Prita Korban Pertama UU ITE
19 Juni 2009 | Administrator
Oleh Leo Batubara
Wakil Ketua Dewan Pers
PRITA Mulyasari, 32, adalah korban konflik antara warga negara kelompok "air mata" dan kelompok "mata air". Prita adalah representasi kelompok "air mata", yakni rakyat yang mengeluhkan pelayanan aparat pemerintah, perlakuan kamtib dan penegakan hukum, kinerja wakil rakyat dan badan usaha baik milik negara maupun milik swasta, termasuk pelayanan rumah sakit.
Tegasnya, yang saya maksud dengan kelompok "mata air" adalah mereka yang berkuasa baik dari segi politis, birokratis maupun finansial, sedangkan kelompok "air mata" adalah mereka yang lemah baik dari segi politis, birokratis maupun finansial. Prita, eks pasien RS Omni Tangerang, melalui e-mail mengungkap fakta dan kebenaran yang dia alami ketika dirawat di rumah sakit itu.
RS Omni mengadukan Prita ke jalur hukum, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, karena keluhan dan kritik Prita dinilai menghina dan mencemarkan nama baik RS Omni. Memedomani Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kajari Tangerang menuntut Prita dipidana penjara enam tahun dan didenda 1 miliar rupiah.
Sejalan dengan tuntutan itu, Prita langsung ditahan di penjara wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009. Konflik "air mata" dan "mata air" sudah berlangsung sejak negeri ini dijajah oleh pemerintahan kolonial Belanda.Ketika itu rakyat terjajah tidak mempunyai hak untuk mengeluh dan mengkritisi kesewenang-wenangan aparat penjajah.
Keluhan dan kritik rakyat terjajah terhadap aparat kolonial Belanda dan badan usaha milik Belanda dinilai sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik dan tindakan seperti itu adalah kejahatan. Ribuan orang pers dan orang-orang pergerakan dipenjarakan sesuai dengan ketentuan KUHP.
Kelompok "mata air" adalah kelompok penguasa, aparat kolonial Belanda dan badan usaha milik orang-orang Belanda. Keluhan dan kritik yang mengemukakan fakta dan kebenaran tentang kesewenang- wenangan aparat kolonial dan badan usahanya adalah kejahatan. Sejumlah ketentuan KUHP didesain untuk melindungi kelompok "mata air" dari keluhan dan kritik kelompok "air mata".
Derita Prita ditahan di penjara wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 menjadi pengetahuan publik setelah tiga anggota Dewan Pers bersama sekitar 50-an wartawan media cetak, radio, televisi, dan internet pada 3 Juni 2009 pukul 11.00 WIB diberi izin oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Arti Widiastuti, untuk bertemu dan mem-blow up penderitaan ibu dari dua anak kecil itu.
Dampaknya luar biasa. Keberhasilan jurnalis televisi menayangkan langsung apa kata capres Megawati, Wapres Jusuf Kalla, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ––yang memberi isyarat Prita tidak sepatutnya ditahan–– agaknya menjadi pertimbangan bagi hakim. Hanya beberapa jam setelah Dewan Pers berhasil menggelar Prita Meet the Press, ibu muda itu dikeluarkan dari penjara menjadi berstatus tahanan dalam kota.
Panggung Absurditas
Sejak Prita bebas dari penjara, media massa telah menjadi panggung perbenturan pendapat, kenapa Prita yang mengeluhkan fakta dan kebenaran harus dipenjarakan? Dari aneka ragam pendapat, tidak semua memberi pencerahan, sebagaimana terekam berikut ini. Pertama, pendapat tidak akurat.
Ketua DPR Agung Laksono (4/6/09) mempertanyakan kenapa Prita bisa sampai masuk penjara, padahal UU ITE itu baru berlaku tahun 2010? Anggota Komisi Hukum DPR Gayus Lumbuun mengatakan, "Pihak kejaksaan yang mengusut kasus hukum Prita terindikasi melakukan kelalaian, UU itu semestinya baru bisa digunakan pada 2010."
"Lebih lanjut mantan anggota Pansus DPR Pembahas UU ITE M Yamin mengatakan bahwa UU itu belum bisa digunakan karena peraturan pemerintah (PP) belum ada. Tiga anggota Dewan pembuat UU tersebut sangat mungkin sudah lupa bahwa Pasal 54 ayat (1) menyebut," Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan." Sementara Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) yang mengirim Prita ke penjara adalah pasal-pasal yang tidak memerlukan PP dan sudah berlaku sejak 21 April 2008.
Menjawab pertanyaan pers, mestinya anggota DPR pembuat UU itu tidak cuci tangan dan mempersalahkan yang lain. Kemudian anggota Staf Khusus Kepresidenan Bidang Hukum Denny Indrayana menyatakan langkah yang paling tepat adalah mengajukan uji materi melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Langkah yang ditawarkan staf hukum kepresidenan itu sudah pasti tidak bisa lagi ditempuh. Karena wartawan Iwan Piliang dan koalisi LBH Pers, AJI, dan PBHI telah mengajukan uji materi UU ITE itu ke MK. Putusan MK (5/5/09) norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan HAM dan prinsip-prinsip negara hukum.
Pasal 27 ayat (3) menyebut, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Sementara Pasal 45 ayat (1) mengatakan,"Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1. 000.000.000,00- (satu miliar rupiah)." Kedua, pola pikir paradoks.
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polri kepada wartawan menegaskan bahwa polisi hanya menjerat terdakwa Prita dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.Kejaksaan yang memberikan petunjuk agar penyidik melengkapi dakwaan dengan UU ITE.
Meskipun Kejaksaan Agung menyatakan ketidakprofesionalan jaksa penuntut umum dalam menangani kasus Prita, Kejaksaan Tinggi Banten tetap bersikukuh bahwa penggunaan Pasal 27 dan Pasal 45 UU ITE sudah sesuai dengan materi dan substansi perkara.
Dalam rapat dengar pendapat dengan jajaran direksi RS Omni Internasional (8/6/09), Komisi XI DPR mendesak agar RS Omni mencabut gugatan hukum terhadap Prita yang sedang diadili di Pengadilan Negeri Tangerang. Jika tidak dilakukan pencabutan,DPR akan mendesak pemerintah mencabut izin operasi RS Omni.
Ketika bertemu dengan kuasa hukum RS Omni Risma Situmorang di Metro TV (3/6/09), saya bertanya kenapa RS Omni begitu tega memenjarakan Prita? Risma menegaskan, "Prita telah menghina dan mencemarkan nama baik klien saya. Berlandaskan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) tindakan kejaksaan sah dan sesuai dengan putusan MK bahwa pemberlakuan pasal-pasal itu adalah konstitusional."
Dari benturan pendapat sebagaimana dikemukakan di atas, timbul pertanyaan izin operasi RS Omni-kah yang harus dicabut? Atau DPR justru yang harus bersikap ksatria untuk mencabut dua pasal UU ITE tersebut? Patut disayangkan sembilan anggota MK hanya menonton dan diam. Apa reaksi mereka menyikapi perlawanan publik terhadap penggunaan dua pasal UU ITE itu, rakyat ingin tahu.
Menurut Ketua SETARA Institute Hendardi, Prita korban UU ITE. UU kejam ini menjadi "mainan" Depkominfo. UU ITE digunakan untuk mengkriminalkan hak atas kebebasan berpendapat melalui transaksi elektronik seperti milis, internet,dan telepon seluler. UU ITE itulah "biang kerok" yang digunakan RS Omni untuk mengirim Prita ke penjara.
Namun, celakanya, Depkominfo yang punya "mainan" itu justru cuci tangan di atas penderitaan Prita. Jika UU itu terus berlaku, Prita-Prita lain akan menyusul (Suara Karya,10/6/09). Segera setelah UU ITE itu diundangkan, Dewan Pers bertemu Menteri Kominfo Muhammad Nuh dan Plt Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Depkominfo Edmond Makarim, salah satu otak di belakang UU ITE itu.
Dewan Pers menyampaikan resistansinya. Pertama, mengapa Dewan Pers dan organisasi pers tidak diundang untuk berpartisipasi dalam pembahasan? Kedua, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE itu lebih represif dari produk hukum buatan penjajahan Belanda. Di Pasal 310 KUHP ancaman penjara bagi pelaku penghinaan dan pencemaran nama baik hanya sampai satu tahun dua bulan, di UU ITE sampai enam tahun.
Berdasar Pasal 310 pilihan hukuman penjara atau denda, berdasar UU ITE bisa dipenjara dan didenda 1 miliar rupiah. Di Pasal 310, terdakwa baru dipenjarakan setelah hakim memutus kesalahannya, sedangkan di UU ITE tertuduh dapat langsung dimasukkan ke penjara. Menurut hemat saya, UU ITE itu sengaja didesain untuk melindungi kepentingan kelompok "mata air" dari keluhan, kritik, dan kontrol kelompok "air mata."
Menjawab pertanyaan wartawan beberapa surat kabar tentang Prita yang dipenjarakan karena curhatnya di e-mail yang dinilai menghina dan mencemarkan nama baik RS Omni, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong mengatakan, "Para hakim diminta berhati-hati menerapkan pasal-pasal pencemaran nama baik. Alasannya, keadaan sekarang sudah berbeda dari saat pasal tersebut dibuat, yakni pada zaman Belanda.
Tidak tertutup kemungkinan kita akan hapus pasal-pasal itu, tentu nanti dari Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). "Sikap MA itu sepertinya berseberangan dengan sikap MK. Mengacu putusan MK bahwa dua pasal UU ITE itu adalah konstitusional, menurut hemat saya kecenderungan MK ialah lebih melindungi HAM atas kelompok ”mata air". Adapun MA sedang menuju sikap lebih melindungi HAM bagi warga negara kelompok "air mata".
Kesimpulan
Setelah Prita Meet The Press, wartawan telah berhasil bukan saja memanggungkan kasus hukum Prita menjadi pengetahuan publik, tapi juga menampilkan reaksi dan pendapat para elite bangsa yang tidak cerdas, asal omong, cuci tangan, dan tidak bernalar. Berkat pers, publik dapat menonton pameran absurditas elite bangsa kita.
Tentang bagaimana mengatasi kasus Prita, terproyeksi langkah-langkah jalan keluar mulai dari pendekatan simptomatis sampai bagaimana mengatasi akar persoalan. Jika izin operasi RS Omni dicabut misalnya, adakah jaminan kasus hukum yang dialami Prita tidak menimpa Prita-Prita lain? Untuk mampu menemukan akar persoalan, tampaknya terlebih dahulu perlu disepakati apa kehendak yang ingin dituju?
Apakah hak berekspresi, hak mengeluh, hak mengkritik rakyat yang dizalimi, yang teralienasi masih harus dilindungi? Apakah hak warga negara kelompok "air mata" masih perlu dilindungi? Bila jawabannya ya, tiada pilihan lain kecuali menghilangkan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Penguasa yang berhak melakukannya adalah Menkominfo dan semua Fraksi DPR seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS.
Mereka yang membuat, mereka yang harus mengakhiri. Namun jika kepentingan kelompok "mata air" (pejabat bermasalah, politisi bermasalah, penguasa bermasalah) yang harus dilindungi, solusinya adalah tetap mempertahankan pasal-pasal UU ITE itu sejalan dengan legalisasi MK.
Untuk menghibur rakyat, obat pain killer-nya adalah mengganti Kajati Banten dan menyuarakan pencabutan izin operasi RS Omni. Jika pasal-pasal UU ITE itu tetap dipertahankan, dipenjarakannya Prita adalah peringatan awal bagi kelompok "air mata" agar jangan mengganggu kenyamanan kelompok "mata air".(*)
Leo Batubara adalah Anggota Dewan Pers. (Ia juga Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro yang menaungi LPDS).