maju atau tetap tertinggal dibanding negara-negara lain.
Dengan jualan hoax, kebencian, fitnah dan dusta kubu the bad dengan kontribusi sebagian besar suara 69,4% pemilih tak terdidik diperkirakan bukan tidak mungkin dapat memenangkan Pemilu 2019. Untuk mencegah skenario buruk tersebut, independensi media menjadi kebutuhan dan keharusan. Media cetak, radio, televisi, dan media online yang independen terpanggil untuk melakukan peran utamanya yakni membantu terselenggaranya well informed citizens dan mendorong penegak hukum tampil secara cepat dan tegas menindak media massa yang menyuarakan hoax, kebencian, fitnah dan dusta.

 

Sabam Leo Batubara
Wakil Ketua Dewan Pers 2006-2010



Download