Publik Perlu Media Terverifikasi

Publik Perlu Media Terverifikasi
10 April 2018 | MediaCentre

“Dalam bukunya The Third wave, Alvin Toffler membagi peradaban manusia dalam tiga gelombang. Gelombang pertama berperadaban subsistens, yakni hidup bertani, berburu, atau memancing sekedar untuk menghidupi keluarga secara minim. Berperadaban gelombang kedua berarti berperadaban masyarakat industri, yang berkemampuan memproduksi barang dan jasa secara massal. Berperadaban gelombang ketiga berarti transisi masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Dalam masyarakat informasi berlaku kaidah, pe-menang kompetisi dalam hidup adalah yang paling menguasai informasi”.

Indonesia yang berpenduduk 250 juta kini sedang berselan-car dalam pusaran tiga gelombang tersebut. Di zaman now gelombang yang sedang menerpa adalah transformasi masyarakat dari gelombang peradaban subsistens, peradaban industri meloncat ke ge-lombang peradaban informasi. Lewat platform media massa mulai dari media cetak, radio, televisi, online (siber), dan medsos informasi mem-banjiri benak manusia Indonesia. Informasi tersebut ada yang faktual dan benar serta mencerdaskan bangsa. Namun, ada pula informasi yang berisi hoax, kebohongan, intoleransi dan kebencian.
Dewan Pers berdasarkan UU No. 40/1999 tentang Pers (disingkat UU Pers) diberi kewenangan untuk membantu masyarakat bagaimana menghadapi membanjirnya infor-masi, yang dipasok oleh aneka ragam media. Hak masyarakat untuk mengetahui media mana saja yang telah memenuhi ketentuan UU Pers, dan untuk mendapat pernyataan penilaian dan rekomendasi Dewan Pers menyikapi media yang beritanya dituduh bermasalah adalah bagian dan tugas lembaga independen tersebut untuk memenuhinya.
Dengan melakukan pengkajian, investigasi dan memverifikasi kehidupan pers nasional sesuai dengan kewenangannya, Dewan Pers memberi penjelasan kepada pengguna media, bahwa media yang menjadi domain Dewan Pers adalah media yang berbadan hukum Indonesia dan yang nama, alamat, dan penanggungjawabnya diumumkan terbuka. Sementara media yang tidak memenuhi ketentuan UU Pers termasuk media sosial yang beritanya dituduh mencemarkan nama baik atau bermuatan hoax, kebohongan, intoleransi, dan kebencian adalah domain penegak hukum.
Kemudian, hasil verifikasi media oleh Dewan Pers semakin diperlukan oleh publik. Karena, jumlah media meningkat secara tajam. Hak masyarakat untuk mengetahui media mana saja yang memenuhi ketentuan UU No. 40/1999 tentang Pers tentu saja menjadi tanggungjawab Dewan Pers untuk memenuhinya.
Pada tahun 2014 jumlah media radio 674, media televisi 523. Verifikasi media siaran relatif lebih mudah karena mekanismenya melalui perijinan frekuensi. Pada posisi tahun 2015 jumlah media cetak tercatat 2.000, sementara hasil investigasi Dewan Pers menunjukkan baru 320 yang didapati memenuhi ketentuan UU Pers. Jumlah media online (siber) tercatat 43.300, yang terveri-fikasi memenuhi ketentuan UU Pers 65 media.
 

Isi ketentuan UU Pers
Pasal 15 (2)a UU Pers mengamanatkan fungsi Dewan Pers ada-lah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Pada bagian menimbang, UU Pers menegaskan, pers nasional harus dapat melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.
Profesional berarti, pertama, dari segi kelembagaan (administrasi), setiap perusahaan pers wajib berbentuk badan hukum Indonesia (pasal 9) dan wajib mengumum-kan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka. Untuk pener-bitan pers ditambahkan nama dan alamat percetakan (pasal 12).
Kedua, dari segi penyeleng-garaan pekerjaan jurnalistik (jurnalisme), pers berfungsi menyampaikan informasi yang faktual dengan fakta jurnalistik yang benar. Fungsi pers juga untuk mendidik bangsa dan melakukan fungsi kontrol sosial (pasal 3). Pers juga berperan melakukan pengawasan, kritik, dan koreksi untuk kepentingan umum (pasal 6). Selain itu, pers mempunyai hak men-cari, memperoleh, dan menyebarkan informasi (pasal 4). Pers dalam melaksanakan pekerjaan jurnalistik di atas wajib menaati Kode Etik Jurnalistik (pasal 7).
Kesempatan Dewan Pers melakukan pengkajian, investigasi dan verifikasi terhadap pekerjaan jurnalistik oleh ribuan media yang diadukan ke Dewan Pers sejak lembaga independen ini beroperasi mempedomani UU No. 40/1999 tentang Pers menunjukkan fakta-fakta sebagai berikut.
Dari 2.741 pengaduan Dewan Pers pada periode 2000 – 2010 diter-bitkan pernyataan  penilaian bahwa pelanggaran yang dilakukan media hanya pelanggaran kode etik jur-nalistik (KEJ). Media Teradu dinilai menghakimi (melanggar Pasal 3 KEJ), narasumber berita tidak jelas/tidak kredibel (Pasal 2 KEJ) dan atau tidak berimbang/tidak uji informasi (Pasal 1 dan 3 KEJ). Atas Pelanggaran tersebut, media Teradu direkomendasikan Dewan Pers wajib melayani hak jawab Pengadu dan atau me-minta maaf kepada Pengadu dan masyarakat.
Kemudian sejak 2011 hingga 19 Juni 2017 dari jumlah 4.163 pengadu, sejalan dengan semakin banyaknya media yang beroperasi sebagai penumpang gelap kemerdekaan pers tercatat sejumlah media terindikasi melanggar hukum
Kondisi pers sekarang ini memaksa Dewan Pers turut terlibat langsung agar PWI, AJI, IJTI, LPDS ikut berpartisipasi untuk meningkatkan jumlah wartawan yang memenuhi standar kompetensi. Patut disesalkan negara kurang member-ikan dukungan. Idealnya, negara bertanggung jawab mendirikan ratusan schools of journalism sebagai pemasok wartawan yang berkualifikasi kompeten untuk memenuhi kebutuhan pers nasional. Karena hal itu belum terwujud maka dari jumlah ratusan ribu wartawan yang sekarang bergiat, hanya sekitar 15.000 yang telah diverifikasi Dewan Pers telah bersertifikat Wartawan Muda, Madya, dan Utama.
Fakta menunjukkan bahwa meledaknya jumlah media justru belum berdampak positif terhadap terwujudnya fungsi pers untuk mengedukasi bangsa. Dalam program “Media Literacy” yang diselenggarakan Dewan Pers di berbagai daerah sering disuarakan bahwa “quality journalists produce quality media; quality media produce quality society.” Persoalan potensial yang dihadapi sekarang ini, masyarakat yang cerdas semakin cerdas. Kenapa? Karena mereka mengkonsumsi hanya media yang berkualitas. Sementara sekitar 60% masyarakat Indonesia yang paling membutuhkan informasi yang mencerdaskan justru berpotensi menjadi korban media abal-abal dan media sosial yang kon-sep produknya menyuarakan hoax, kebohongan, intoleransi dan kebencian. Membiarkan media berkualitas kalah bersaing menghadapi media abal-abal dan medsos yang jualan-nya hoax, kebohongan, intoleransi, dan kebencian tentu saja berdampak counter productive terhadap terwu-judnya salah satu tujuan nasional.
Dari uraian tersebut diatas terproyeksi bahwa ditingkatkannya performa Dewan Pers melakukan  verifikasi media selain menjadi ma-sukan bagi negara dalam rangka na-tional policy making juga berdampak kontributif bagi pemahaman publik untuk mengetahui media mana yang dapat memberikan manfaat bagi ke-hidupannya dan media mana yang kurang memberi manfaat atau justru yang membodohinya.



Download