Persamaan di Hadapan Hukum dan Pemerintahan
13 Maret 2018 | AdminMediaCentre
Tentang teori atau konsep negara hukum.
Paling tidak, ada tiga teori atau konsep dasar negara hukum yaitu persamaan di hadapan hukum, tidak ada kekuasaan di atas hukum, dan hukum adalah kekuasaan tertinggi (supreme). Telah dikemukakan, konsep “persamaan di hadapan hukum” (equality before the law) bermula dari Inggris (Dicey). Konsep “tidak ada kekuasaan di atas hukum” atau “semua kekuasaan di bawah hukum” (subject to the law) merupakan dasar dari “de recktsstaat” yang bermula dari Jerman. Konsep “hukum adalah kekuasaan yang ‘tertinggi” (the supremacy of law) bermula dari Amerika Serikat.
Tiga konsep dasar tersebut secara hakiki ditujukan pada penguasa yaitu sebagai cara membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang. Dalam perkembangan, pengertian pembatasan kekuasaan, tidak hanya terbatas pada kekuasaan sewenang-wenang (arbit rary, willekeur). Pembatasan kekuasaan juga mencakup Iarangan melampaui wewenang (detournement de pouvoir) , kewaj iban menaati prinsip-prinsip fairnees (prosedural fairnees) dalam menetapkan keputusan (seperti terhadap right to be heard, legitimate expectation), dan Iain-lain. Meskipun secara umum, persamaan di hadapan hukum berlaku pada semua (setiap orang), tetapi penguasalah (pemerintah) yang paling berkesempatan meniadakan persamaan atas dasar status dalam susunan kekuasaan, status sosial, keyakinan, etnis, kekayaan dan lain-lain. Hanya penguasa atau mereka yang memperoleh bagian dari kekuasaan yang dapat menyatakan atau menempatkan diri di atas hukum (above to the law) seperti ungkapan l’etat se moi. Hanya penguasa atau bagian dari kekuasaan sebagai yang berdaulat menjadi sumber dan yang memberikan hukum, karena itu hukum ada di bawah kehendaknya. Bukan sebaliknya berada di bawah kehendak hukum.
Berdasarkan paham negara hukum, pembatasan kekuasaan yang dikemukakan di atas, dilakukan melalui (menggunakan) hukum sebagai instrumen yang lazim disebut asas Iegalitas (legality pr inciple, Iegaliteitsb eginsel) . Benarkah kalau segala sesuatu telah diatur oleh hukum akan terjamin tidak ada tindakan sewenang-wenang atau melampaui wewenang, dan akan menjamin persamaan? Sama sekali tidak. Hukum dapat juga dipergunakan sebagai semata-mata alat kekuasaan, alat bertindak sewenang-wenang, atau melampaui wewenang, atau alat meniadakan persamaan. Kenyataan ini ditentukan oleh sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama; cara menentukan substansi hukum. Hukum yang semata-mata dibuat untuk melindungi atau menjamin kepentingan penguasa atau kaum yang menempel dengan kekuasaan, akan berbeda dengan hukum yang dibuat atas dasar kepentingan rakyat banyak. Menurut maixisme (Karl Marx), hukum dalam sistem kapitalisme semata-mata alat penguasa untuk menindas rakyat banyak (hukum sebagai alat penindas). Hukum semacam ini ada pada masyarakat yang terbagi atas kelas-kelas, yaitu kelas penguasa (para pemilik modal) dan kaum proletar (rakyat banyak) yang tertindas. Karena itu apabila cita-cita mewujudkan masyarakat tanpa kelas (classless society) dapat diwujudkan (masyarakat komunis), hukum tidak perlu lagi. Setiap orang akan mengetahui hak-hak dan kewaj iban-kewaj ibannya. Dalam masyarakat tanpa kelas, tidak ada kepemilikan pribadi. Semua barang (benda) adalah milik bersama. Konsep yang sudah dijalankan sejak masih masa transisi yaitu pemerintahan kediktatoran proletariat (Uni Soviet). Ajaran marxisme yang menolak kepemilikan pribadi tidaklah original benar. Ajaran ini berasal dari Plato. Konsep negara ideal Plato, selain negara harus diperintah para filosof, juga tidak ada sistem kepemilikan pribadi (individual ownership. private ownership).
Ada beberapa catatan terhadap pandangan hukum marxisme. Pandangan marxisme bertentangan dengan takdir alamiah manusia yang senantiasa memerlukan ketertiban (order) dan keteraturan (regularity). Untuk itu diperlukan aturan-aturan bersama (hukum), seperti ditulis Cicero: “ubi societes ibi ius” (setiap masyarakat perlu hukum). Tidak ada masyarakat tanpa hukum. Memang, marxisme berusaha menapikan prinsip alamiah ini. Marxisme bertolak dari hukum perkembangan materialistik yang bersifat dialektis (historical materialism), khususnya hukum perkembangan ekonomi. Catatan lain yaitu, secara hakiki, konsep masyarakat tanpa kelas yang tidak lagi memerlukan hukum dan susunan kekuasaan (negara) adalah inkarnasi teori hukum alam John Locke tentang suasana surgawi masyarakat alamiah (state of nature) sebelum ada negara. Menurut Locke, dalam masyarakat alamiah, setiap orang tahu hak-hak dan kewajibannya untuk menjamin hak-hak asasi sebagai hak alamiah.
Pandangan ini sejalang dengan Rousseau (lahir setelah beberapa tahun Locke meninggal). Menurut Rousseau, manusia itu ketika dilahirkan adalah mahluk yang baik, tetapi kemudian dirusak oleh pergaulan dalam masyarakat. Namun, Rousseau juga berpandangan, meskipun manusia dilahirkan bebas, tetapi selalu terikat (man was born free and everywhere he is in chains), yaitu terikat pada general will. Setiap orang tunduk pada general will. Tetapi konsep Looke (demikian pula Rosseau, Hobbes) bersifat hypothetical yang secara historis belum pernah menjadi suatu kenyataan. Locke sendiri mencatat, masyarakat alamiah yang bersifat surgawi itu senantiasa mengandung potensi konflik. Mengapa? Pada akhirnya, kata Locke, manusia itu Iebih mencintai dirinya sendiri, Iebih mencintai kelompoknya daripada orang Iain atau kelompok Iain. Hobbes Iebih tegas dengan mengatakan, masyarakat alamiah dalam suasana homo homuni lupus bellum omnium contra omnes (manusia yang satu merupakan serigala bagi manusia yang lain, dan akan terjadi pertikaian antara semua orang dengan semua orang yang Iain). Perlu pula dicatat, upaya menerapkan marxisme (seperti dijalankan negara-negara komunis) ternyata Iebih dahulu berakhir (mengalami kegagalan) dibandingkan dengan kapitalisme atau Iiberalisme yang sampai sekarang masih hidup, malahan makin berjaya. Walaupun ada pula ramalan, konsep marxisme, seperti sosialisme, suatu ketika akan bangkit kembali bersamaan dengan kegagalan kapitalisme-Iiberalisme yang ditandai oleh berbagai krisis ekonomi-keuangan yang makin sulit disembuhkan. Krisis euro menurut pengamat sosialisme bukan sekedar krisis ekonomi atau keuangan, tetapi krisis sebuah sistem yang merupakan penyakit bawaan kapitalisme, Iiberalisme. Menghadapi ramalan atau kemungkinan memudarnya sistem kapitalisme-Iiberalisme sekarang ini, sudah waktunya para pemikir dan penguasa di tanah air kita berpikir dan menjalankan konsep-konsep alternatif yang prinsipil antara lain menguji kembali dasar-dasar pemikiran para Fouding Fathers kita. Bukan sekedar bergerak zikzak atau main petak umpet dari berbagai krisis dunia sekarang ini. Hal lain yang tidak kalah penting yaitu cara (prosedur) membuat hukum agar tidak menjadi alat kekuasaan. Substansi hukum yang hanya dibuat untuk menjadi fasilitas sekelompok orang yang berkuasa atau yang memiliki pengaruh terhadap kekuasaan, dapat dipastikan akan mengesampingkan kepentingan rakyat banyak atau kepentingan pemerataan peri kehidupan yang sehat dan beradab (politik, ekonomi, sosial dan Iain-lain). Pilihan-pilihan undang-undang yang akan dibuat acap kali terlalu berorientasi pada kepentingan penguasa atau segelintir orang yang menyatukan diri dengan kekuasaan. Meskipun hukum-hukum (undang-undang) keagrariaan bertalian erat dengan kepentingan rakyat banyak, tetapi tidak ada satu politik pembaharuan keagrariaan yang benar-benar berpihak kepada rakyat banyak. Undang-undang agraria menyatakan dengan tegas, tanah untuk petani, tetapi kebijakan agraria (pertanahan) lebih berpihak kepada kaum kapitalis. Pada saat ini, persoalan sosial keagrariaan sangat nyata sebagai sumber ketegangan sosial yang melibatkan rakyat banyak. Kedua; sebagai cara menghindarkan hukum semata-mata sebagai alat kekuasaan atau hanya untuk kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang menempel dengan kekuasaan, yaitu berkaitan dengan cara melaksanakan atau cara menegakkan hukum. Penataan cara melaksanakan hukum tidak hanya mengenai penegak hukum untuk proses yustisial (polisi, jaksa, hakim, KPK). Tidak kalah penting, para penegak hukum di luar proses yustisial di dalam atau di luar pemerintahan. Cara melaksanakan hukum juga berkenaan dengan pelayanan hukum. Bahkan secara keseluruhan, cara melaksanakan hukum berkaitan dengan seluruh segi penyelenggaraan negara dan pemerintahan (politik, ekonomi, sosial, budaya).
Tentang teori atau konsep demokrasi.
Ada dua semboyan yang paling dielu-elukan dalam demokrasi yaitu kemerdekaan dan persamaan (freedom and equality). Tanpa kemerdekaan tidak akan ada persamaan. Tanpa persamaan tidak ada kemerdekaan. Telah dikemukakan, Revolusi Perancis (1789) dan sampai sekarang masih di muat dalam Pembukaan UUD menggunakan semboyan: Iiberté, egal ite, fraternite (kebebasan/ kemerdekaan, p er samaan, persaudaraan). Persaudaraan tidak dapat dipisahkan dari kebebasan dan persamaan. Tanpa persaudaraan, serba bebas dan serba sama dapat menimbulkan perpecahan atau kurangnya rasa keterikatan atau persatuan satu sama lain. Persaudaraan akan menimbulkan toleransi bagi orang lain dalam berdemokrasi. Demokrasi adalah tatanan bernegara yang harus dijalankan dengan cara-cara damai (peaceful process) yaitu melalui permusyawaratan atau perundingan (peaceful discussion). Hal ini menumbuhkan syarat lain yaitu keterbukaan (transparancy, openess) dan kelurusan atau kejujuran (fair ness). Dalam demokrasi berlaku prinsip put all on the table, nothing under the table. Untuk menjamin kelurusan dalam permusyawaratan dan keterbukaan, harus ada kesadaran saling memiliki dan itulah persaudaraan (fraternité). Bung Hatta (Demokrasi Kita, 1960) mengatakan, kemerdekaan (kebebasan) saja tidak cukup. Di sebelah kemerdekaan perlu persamaan. Hanya kemerdekaan (kebebasan) tanpa persamaan tidak akan ada keadilan (justice). Persamaan adalah jaminan bagi proses dan perwujudan keadilan. Dari segi ini, persamaan di depan hukum dan pemerintahan merupakan syarat mewujudkan keadilan. Perbuatan tidak adil bukan hanya dalam makna menolak keadilan, tetapi juga menunda keadilan (just ice delay is just ice denied). Persamaan mencakup persamaan politik, ekonomi, sosial dan lain-lain. Selain sebagai syarat keadilan, persamaan merupakan cara membatasi kemerdekaan (kebebasan). Kemerdekaan (kebebasan) tidak boleh mencederai hak yang sama pada orang lain. Locke mengatakan, hak atas kebebasan, dibatasi oleh hak yang sama yang ada pada orang lain.
Tentang teori atau konsep konstitusionalisme.
Dasar teori konstitusionalisme adalah pembatasan kekuasaan (Iimited government) yang diatur dalam konstitusi (UUD). Strong menyebut UUD sebagai written const i t ut ion dalam bentuk documentary constitution.
bersambung edisi mendatang.
Download