Berita Teror
26 Agustus 2009 | Administrator
Wakil Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers
Tiga minggu setelah ledakan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, 17 Juli lalu, saya diwawancarai Ervin, reporter radio Voice of Human Right. Salah satu pertanyaannya, mengapa berita-berita yang muncul justru meneror masyarakat? Menurutnya, masyarakat menjadi lebih takut. Berita juga semakin mempopulerkan teroris.
Sebelum kedatangan reporter radio itu, saya juga mendapat banyak sms dari kolega atau masyarakat yang menyoal berita media --khususnya berita televisi-- yang dinilai tidak jelas asal muasal dan tujuannya. Dalam sebuah diskusi di Tanjung Balai Karimun, seorang peserta bertanya, mengapa beberapa wartawan televisi semula begitu yakin kalau yang digrebek di Temanggung adalah gembong teroris Noordin M Top? Padahal, ternyata buron yang dikepung 18 jam dan sempat ngumpet di kamar mandi itu adalah Ibrohim, petugas flowerist Hotel JW Marriott, yang dianggap terlibat dalam �bom kuningan� 17 Juli 2009.
Mestinya, saya katakan kepada reporter itu, di tengah kemudahaan akses dan kemajuan teknologi komunikasi seperti sekarang ini, reporter televisi harus lebih berhati-hati dan jeli dalam memilah dan memilih peristiwa. Apalagi bila peristiwa itu disiarkan langsung.
Siaran langsung bukan saja mengharuskan reporter di lapangan untuk menguasai teknologi penyiaran tapi juga menuntut peningkatan kehati-hatian. Sebab peristiwa yang disiarkan langsung adalah peristiwa besar. Besarnya bukan saja dari segi magnitude tapi peristiwa itu sendiri juga �laku�. Pengeboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton serta penyerbuan rumah Moh Zahri di Temangggung, jelas memenuhi dua unsur utama siaran langsung, apalagi penyergapan itu berlangsung selama 18 jam.
Jangan sampai karena produser dan reporter televisi ingin cepat menjadi yang pertama menyiarkan peristiwa secara langsung, akhirnya membuat masyarakat atau publik semakin bingung. Dikejar waktu dan kompetisi bukanlah dalil yang tepat untuk berkilah. Justru karena sifatnya elektronik, berita televisi dan radio dituntut lebih akurat. Apalagi berita elektronik yang salah sulit diralat karena sifatnya yang serempak dan seketika menyebar ke penjuru dunia. Sifat berita elektronik yang unik ini mestinya menjadi pemicu dan pemacu bagi wartawan elektronik untuk lebih berhati-hati dalam menyajikan peristiwa.
Jika reporter salah menyajikan fakta dan peristiwa, lama-kelamaan publik tidak lagi tertarik karena beritanya dianggap tidak akurat. Bila pelanggaran semacam ini terus diabaikan, kredibilitas stasiun televisi akan tergerus dan reporter bersangkutan akan �habis� reputasinya. Belum lagi sewaktu-waktu bisa berbuah tuntutan hukum.
Pers saat ini --di tengah pacuan kemajuan teknologi dan peningkatan kecerdasan masyarakat--� tidak bisa mengabaikan profesionalisme karena alasan kompetisi. Mestinya, karena begitu kompetitifnya berita televisi, pengelola ruang berita semakin ditingkatkan kompetensinya. Pekerja yang ada di newsroom haruslah yang mempunyai jam terbang tinggi dan berwawasan luas. Mereka bukanlah sekumpulan orang yang hanya bisa sekadar menyajikan peristiwa tanpa diberi pesan dan arahan jelas.
Pers adalah institusi sosial yang mengemban misi ideal. Pasal 3 UU No.40/1999 tentang Pers menyebutkan, fungsi pers selain sebagai media informasi, hiburan, dan kontrol sosial juga sebagai media pendidikan. Pers dituntut mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar (Pasal 6).
Dalam konteks ini, setiap yang disajikan media hendaknya mengandung unsur tuntunan, dapat memberi pencerahan di tengah kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Di berbagai forum pertemuan, saya menyampaikan, wartawan adalah guru bangsa. Karena itu mereka dituntut dapat bersikap one step ahead, lebih dewasa, lebih cerdas dan visioner.
Apabila pers sekarang larut dan luruh dalam arus kebebasan, maka sejatinya masyarakat sudah dirugikan. Berita yang tersaji bukan informasi yang mencerahkan tapi malah semakin membingungkan masyarakat. Janganlah pers berbuat seperti itu. Berilah masyarakat oase dan cahaya terang optimisme bahwa Indonesia akan terus ada sebagai negara besar, kaya, dan kuat. Janganlah membuat berita tentang teror yang justru berakibat meneror masyarakat.*