Kebebasan Pers dan Papua
12 Mei 2015 | AdminMediaCentre
Dalam blusukan-nya di Kampung Wapeko, Kecamatan Kurik, Merauke, Papua (10/5/2015) Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pers silahkan datang dan meliput di Papua, sama seperti meliput di provinsi lain di Indonesia. Wartawan asing mulai hari ini diberi kebebasan datang meliput ke Papua. Sehari sebelumnya (9/5), seusai memberikan keputusan pemberian grasi terhadap lima tahanan politik di Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Jayapura, Jokowi menyatakan keinginannya untuk menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil dan sejahtera. Keinginan tersebut sejalan dengan sambutan Presiden Jokowi pada Perayaan Natal Nasional di Stadion Mandala Jayapura (27/12/2014 malam) yang mengemukakan agar semua pihak mengakhiri konflik dan menghentikan kekerasan di Papua. Semua pihak agar bersatu untuk membangun tanah Papua yang damai serta memelihara saling rasa percaya.
Apa beda Papua selama 52 tahun tanpa kebebasan pers dengan Papua mendatang, ketika wilayah itu akan dibuka bebas untuk pers? Dengan kebebasan pers, media nasional dan asing akan mendapat kesempatan memasok ketersediaan informasi yang faktual, benar, dan berimbang. Apakah kekerasan masih berlanjut? Apakah kehadiran TNI dan Polri di wilayah itu dalam rangka bergiat merebut hati dan dukungan rakyat Papua, ataukah masih juga mengedepankan pendekatan keamanan? Dari pasokan informasi bersumber media dan berbagai instansi pemerintah, Jokowi akan dimungkinkan mewujudkan keinginan dan kebijakannya secara tepat. Selama 52 tahun ini pers dalam negeri dan asing tidak diberi kebebasan untuk melaksanakan fungsi kontrol sosial. Pers tidak dapat melaksanakan perannya untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap halhal yang menyimpang dari amanat UUD 1945 bahwa rakyat Papua juga memiliki hak konstitusional untuk dilindungi, dicerdaskan kehidupannya, dan dimajukan kesejahteraannya. Pemasok kebenaran tentang apa yang terjadi di Papua selama ini hanya bersumber dari ABRI/ TNI dan Polri. Hasilnya, kebijakan Presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY selalu sejalan
dengan laporan aparat keamanan bahwa keadaan di Papua kondusif, aman, dan terkendali. Paradoksnya, pihak-pihak yang berani menyuarakan bahwa hakhak sipil rakyat Papua tertindas dapat berhadapan dengan aparat keamanan. Mereka rentan dituduh mendukung kegiatan separatis dan terancam dipidanapenjarakan.
Tantangan Bagaimana aparat pelaksana di lapangan—baik sipil maupun aparat keamanan—menindaklanjuti keinginan dan kebijakan presiden itu? Segera setelah Presiden Jokowi mengatakan membebaskan wartawan datang dan meliput ke Papua, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menambahkan bahwa pewarta asing tak perlu meminta izin khusus dari Kementerian Luar Negeri untuk meliput di Papua. Besoknya di Makassar (11/5) Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengemukakan: “Petunjuk Presiden sudah jelas bahwa wartawan asing sudah boleh masuk ke Papua. Aturan main dan teknisnya akan disusun bersama Menko Polhukam.” Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik (12/5) mengatakan pernyataan Presiden Jokowi yang akan membuka akses pers asing ke Papua bertentangan dengan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Pasal 30 ayat (2) dan
Download