DASAR-DASAR KEMERDEKAAN DAN PEMBATASAN KEMERDEKAAN PERS
11 April 2015 | AdminMediaCentre
Demikian pula kemerdekaan pers. Pembatasan kemerdekaan pers dapat dibedakan antara kebebasan yang bersumber dari lingkungan pers sendiri (self sensorship), dan yang dari luar lingkungan pers yang bersumber dari kekuasaan publik (public authority). Pembatasan dari dalam lingkungan pers sendiri adalah pembatasan yang bersifat self restraint atau self censorship, baik atas dasar kode etik atau UU Pers. Pembatasan yang bersumber dari kekuasaan publik mencakup: 1. Pembatasan atas dasar ketertiban umum (public order). 2. Pembatasan atas dasar keamanan nasional (national security). 3. Pembatasan untuk menjamin harmoni politik dan sosial. 4. Pembatasan atas dasar kewajiban menghormati privasi (privacy). 5. Pembatasan atas dasar ketentuan pidana, ketentuan perdata, dan ketentuan
hukum administrasi, atau hukum lainnya.
(1) Pembatasan atas dasar ketertiban umum. Ketertiban umum (public order) didapati dalam semua sistem hukum sebagai dasar membatasi hak atau perbuatan. Atas alasan ketertiban umum, penguasa dibenarkan melakukan tindakan preventif atau represif yang bersifat pembatasan. Sayangnya, tidak ada satu pengertian baku mengenai isi, bentuk, dan tata cara membuat keputusan atau tindakan atas dasar keterbitan umum. Memang ada ketentuanketentuan yang dibuat atas dasar pertimbangan ketertiban umum. Pada dasarnya, setiap ketentuan yang mengatur suatu persyaratan (misalnya syarat menjadi Anggota Dewan Pers), didasari pertimbangan ketertiban umum, perizinan yang disertai syarat-syarat tertentu, dibuat atas dasar pertimbangan ketertiban umum. Namun pada umumnya berbagai tindakan atas dasar pertimbangan ketertiban
umum merupakan suatu diskresi. Walaupun diskresi diperlukan (necessary), tetapi mudah menjadi tindakan subyektif dan sewenangwenang. Dengan demikian, kalau tidak berhati-hati dan dipertalikan dengan asas-asas lain (seperti kehati-hatian, asas tujuan yang benar menurut hukum), dasar ketertiban umum dapat menjadi alat perbuatan sewenang-wenang. Pers yang merdeka harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan ketertiban umum sebagai dasar pembatasan, agar tidak menjadi ranjau bagi dirinya sendiri. (2) Pembatasan atas dasar keamanan nasional (national security). Keamanan nasional (seluruh atau sebagian wilayah) berkaitan dengan ancaman atas ketenteraman, kenyamanan, keutuhan bangsa, atau keutuhan wilayah negara. Contoh-contoh yang bertalian dengan keamanan nasional adalah rahasia negara, rahasia militer.
Bagaimana agar pembatasanpembatasan tersebut tidak menjadi alat menyalahgunakan kekuasaan (misuse of power), digunakan secara berlebihan (deterrement de pouvoir), atau dilaksanakan secara sewenangwenang (arbitrary). Keadaan sebagai dasar pembatasan, dapat menjadi instrumen mengontrol pers, seperti sensor (preventif dan represif), breidel, atau larangan beredar. Apakah hal itu mungkin? Sangat mungkin, lebih-lebih apabila penerapannya dimungkinkan menggunakan diskresi. Bagaimana cara melakukan penjegalan atau perlawanan hukum (legal action) apabila atas nama pembatasanpembatasan itu mengancam hal-hal seperti kemerdeka-an pers, kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan lain-lain. Ada beberapa landasan sebagai pembenaran pelaksanaan pembatasan: Pertama; asas negara hukum. Salah satu batu patokan (corner stone) ajaran negara hukum yaitu: “semua tindakan harus berdasarkan atas hukum” (based on law). Maksudnya: (1) Pelaku tindakan harus mempunyai wewenang (legal authority). (2) Obyek yang menjadi sasaran tindakan juga harus ditentukan oleh hukum. (3) Tata cara bertindak diatur dan dijalankan sesuai hukum. Dengan demikian, setiap perbatasan harus disertai aturan hukum yang mengatur wewenang, obyek, dan
tata cara melakukan tindakan. Perlu ditambahkan, yang dimaksud hukum dalam negara hukum, yaitu hukum yang mencerminkan kepentingan rakyat banyak dan tidak mengandung serba membenarkan tindakan penguasa (hukum sebagai alat kekuasaan semata). Para anggota Nazi diadili, mengatakan: Tidak melanggar hukum (tidak melanggar asas negara hukum). Mereka bertindak (menyiksa dan membunuh jutaan manusia) berdasarkan hukum yang dibuat pemerintah Nazi atas perintah Fuhrer (Sang Pemimpin). Formal barangkali memang hukum, tetapi secara substantif bukan hukum, karena hukum dibuat sebagai alat kekerasan dan penindasan terhadap publik. Ajaran lain negara hukum: Rakyat (bersama-sama atau secara individual), mempunyai hak untuk melawan keputusan penguasa yang merugikan mereka, melalui pengadilan atau badan lain sebagai arbiter yang jujur dan tidak berpihak (fair and impartial). Kedua; asas ubi ius ibi remedium. Setiap hak berhak atas pemulihan,
terjaga dan dapat dipertahankan (remedy). Pemulihan dapat berupa pemulihan hak yang hilang, ganti rugi, menghentikan suatu tindakan dan lain-lain. Menghadapi kemungkinan pelanggaran hak akibat pembatasan-pembatasan, harus tersedia prosedur yang terbuka (oppeness), fair (fairness), dan tidak berpihak (imparsiality). Khusus untuk pers, harus dibedakan antara pelanggaran pembatasan yang bersifat jurnalistik dan non jurnalistik. Ketiga; asas tindakan tidak berlebihan (non excessive), rasional, dan proporsional. Tidak dibenarkan, suatu pembatasan dilaksanakan secara berlebihan, melampau batas-batas kepantasan, dan tidak proporsional. Di sini berlaku prinsip: “sledgehammer must not be used to crack a nut”. Janganlah menggunakan palu yang terlalu besar kalau sekedar untuk memecah satu biji kacang. Selain pembatasanpembatasan di atas, pers juga membatasi diri sendiri melalui kode etik jurnalistik dan self sencorship. Pembatasan kode etik adalah pembatasan-pembatasan dalam bentuk kewajiban memenuhi syarat-syarat jurnalistik. Self sencorship adalah pembatasan yang bertalian dengan policy redaksi mengenai kebijakan pemberitaan, pilihan pemberitaan dalam rangka mewujudkan fungsi-fungsi sosial pers, seperti menjaga harmoni sosial, dan lain-lain. Dalam keadaan tertentu, policy redaksi dapat berwujud melepaskan (fettering) kebebasan atas kemauan sendiri demi kepentingan yang lebih besar.
media itu harus memikul tanggung jawab atas pemberitaan itu, jika kasus itu masuk ke pengadilan. Selanjutnya, perlu diperiksa apakah pemberitaan itu dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme dalam UU no 16/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan
hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.” Perlu juga disimak, apakah rangkaian pemberitaan tersebut bisa digolongkan pada Pasal 28 ayat (2) UU no 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Betapa pun beratnya kesalahan dalam pemberitaan, siapa pun tidak boleh membredel pers nasional. Jika memang dianggap
salah dan dinilai punya itikad buruk yang sengaja dirancang, ajukan penanggungjawabnya ke pengadilan, walaupun ancaman hukumannya sangat berat, yaitu 6 tahun penjara, atau seumur hidup. Jika nanti ada undangundang baru yang memberi wewenang pemerintah melakukan pemblokiran situs maka pemblokiran hanya boleh dilakukan setelah melalui pengadilan. Dengan cara ini, tindakan “pukul dulu, urusan belakangan” terhadap media, bisa dihindari.***
Muhammad Ridlo Eisy adalah anggota Dewan Redaksi Pikiran Rakyat, dan Ketua Komini Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers.
Download