Lebih Baik Diadili daripada Diblokir
11 April 2015 | AdminMediaCentre
Penutupan itu atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dari email yang beredar di dunia maya, yang dikirim Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo, menurut BNPT situs/website tersebut adalah situs/website penggerak paham radikalisme dan/ atau sebagai simpatisan radikalisme. Sikap BNPT dan Kemenkominfo itu mencerminkan kekhawatiran pemerintah Indonesia terhadap ancaman radikalisme yang mengatasnamakan agama Islam. Pada waktu saya bertemu dengan Menteri Kominfo, Rudiantara, di Makassar, 31 Maret 2015, dia mengatakan, bahwa pemerintah sampai saat ini masih meminta bantuan provider telekomunikasi untuk memblokir situs yang dianggap membahayakan rakyat dan bangsa Indonesia. Rudiantara akan membuat aturan yang memberi wewenang pemerintah untuk langsung menutup situs yang membahayakan Indonesia, tanpa harus minta bantuan provider. Apakah melanggar UU Pers? Dewan Pers banyak mendapat pertanyaan, “Apakah pemblokiran situs/webside yang dilakukan pemerintah itu melanggar kemerdekaan pers?” Pasal 18 ayat (1) UU no 40/1999 tentang Pers menyatakan: “Setiap
orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah)”. Dalam hal ini UU Pers menjamin bahwa “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran” (Pasal 4 ayat (2)), dan “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi” (Pasal 4 ayat (3)). Pasalpasal dalam UU Pers ini diperkuat oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28F yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah situs/website yang diblokir itu adalah pers nasional, karena UU Pers memusatkan diri pada perlindungan terhadap pers nasional? Secara administratif, pers nasional menurut UU Pers adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia, sedangkan perusahaan pers adalah
badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers. Pasal 12 UU Pers mewajibkan perusahaan pers untuk mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Jika secara administratif, situs/ website itu dapat digolongkan sebagai pers nasional, maka situs itu mendapat perlindungan UU Pers dari pembredelan/pemblokiran. Untuk mengetahui, apakah suatu media itu dapat digolongkan ke dalam pers nasional dapat dilihat dari buku “Data Pers Nasional”. Setiap tahun, sesuai dengan amanat UU Pers, Dewan Pers melakukan pendataan terhadap pers nasional. Buku ini dapat diunduh di dewanpers.or.id. Pada waktu pertemuan dengan beberapa pengelola situs yang diblokir itu di Gedung Dewan Pers, Jakarta, tanggal 2 April 2015, saya bacakan “Data Pers Siber” di dalam “Data Pers Nasional 2014”. Semua situs yang diblokir Kominfo tidak ada di “Data Pers Siber” itu. Maka situssitus itu belum bisa menggunakan UU Pers untuk melindunginya dari pemblokiran. Hak berekspresi dan hak berkomunikasi Walaupun tidak tergolong sebagai pers nasional, setiap warga negara Indonesia tetap dijamin haknya untuk berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak yang dijamin UUD 1945 ini lebih luas jangkauannya dari perlindungan terhadap pers nasional, yang rinciannya ada di UU no 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi ini dijamin pula oleh UU no 39/1999 tentang HAM, Pasal 14 ayat (1) dan (2), yang isinya mirip Pasal 28F UUD 1945. Oleh karena itu, pengelola situs yang diblokir seyogyanya berkonsultasi dengan Komnas HAM. UU no 39/1999 tentang HAM mengatur perlindungan hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun (non derogable rights), dan hak-hak warga negara yang masih bisa dikurangi dan dibatasi. Pemblokiran situs yang dilakukan Kominfo pada dasarnya adalah bagian dari pengurangan dan pembatasan dari hak-hak warga negara yang berada di luar “nonderogable rights”. Pemblokiran 19 situs itu berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No. 19/2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Oleh karena UU 39/1999 tentang HAM mengatur bahwa “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa” (Pasal 73), maka Permen Kominfo di atas melanggar UU HAM itu. Prof. Bagir Manan, sebagai Ketua Dewan Pers, sudah mengingatkan Menteri Kominfo sebelum Permen itu dikeluarkan pada bulan April 2014 melalui suratnya, yang berbunyi:
“Dewan Pers mengingatkan bahwa pemblokiran sebagai bagian dari pembatasan hak hanya dapat dilakukan oleh Negara berdasarkan undang-undang. Pemblokiran tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Pemblokiran sebagai bagian dari sanksi harus didahului oleh adanya pembuktian secara akuntabel. Pemberian kewenangan kepada penyedia jasa akses internet secara mandiri berpeluang mengancam kebebasan dan hak masyarakat lainnya, karena dilakukan di luar kewenangan negara.” Untuk itu sudah saatnya kita buat Undang-Undang yang mengatur pemblokiran situs yang dinilai negatif, apalagi kalau pemerintah ingin punya wewenang langsung memblokir situs tanpa meminta bantuan provider. Pembuatan Undang-Undang ini diperlukan agar cara-cara Orde Baru tidak terulang lagi. Isi situs Pada pertemuan dengan pengelola situs yang diblokir itu, saya meminta para pengelola situs itu mendaftarkan ke Dewan Pers agar dicatat pada Data Pers Nasional. Mengenai isi situs yang diblokir, perlu diskusi khusus.
Bagaimana jika isi situs/website itu menyiarkan radikalisme yang membahayakan Indonesia? Ada 2 tahap untuk menelitinya, jika berita itu hanya disiarkan sekali, dan disiarkan karena keteledoran dan ketidakcermatan redaksi, serta tidak ada unsur kesengajaan, maka cukup diselesaikan dengan cara meminta maaf kepada pembaca, dan memenuhi hak jawab jika berita itu merugikan seseorang atau suatu lembaga. Tahap kedua, jika berita yang dinilai radikal dan bermuatan SARA itu sengaja dirancang untuk itu. Dewan Pers mengeluarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 05/ SK-DP/III/2006 yang berbunyi, “Dewan Pers menyosialisasikan bahwa pemberitaan yang dengan sengaja dirancang untuk memfitnah, memeras, atau merugikan subyek berita bukanlah karya jurnalistik, melainkan tindak kejahatan.” Jika pemberitaan itu digolongkan tindak kejahatan, maka apa yang dilakukan oleh media, walaupun media itu bisa digolongkan pers nasional, maka berita itu tidak diselesaikan dengan Kode Etik Jurnalistik maupun UU Pers, tetapi dengan peraturan perundangan di luar UU Pers. Penanggung-jawab
Download