Kemerdekaan Pers dan Etika Pers

Kemerdekaan Pers dan Etika Pers
14 Januari 2018 | AdminMediaCentre

Begitu juga catatan tertulis yang saya susun, baki berupa tulisan-tulisan lepas, atau yang dimuat dalam “Buletin Etika”, maupun buku-buku yang berisi kumpulan karangan tentang pers. Karena itu dalam kesempatan sebagai “tamu kehormatan” ini saya tidak akan lagi menyinggung substansi kedua aspek tersebut. Saya telah kembali kehabitat saya. Catatan dibawah ini ada dalam ranah habitat asli itu, tetapi yang saya pandang bersentuhan dengan topik diskusi ini. Walaupun demikian, dalam rangka menghormati pers sebagai profesi, dalam Pendahuluan ini, saya akan catat beberapa hal, sekedar “refreshing” mengenai hal-hal yang sudah diketahui, bahkan terinternalisasi dalam sanubari setiap insan pers.
Pertama; kemerdekaan pers. 1. Aspek politik Aspek-aspek kemerdekaan pers dapat ditinjau dari “kemer
Opini 
Bagir Manan
dekaan pers sebagai salah satu “core” demokrasi, yakni kemerdekaan pers sebagai sarana dan hak asasi individu, politik, dan sosial (individual, political, and social rights). Demokrasi tanpa kemerdekaan pers adalah “pepesan kosong”. Hal serupa kalau ada yang berani mengatakan: “ada kemerdekaan pers walaupun tidak ada demokrasi”. Itu sebuah manipulasi. Dengan demikian, dalam demokrasi, kehadiran kemerdekaan pers seperti hubungan “two sides of one coin”. Tetapi dalam kemerdekaan 
pers seperti halnya demokrasi senantiasa melekat tanggung jawab. Tidak ada kebebasan, tidak ada demokrasi tanpa tangung jawab. Kemerdekaan pers dan demokrasi tanpa tanggung jawab adalah anarki belaka. Dalam suatu tulisan, saya pernah mengutip ungkapan (saya sudah lupa sumbernya) yang kira-kira mengatakan: “Kita selalu mendambakan cinta dan ingin berada dan hidup dalam suasana cinta. Kita juga senantiasa mendambakan kemerdekaan seperti kita mendambakan cinta. Tetapi kita senantiasa terancam kehilangan cinta. Mengapa? Karena kita hanya menikmati cinta, tetapi cinta yang tidak disertai tanggung jawab. Kita juga senantiasa terancam kehilangan kemerdekaan, kare-na kita hanya menikmati kemerdekaan tanpa tanggung jawab”.  Lebih dari tanggung jawab, kemerdekaan perlu terus menerus diperjuangkan karena selalu ada tantangan yang harus dihadapi. Dalam kemerdekaan pers, paling tidak ada dua unsur penting untuk menegakkannya, yaitu “tanggung jawab dan senantiasa diperjuangkan”. Untuk berjuang dibutuhkan “idealism dan keberanian”.
2. Aspek hak asasi Kemerdekaan pers adalah salah satu prasyarat mewujudkan hak asasi. Hak-hak politik seperti “hak berpartisipasi dalam pemerintahan, hak memilih dan dipilih, hak berapat dan berkumpul, hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan komunikasi dan memperoleh informasi, akan terwujud dengan baik kalau ada kemerdekaan pers. Tanpa kemerdekaan, hak-hak tersebut dapat tersumbat atau keluar dalam bentuk-bentuk yang dapat menimbulkan ketidaktertiban sosial. 3. Aspek sosial Kemerdekaan pers bukan saja menjamin masyarakat memperoleh informasi yang benar, tetapi kemerdekaan pers juga merupakan sarana pendidikan masyarakat, membentuk masyarakat kreatif, dan lain-lain kebutuhan sosial.
Kedua; etika pers. Selain sebagai “core” profesionalisme pers, etika pers cq kode etik pers adalah “kode kehormatan pers”. Menjaga dan mematuhi kemerdekaan pers, adalah bagian dari “menjunjung kehormatan diri”, karena kode etik pers secara materil tidak lain dari “kode kehormatan”. 
A. Karakter Etika Van Apeldoorn mencatat berbagai dimensi etik yang sekaligus dapat dipandang sebagai karakteristik etik, meliputi: 1. Etika (atau moral) bertujuan untuk kesempurnaan (perikehidupan) pribadi (volmaking 
van de enkele mens). Kesempurnaan (perikehidupan) akan membantu (mendorong) perbaikan tata kehidupan masyarakat (verbetering van de mens meerwerk tot een betere maatscheppelijk orde). 2. Etika bersifat otonom, artinya bersumber dari kesadaran sendiri (eigen geweten) (Immanuel Kant). 3. Ketaatan pada etika bersumber dari kesadaran (kemauan) sendiri. Tidak ada paksaan dari luar untuk taat pada etik (De moral wortelt in de geweten van de mens… geen uitwendig macht die dwingt to naleving de morele geboden). 4. Etika merupakan kebutuhan pribadi dan tuntutan terhadap pribadi. Kuat atau lemahnya ketaatan pada etik tergantung pada tingkat kesadaran dan tanggung jawab pribadi. 5. Ada hubungan fungsional ketaatan pada etika dan ketaatan pada hukum. 6. Kesadaran etika berkaitan dengan budaya dan peradaban. 7. Kesadaran etik tidak terlepas dari sifat arif atau kearifan (wijsheid, wisdom). Karena bertalian dengan kesadaran, peradaban, dan kearifan, unsur-unsur atau karakteristik di atas, berlaku pada (mengikat) setiap orang, setiap kelompok, setiap lingkungan kerja, setiap lingkungan profesi termasuk pers atau media sosial (baik media sosial pers atau bukan pers). Selain itu, pada masingmasing kelompok dapat ada etika yang mencerminkan kesadaran dan tanggung jawab kelompok tersebut. Kita sebut saja sebagai “etika khusus” yang akan lebih meningkatkan nilai dan kualitas etika yang berlaku umum. B. Etika dan Hukum Etika memang berbeda dengan hukum. Pada rubrik terdahulu telah dicatat karakter etika, yang merupakan tuntunan sikap dan perilaku pribadi. Etika bersifat “inward looking” atau “inwendig werking”. Hukum adalah sarana hubungan antar orang dengan orang, orang dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, orang atau kelompok dengan negara atau kekuasaan. Hukum bersifat “outward looking” atau “uitwendig werking”. Dalam perbedaan itu, para penganut positivisme hukum memandang hukum tidak ada hubungan dengan etika. Hukum adalah produk kekuasaan. Etika atau moral tumbuh dari kesadaran pribadi. Ada yang berpendapat, hukum yang baik adalah hukum yang mengandung dimensi etika (etik). Bahkan pendapat yang lebih ekstrim mengatakan hukum yang tidak bersumber pada etika atau moral, bukanlah hukum. Dua pendapat terakhir lazim pada aliran filsafat moral. Bagaimana dalam kenyataan atau setidak-tidaknya harapan masyarakat? Telah dikemukakan dalam lingkungan yang taat pada hukum, biasanya akan mendorong ketaatan pada etik dan sebaliknya ketaatan pada etika tercermin pula pada ketaatan pada hukum. Ahli-ahli kriminologi sangat mengenal ajaran: “hubungan antara tingkat kejahatan dengan ekonomi”. Kemiskinan menjadi pemicu kejahatan. Dalam Islam diajarkan “kemiskinan itu awal dari kekafiran”. Tetapi suatu penelitian pernah membuktikan, suatu masyarakat yang lebih miskin tetapi tingkat kejahatan lebih rendah dari masyarakat yang ekonominya lebih baik. Penelitian itu menunjukkan, ternyata masyarakat yang lebih miskin sangat menjunjung tinggi adab dan etika kepercayaan mereka. Dalam berbagai media dimuat pernyataan yang menyatakan: “maraknya korupsi karena rendahnya kesadaran dan ketaatan pada etika (baik etika umum maupun etika jabatan) yang menimbulkan sikap tidak takut melanggar hukum”. Apakah hukum dapat dipergunakan sebagai sarana menegakkan etika? Dapat, dalam makna hukum 
dipergunakan sebagai sarana mendorong melaksanakan sendiri kewajiban etik oleh pelanggar etik. Dewan Pers hanya menetapkan kewajiban sebuah media memuat hak jawab. Dimuat atau tidaknya sepenuhnya tergantung pada kesadaran media yang bersangkutan. Ketaatan atau ketidaktaatan itu selain mencerminkan kesadaran, juga mencerminkan tanggung jawab, dan keberadaban dalam menjalankan profesi. Jonathan Herring dalam bukunya yang berjudul “Legal Ethics” (2013) mengajukan tiga dasar memecahkan persoalan etik. Salah satu yang bertalian dengan hukum adalah: “rules based approaches”, yakni “follow the rules”. Sejauhmana etika ditegakkan atau dilaksanakan akan ditentukan oleh “ketaatan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang ada”. Berdasarkan pendekatan tersebut, tidaklah berlebihan kalau dikatakan: “ketaatan pada hukum merupakan ukuran tertinggi ketaatan atas etik”.
C. Etika Media Sosial Sekedar memudahkan uraian di bawah ini perlu dibedakan antara “media sosial pers” dan “media sosial bukan pers”. Media sosial bukan pers dibedakan lagi antara “media komunitas”, seperti media keilmuan bidang tertentu dan “media sosial abal-abal”. Pembedaan ini sekedar untuk melukiskan media sosial bukan pers yang tidak memenuhi syarat-syarat undang-undang pers, dan atau tidak memiliki kesadaran untuk taat pada etik, baik etik pada umumnya maupun etik pers. Dewan Pers, (baik atas dasar berbagai peraturan atau pedoman yang dibuat sendiri oleh Dewan Pers maupun dalam bentuk MoU dengan institusi lain, seperti dengan Polri, Kejaksaan Agung) membedakan 
“Pelanggaran kode etik hanya dapat dilakukan oleh pers karena media bukan pers tidak tunduk pada kode etik pers”.
antara pelanggar kode etik pers dan pelanggar hukum. Pelanggaran kode etik hanya dapat dilakukan oleh pers karena media bukan pers tidak tunduk pada kode etik pers. Pelanggaran pemberitaan atau siaran adalah pelanggaran hukum. Pelanggaran kode etik pers menunjuk hal-hal sebagai berikut: 1. Dilakukan oleh pers (termasuk media sosial pers). 2. Ada dalam lingkup pers (berita atau siaran). 3. Terjadi dalam atau pada saat pelaku pers menjalankan tugastugas pers atau tugas jurnalistik.  
Perlu dicatat, pers dapat juga melakukan pelanggaran hukum sehingga dikenai tuduhan atau dakwaan pelanggaran hukum. Pers yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong atau menyebarkan kebencian, selain melanggar kode etik pers sekaligus hukum. Dengan demikian pemeriksaan terhadap pers yang diduga melanggar kode etik pers, tidak serta merta menutup pemeriksaan kemungkinan pelanggaran hukum. Namun sesuai dengan prinsip menjaga kemerdekaan pers dan berbagai kesepakatan (supra), para pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran hukum wajib terlebih dahulu memberikan kesempatan pemeriksaan pelanggaran kode etik pers. Apabila hasil pemeriksaan hanya didapati melanggar kode etik pers, segala pemeriksaan pelanggaran hukum harus dihentikan. Tetapi, apabila dalam pemeriksaan pelanggaran kode etik pers didapati pelanggaran hukum, pemeriksaan pelanggaran hukum dapat dilanjutkan, baik atas tuntutan atau pernyataan pihak yang dirugikan atau atas inisiatif penegak hukum (kecuali kalau merupakan delik aduan).***



Download