Pemberitaan TerorisThamrin dan Kode Etik

Pemberitaan TerorisThamrin dan Kode Etik
11 Januari 2018 | AdminMediaCentre

Tapi perbincangan tentang pemberitaan berbagai media terkait peristiwa ini masih menyisakan berbagai perdebatan. Ada banyak pihak, termasuk kalangan wartawan senior dan akademisi, menilai pemberitaan sebagian media bukan hanya telah melanggar etik tapi juga ikut menyebarkan teror kepada warga ibukota.

     Hal ini dikarenakan ada banyak media terutama TV dan media siber pada awal-awal kejadian banyak menggunakan sumber media sosial dan tak melakukan checking, rechecking, maupun verifikasi terkait fakta. Jangan heran kalau media justru memperkuat rumourstentang adanya teroris yang berhasil meloloskan diri dari kepungan polisi dan dengan motor trail bergerak ke arah Semanggi, kemudian masuk ke ruas Jalan Palmerah sambil menembaki masa dari jalanan. Bukan hanya itu, media televisi dan media siber yang ingin menjadikan liputannya eksklusif memberitakan adanya aksi tembak dan ledakan bom di sejumlah titik, antara lain di kawasan Cikini, di Mall Pondok Indah, bahkan di Mall Alam Sutera.

     Pada awal kejadian, khususnya sesaat ledakan di pos polisi di depan Gedung Sarinah pasca bom pertama di Starbuck, sejumlah televisi dan media siber menyiarkan gambar dua jenasah yang tergeletak di dekat pos polisi tanpa diburamkan ataupun diblur. Tanpa disadarai media yang sebetulnya hanya ingin menyampaikan fakta-fakta di seputar lokasi kejadian, justru menyampaikan pesan teror kepada pembaca dan pemirsanya

     Memang, ada banyak informasi yang muncul di media sosial, terutama di twitter dan whatsapp. Semestinya media dan wartawan profesional tak boleh mengambilnya begitu saja dan menjadikannya sebagai bahan berita. Semestinya setiap wartawan hanya menjadikannya sebagai sebuah informasi awal, yang harus dicek dan diverifikasi lagi kebenarannya. Menjadikan bahan yang ada di media sosial sebagai sebuah karya jurnalistik, tanpa memeriksa faktanya, adalah sebuah kecerobohan dan kebodohan jurnalistik.

     Kita semua tahu, sesaat setelah kejadian juga muncul gambargambar palsu tentang jembatan penyeberangan yang runtuh akibat ledakan bom teroris, gambar polisi korban bom, polisi korban penembakan, dan sejumlah rekaman video tentang aksi tersangka teroris dan polisi yang berusaha melumpuhkannya. Malah ada gambar seorang yang diduga teroris perlente berbaju putih dan bercelana putih terlihat sedang melepas tembakan di kawasan halaman Gedung Sarinah. Juga ada banyak posting gambar-gambar dan meme iseng berupa perempuan montok membawa senapan mesin atau nenek renta membawa senapan mesin siap membasmi para teroris.

     Sesaat, tepatnya beberapa menit pasca bom di Starbuck dan pos polisi, ada banyak informasi berseliweran di gadget dan smartphone melalui twitter dan whatsapp. Sebagian benar dan sebagaian lagi adalah hoax. Tugas setiap wartawan yang ingin membuat liputan dan mencari bahan-bahan dari media sosial untuk memilih dan memilahnya secara berhati-hati dan melakukan cek da ricek serta memverifikasinya. Pasal 1 Kode Etik Jurnalitik (KEJ) menyatakan, “wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”.

     Dalam penafsiran dijelaskan bahwa akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain

     Waktu dan Model Pemberitaan Terkait model pemberitaan soal teroris di Jalan Thamrin, mungkin bisa dilihat berdasarkan waktu dan jenis media yang memberitakan. Berdasarkan waktu bisa dibagi antara lain “liputan 5 jam pertama”. “liputan 1 hari”, dan liputan setelah 1 hari”. Sedangkan dari jenis media bisa dipilah jenis media siber/online, media televisi, media radio, dan media cetak.

     Pada awal liputan, sesaat setelah sebuah bom bunuh diri terjadi di Starbuck di kawasan Sarinah, media menggambarkan suasana kepanikan dan kebingungan. Hal ini yang lazim disebut sebagai sebuah kabut perang (fog of war) dimana kebenaran belum ditemukan. Dalam keadaan ini semua orang bingung dan berusaha memahami apa yang terjadi. Termasuk siapa “berperang”dengan siapa, bagaimana awal mulanya, siapa yang jadi korban dan seterusnya. Kabar yang muncul adalah ada bommeledak di depan Gedung Sarinah di Jalan Thamrin Jakarta dan ada teroris yang menembaki polisi dan masyarakat.

     Pada awal kejadian ini, para saksi mata di dekat lokasi kejadian, termasuk mereka yang ada di lantai atas gedung-gedung di sekitar Sarinah merekam dan memotret kejadian yang ada dan mempostingnya ke media sosial, termasuk ke grup whatsapp. Postingan ini kemudian dikirim ulang oleh para penerimanya ke grup-grup yang lain dan muncullah efek viral yang sudah tak bisa dikendalikan lagi oleh orang yang mengirimkannya pertama kali

     Tampaknya kecepatan informasi di media sosial ini dan faktor “ingin mengabarkan yang pertama” menjadi faktor dominan yang menyebabkan sejumlah media dan wartawan untuk tergoda menggunakannya sebagai bahan reportase. Jelas ini adalah sebuah langkah spekulatif yang berbahaya. Apalagi mereka tak melakukan pengecekan dan konfirmasi

     Pada tahap-tahap ini wartawan dan media ikut menyebarkan rumours. Hoax di media keadaan jenasah korban tanpa editing. Media TV dan media siber yang berkarakter memburu kecepatan adalah media yang paling parah melakukan kesalahan. Selain itu, reportase yang disampaikan kepada publik lebih bertumpu pada pandangan mata dan pendapat orang di lapangan.

     Pasal 2 KEJ menyatakan, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”. Cara-cara yang profesional antara lain adalah menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya, dan menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.

     Sedangkan Pasal 3 KEJ menyatakan, “ Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu

     Yang lebih celaka tayangan yang penuh kesalahan dan keteledoran tersebut ditayangkan dan direlay oleh sejumlah stasiun TV luar negeri. Jangan heran bila hal ini kemudian menimbulkan banyak pertanyaan wartawan senior dan masyarakat terkait masalah etik

     Siaran radio berupa pandangan mata pada situasi ini justru minim pelanggaran karena hanya menyampaikan situasi lapangan dan pendapat orang-orang di lapangan.

     Situasi ketidakjelasan dan fog of war ini terus terjadi hingga sekitar 5 jam setelah kejadian. Situasi baru “normal” kembali saat polisi telah melakukan penyisiran terhadap semua tempat yang diduga menjadi tempat menyelamatkan diri dan sembunyi para teroris disisir dan sejumlah bom yang belum meledak telah diamankan. Munculnya Kapolda Metro Jaya Irjen Pol DR. Tito Karniavan yang memberikan keterangan resmi kepada wartawan menjernihkan semua pemberitaan

Liputan Lanjutan

      Liputan hari ke dua terkait aksi teroris di Jalan Thamrin jauh membaik dari liputan hari pertama, khususnya dibandingkan 5 jam pertama setelah kejadian. Apalagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan teguran kepada sejumlah stasiun TV. Peringatan Dewan Pers kepada sejumlah media melalui para wartawannya juga sepertinya menampakkan hasil yang positif.

     Polda Metro Jaya yang telah membuka media centre tampaknya berhasil memberikan arahan sekaligus bantahan terhadap isuisu di media sosial yang tadinya simpang siur. Para wartawan juga mulai paham dengan siapa saja mereka harusd berhubungan dan mencari informasi

     Pada hari ke dua pasca kejadian, liputan media lebih merujuk padalengkap dengan gambar darah dan tubuh yang mengenaskan. Sebuah media mengangkat headline teroris Thamrin dengan judul yang juga melanggar KEJ dan menggunakan bahasa yang sarkas, “Teroris Jancuk”. Media boleh saja membenci tindakan teroris, tapi liputan harus tetap proporsional dan menggunakan bahasa yang baik dan sopan.

     Bila kita mereview liputan terkait teroris Thamrin, kita dapat menyenyimpulkan bahwa ada banyak wartawan dan media belum menjadikan Peraturan DP No 01/2015 tentang Pedoman Peliputan Terorisme sebagai acuan utama. Kita masih melihat ada sejumlah media menjadikan mantan teroris yang masih berpaham radikal dijadikan narasumber, atau ada media yang mengangkat misteri seorang pelaku teroris yang ditembak mati polisi ÿang wajahnya tersenyum”.

     Sudah saatnya setiap wartawan membaca kembali 13 butir pedoman peliputan terorisme. Di antara 13 butir yang ada ada 3 butir yang penting, yaitu Butir 3, “Wartawan harus menghindari pember itaan yang berpotensi mempromosikan dan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme maupun pelaku terorisme. Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terhadap kemanusiaan

     Khusus untuk media tv, Butir 4 merupakan hal yang perlu diperhatikan. Butir 4 berbunyi, “Wartawan dan media penyiaran dlm membuat siaran langsung (live) tidak melaporkan secara terinci/ detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat dalam melumpuhkan para tersangka terorisme. Siaran secara langsung bisa memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time dan hal ini bisa membahayakan keselamatan anggota aparat yg sedang berupaya melumpuhkan para teroris”.

     Sedangkan Butir 8 lebih terkait kepada foto dan tayangan gambar. Butir 8 menyatakan, “Wartawan tidak menyiarkan foto atau adegan tentang korban terorisme yang berpotensi menimbulkan kengerian dan pengalaman traumatik secara close up.

     Pemuatan foto atau adegan hanya diperbolehkan bila bertujuan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa terorisme selalu menyasar sasaran umum dan menelan korban orang-orang yang tak berdosa”.

     Hal lain, ekspose berlebihan terhadap profil para “polisi ganteng” oleh media memiliki potensi positif dan negatif. Positif karena mengangkat karakter para yang dulu digambarkan sebagai polisi berkumis, tambun, kurang gerak, dan lain-lain menjadi polisi muda yang memiliki pesona seperti pemain film, gagah, gesit, dan cekatan. Tapi juga bisa negatif karena dengan mengangkat profil mereka justru memudahkan para teroris untuk menjadikan mereka sebagai target di kemudian hari. Semestinya wajah aparat yang tergabung dalam satuan “reskrim” tak banyak diekspos agar mereka tetap tak dikenali dan mudah menyamar di tengah masuarakat guna mengungkap kejahatan.



Download