Kekerasan dan Ketaatan terhadap KEJ

Kekerasan dan Ketaatan terhadap KEJ
10 Juli 2018 | MediaCentre

Kekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi. Organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia  mencatat, dalam kurun waktu Mei 2017 hingga awal Mei 2018, tingkat kekerasan terhadap wartawan meningkat.
Hasil tersebut terlihat dari laporan Bidang Advokasi AJI yang menyebut ada peningkatan sebanyak 3 kasus dari tahun sebelumnya dalam kurun waktu yang sama yakni 72 kasus menjadi 75 kasus. “Terdapat 75 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama Mei 2017 hingga awal Mei 2018. Kasus ini terjadi di 56 daerah kota/kabupaten di 25 Provinsi,” kata Katua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan seperti dikutip tribunnews.com dalam diskusi ‘Musuh Kebebasan Pers’ di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (3/5/2018).

Kenyataan itu sungguh memprihatinkan. Kekerasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang, termasuk wartawan, tidak dapat dibenarkan baik secara etik terlebih secara hukum. Apalagi kekerasan tersebut secara fisik. Dan, masih mengutip catatan AJI,  ternyata kekerasan  secara fisik masih mendominasi statistik kekerasan terhadap wartawan. Perbuatan semacam ini jelas kriminal dan karena itu pelakunya harus diproses secara hukum, siapa pun dia atau mereka.
Jumlah kekerasan terhadap wartawan yang cenderung meningkat  setiap tahun itu perlu dikulik lebih dalam. Apakah publik – untuk sebagian – ingin mencari jalan pintas sehingga menyelesaikan permasalahan cenderung menggunakan kekerasan atau memang ada faktor pemicunya sehingga publik merasa kekerasanlah jalan yang mesti mereka tempuh. Tentu hal ini tidak menafikan kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang, lagi-lagi menurut AJI, jumlahnya lebih signifikan.
Kekerasan yang dilakukan oknum-oknum aparat penegak hukum tentu bukan hanya memprihatinkan tetapi juga memalukan. Pucuk pimpinan tertinggi mereka telah  berulang kali mengingatkan seluruh jajarannya agar semakin profe-sional dan mengedepankan hukum ketimbang cara-cara tidak terpuji berupa kekerasan itu agar mereka  lebih disegani -- bukan ditakuti -- publik. Profesionalisme aparat  akan melahirkan kepercayaan (trust). Namun kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan aparat jelas bertentangan dengan arahan pimpinan itu. Keluarannya, aparat menjadi semakin dijauhi oleh masyarakat termasuk para wartawan. Begitu pula kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum organisasi entah organisasi massa atau politik. Kekerasan oleh kelompok-kelompok ini juga memalukan ka-rena biasanya pimpinan mereka di depan publik selalu menggem-bor-gemborkan sikap demokratis dan taat hukum. Kekerasan, terma-suk  penggrudukan, pengancaman  atau intimidasi jelas bertentangan dengan sikap demokratis itu. Ini yang, oleh organisasi-organisasi pers, dikatagorikan sebagai ancaman serius  terhadap kemerdekaan pers.


Momentum Introspeksi 
Meskipun demikian, di sisi lain, peningkatan kasus kekerasan terhadap wartawan semestinya men-jadi momentum untuk introspeksi bagi rekan-rekan jurnalis dan media. Apakah selama ini mereka telah benar-benar menjalankan profesinya secara profesional artinya taat kepada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjadi pedoman kerjanya? Apakah mereka – untuk sebagian – tidak menyalahgunakan profesinya untuk melakukan intimidasi dan pemerasan seperti mereka yang melakukan kekerasan terhadapnya atau yang mereka kritisi setiap hari dalam liputannya? Apakah mereka menulis secara independen seturut dengan hati nuraninya? 

Bukankah dalam pedoman pe-nulisan sudah digariskan bahwa pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi? Dan berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan?
Pengalaman menunjukkan - ditengah maraknya media-media, utamanya media siber saat ini -- kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan umumnya dipicu karena sang wartawan melakukan jurnalistik “hantam kromo” terhadap subyek yang diberitakan. Mereka menulis  tanpa melalui verifikasi, tidak akurat, tidak berimbang bahkan beropini menghakimi serta melanggar asas praduga tak bersalah. Bahkan terindikasi ada niat buruk untuk mencederai subyek yang diberitakan. Umumnya berita semacam ini ditulis oleh “wartawan” abal-abal dengan motif tertentu. Dengan demikian “Wartawan“ juga melakukan keke-rasan (dalam bentuk tulisan) kepada subyek yang diberitakan.
Karena itu tepat bila kekerasan tehadap wartawan didefinisikan sebagai “kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan pekerjaan jurnalisme atau kekerasan terhadap karya jurnalistik”. “Wartawan abal-abal jelas tidak menjalankan tugas jurnalistik. 
Memang sering didengungkan “kata-kata hendaknya dibalas dengan kata-kata” namun kata-kata yang ditulis terhadap subyek yang diberitakan telah begitu dalam melukai sang subyek bahkan keluarga besarnya sehingga mereka yang dirugikan terkadang merasa tidak cukup hanya diselesaikan melalui sebuah Hak Jawab. Bagaimana, misalnya, bila seseorang yang terhormat di masyarakat  diberitakan berselingkuh padahal faktanya tidak ada? 

Tentu semua kasus-kasus itu, sekali lagi, tidak berarti membe-narkan terjadinya kekerasan ter-hadap wartawan, bahkan terhadap “wartawan” abal-abal sekalipun. Akan tetapi wartawan juga dituntut untuk memiliki rasa empati terhadap subyek yang diberitakan sebelum menerbitkan tulisannya. Bagaimana bila yang diberitakan negatif itu saudaranya, ayahnya, ibunya atau keluarga besarnya sementara fak-tanya tidak ada sama sekali? Kare-na itu, terhadap berita-berita nega-tif dan lebih-lebih sensitif, warta-wan dan media harus benar-benar mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya dengan cermat dan teliti sebelumnya menerbitkannya. Itulah sebabnya ketaatan terhadap KEJ menjadi mutlak. *** 


Herutjahjo Soewardojo adalah Anggota Pokja Komisi Pengaduan Masyarakat Dewan Pers. Tulisan ini pendapat pribadi.



Download