Amati sudut pandang dan agenda setting media: Cerdas Membaca Berita Politik

Amati sudut pandang dan agenda setting media: Cerdas Membaca Berita Politik
12 Juni 2018 | AdminMediaCentre

Demikian pula banjir informasi, banyak sekali berita sampah, hoax, info pesanan, disinformasi, yang bercampur dengan informasi yang kita cari. Masyarakat harus menyaring dan memilih sendiri berita yang diperlukan di tengah-tengah banjir informasi itu, termasuk untuk berita-berita politik.   Jika dia mempercayai info yang ternyata salah, maka keputusan yang diambil berdasar info itu, kemungkinan besar salah. Garbage in garbage out. Masyarakat harus mempercerdas dirinya sendiri dalam menghadapi banjir informasi sekarang ini. Inilah jurus-jurus menghadapi banjir media; 1. Jangan cepat percaya kepada siapa pun dan dari media mana pun; Lakukan check and rechceck melalui media yang lain, dan sumber informasi yang lain. 2. Untuk sementara ini, kalau ada info yang aneh dan kontroversial, segera periksa media-media konvensional, yaitu media televisi, dan media cetak yang jelas nama penanggung-jawabnya. 3. Selalu gunakan akal sehat.
Tentu, yang terpenting adalah akal sehat. Misal, ada suatu media yang terpercaya memberitakan bahwa Kowani mendukung poliandri.  Ada dua kemungkinan, media itu benar, dan Kowani berubah sikap, atau media itu salah menyiarkan informasi, karena Kowani (Kongres Wanita Indonesia) itu menentang poligami. Tidak masuk akal, organisasi yang menentang poligami itu mendukung poliandri. Dan ternyata, setelah diperiksa, wartawan media itu yang salah kutip. Demikian pula waktu muncul berita Peraturan Presiden tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraaan Perorangan. Ada beberapa kemungkinan tentang berita itu: 1. Mungkin media  yang salah; 2. Mungkin sikap Presiden Joko Widodo berubah, yang semula tidak menyetujui pembelian mobil baru untuk para pejabat, sekarang membolehkannya, dan persetujuan itu berbentuk Peraturan Presiden. Perubahan sikap ini tergolong serius, sehingga perlu digali, dan diinformasikan. 3. Te r n y a t a mu n c u l kemungkinan ketiga, yaitu Presiden Joko Widodo belum membaca dengan cermat Peraturan Presiden yang disodorkan di mejanya.
Kemungkinan media yang menyiarkan berita itu salah, kecil sekali, apalagi kasus ini disiarkan secara berjemaah, oleh banyak media, mutawatir, dan ada bukti perpresnya. Kemungkinan Presiden berubah sikap juga terasa aneh, dan kalau itu benar, maka topik ini masih menjadi bulan-bulanan media. Yang mengaketkan adalah munculnya kemungkinan ketika ternyata Presiden Joko Widodo mengaku bahwa dia tidak membaca perpres itu dengan cermat, Ada dua sisi untuk menilai kasus Perpres mobil ini. Pertama, bahwa ada jalur administrasi di kepresidenan yang kurang beres, mengapa ada draft perpres yang tidak sejalan dengan sikap Presiden, dan bisa lolos sampai ke meja Presiden. Kedua, Presiden Joko Widodo berani menyatakan kasus perpres ini secara terbuka, walaupun dia akan terkena kritik sebagai Presiden yang kurang cermat. Pilihan Presiden untuk berbicara secara terbuka ini adalah isyarat bahwa dia berani menanggung risiko dianggap kurang cermat daripada berubah sikap. Kekurangcermatan itu bisa diperbaiki secara teknis, sedang berubah sikap perlu penjelasan yang lebih fundamental, dan hal itu tentu akan berdampak lebih luas. Ini adalah contoh komunikasi politik yang menuntut masyarakat lebih cerdas lagi dalam mencerna informasi yang sedang beredar.Masih ada lagi kasus yang menuntut masyarakat makin cerdas. Misalnya waktu Presiden Jokowi menyatakan stop kriminalisasi KPK, lalu Wakil Presiden JK menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan stop kriminalisasi itu adalah tidak adanya  tindakan kriminal tetapi dianggap sebagai kriminal. Menurut Wapres JK, kalau memang ada tindakan kriminal dan dilakukan tindakan untuk kasus itu, maka hal itu tidak bisa digolongkan dengan kriminalisasi. Yang lebih menarik adalah kasus PSSI. Wapres JK mempertemukan Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) dengan pengurus PSSI yang tidak diakuinya, dan meminta Menpora mencabut pembekuan PSSI. Setelah bertemu Wapres JK, Menpora menghadap Presiden Jokowi, dan sampai saat ini Menpora belum mencabut pembekuan PSSI, sampai akhirnya PSSI dijatuhi sanksi oleh FIFA.
 
Masalah intervensi ke newsroom Dalam banjir informasi sekarang ini, masyarakat juga diminta lebih jeli, yaitu untuk mengetahui siapa pemilik media dan apa kecenderungan politiknya. Misalnya, media A berpihak kepada partai A; media B berpihak kepada partai B; media C berpihak kepada partai C. Media itu berpihak kepada salah satu partai, karena media itu dimiliki oleh pemimpin partai. Biasanya pemilik media lebih disegani oleh newsroom dari pada Presiden negeri itu. Contoh yang menarik adalah Amerika Serikat. First Amendment menyatakan: “Congress shall make no law respecting an establishment 
of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances.” Dengan konstitusi itu, wartawan tidak takut kepada Presiden Amerika Serikat, Gubernur, tentara, maupun polisi. Kalau Presiden AS berani mengintervensi media, akan dilawan oleh wartawan seluruh negeri. Kasus Water Gate, berhasil menjatuhkan Presiden Nixon. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa wartawan AS tidak takut kepada para pemiliknya? Jaminan terhadap kemerdekaan pers di Indonesia cukup mantap. Walaupun tingkatannya tidak setinggi konstitusi, di Indonesia ada UU no 40/1999 tentang Pers, Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan:  “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).”
Adapun Pasal 4 ayat (2) berbunyi: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.” Sedangkan Pasal 4 ayat (3) berbunyi: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Dengan UU Pers ini, andaikata Presiden Republik Indonesia, 
Kapolri, atau Panglima TNI melakukan intervensi ke media di Indonesia, maka bisa dikenai hukuman 2 tahun penjara. Sampai saat ini, sejak UU Pers berlaku, Presiden, Kapolri, Panglima TNI atau pihak luar tidak ada yang berani mengintervensi media. Mereka menggunakan hak jawab, atau melaporkan ke Dewan Pers. Jika intervensi itu terjadi, pasti akan dikeroyok oleh seluruh wartawan dan media di Indonesia. Namun, bagaimana kalau yang melakukan intervensi adalah pemilik media itu? Biasanya, para wartawan menganggap kebijakan pemilik itu adalah masalah internal, masalah rumah tangga media, yang tidak perlu diributkan. Sampai saat ini di Indonesia belum pernah ada wartawan yang melaporkan intervensi pemiliknya ke newsroom. Belum pernah ada laporan intervensi itu ke Dewan Pers atau ke Polisi.Komunikasi politik Kabinet Jokowi Dengan banjir informasi seperti ini, dan dengan berbagai perbedaan pendapat di kabinet, serta dengan peta media massa saat ini, masyarakat perlu menarik nafas dahulu sebelum menelan informasi yang akan dipercayanya. Tentu saja hal ini merepotkan, karena orang tidak bisa mengambil keputusan secara cepat, karena harus menguji informasi yang diterimanya, apakah bisa dipercaya atau tidak bisa dipercaya. Wartawan pun mengalami kesulitan untuk mendapat informasi yang lengkap, karena Presiden Jokowi senang melayani wartawan secara door stop. Bagi wartawan yang baru memasuki topik suatu berita, dan bertanya kepada Presiden Jokowi, bisa dijawab, bahwa masalah itu sudah dijelaskan sebelumnya. Wawancara door stop memang tetap perlu, tetapi penjelasan yang lebih luas dalam jumpa pers juga diperlukan. Kalau bisa jumpa pers itu dilakukan oleh Presiden sendiri, tetapi bisa juga diwakili oleh Menteri atau juru bicara yang lain. Dengan demikian masyarakat bisa memperoleh penjelasan yang lebih lengkap, khususnya di depan media penyiaran, yang disiarkan langsung. Misalnya tentang kasus PSSI 
bisa dijelaskan, apa yang dilakukan pemerintah setelah Indonesia dijatuhi sanksi oleh FIFA. Untuk masalah beras sintetis,  mengapa kok media lebih memilih istilah beras plastik daripada beras sintetis. Mengapa Petral tidak dibubarkan sewaktu Presiden SBY, mengapa sekarang kok bisa dibubarkan, dan yang lebih penting, siapa yang mengambil alih kerja Petral dan keuntungan yang diperolehnya? Masih banyak yang menarik untuk membaca komunikasi politik akhir-akhir ini. Yang penting catatlah fakta yang diungkapkan media dan sumber berita. Kedua 
lihatlah sudut pandang media dan sumber media dari fakta yang diungkapkan. Seekor gajah akan terlihat indah kalau dilihat gadingnya, dan terlihat jorok kalau dilihat beraknya. Dan jika punya waktu amati rentetan pemberitaan pada suatu kasus, nanti akan terbaca agenda setting yang sedang dimainkan suatu media dan sumber berita yang dipilihnya.**



Download