Publik Perlu Media Terverifikasi

Publik Perlu Media Terverifikasi
11 Maret 2018 | AdminMediaCentre

Gelombang pertama berperadaban subsistens, yakni hidup bertani, berburu, atau memancing sekedar untuk menghidupi keluarga secara minim. Berperadaban gelombang kedua berarti berperadaban masyarakat industri, yang berkemampuan memproduksi barang dan jasa secara massal. Berperadaban gelombang ketiga berarti transisi masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Dalam masyarakat informasi berlaku kaidah, pemenang kompetisi dalam hidup adalah yang paling menguasai informasi”.

 

Indonesia yang berpenduduk 250 juta kini sedang berselancar dalam pusaran tiga gelombang tersebut. Di zaman now gelombang yang sedang menerpa adalah transformasi masyarakat dari gelombang peradaban subsistens, peradaban industri meloncat ke gelombang peradaban informasi. Lewat platform media massa mulai dari media cetak, radio, televisi, online (siber), dan medsos informasi membanjiri benak manusia Indonesia. Informasi tersebut ada yang faktual dan benar serta mencerdaskan bangsa. Namun, ada pula informasi yang berisi hoax, kebohongan, intoleransi dan kebencian.

 

               Dewan Pers berdasarkan UU No. 40/1999 tentang Pers (disingkat UU Pers) diberi kewenangan untuk membantu masyarakat bagaimana menghadapi membanjirnya informasi, yang dipasok oleh aneka ragam media. Hak masyarakat untuk mengetahui media mana saja yang telah memenuhi ketentuan UU Pers, dan untuk mendapat pernyataan penilaian dan rekomendasi Dewan Pers menyikapi media yang beritanya dituduh bermasalah adalah bagian dan tugas lembaga independen tersebut untuk memenuhinya.

 

Dengan melakukan pengkajian, investigasi dan memverifikasi kehidupan pers nasional sesuai dengan kewenangannya, Dewan Pers memberi penjelasan kepada pengguna media, bahwa media yang menjadi domain Dewan Pers adalah media yang berbadan hukum Indonesia dan yang nama, alamat, dan penanggungjawabnya diumumkan terbuka. Sementara media yang tidak memenuhi ketentuan UU Pers termasuk media sosial yang beritanya dituduh mencemarkan nama baik atau bermuatan hoax, kebohongan, intoleransi dan kebencian adalah domain penegak hukum.

 

Kemudian, hasil verifikasi media oleh Dewan Pers semakin diperlukan oleh publik. Karena, jumlah media meningkat secara tajam. Hak masyarakat untuk mengetahui media mana saja yang memenuhi ketentuan UU No. 40/1999 tentang Pers tentu saja menjadi tanggungjawab Dewan Pers untuk memenuhinya.

 

Pada tahun 2014 jumlah media radio 674, media televisi 523. Verifikasi media siaran relatif lebih mudah karena mekanismenya melalui perijinan frekuensi. Pada posisi tahun 2015 jumlah media cetak tercatat 2.000, sementara hasil investigasi Dewan Pers menunjukkan baru 320 yang didapati memenuhi ketentuan UU Pers. Jumlah media online (siber) tercatat 43.300, yang terverifikasi memenuhi ketentuan UU Pers 65 media.

 

Isi ketentuan UU Pers

Pasal 15 (2)a UU Pers mengamanatkan fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Pada bagian menimbang, UU Pers menegaskan, pers nasional harus dapatmelaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.

 

Profesional berarti, pertama, dari segi kelembagaan (administrasi), setiap perusahaan pers wajib berbentuk badan hukum Indonesia (pasal 9) dan wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka. Untuk penerbitan pers ditambahkan nama dan alamat percetakan (pasal 12).

Kedua, dari segi penyelenggaraan pekerjaan jurnalistik (jurnalisme), pers berfungsi menyampaikan informasi yang faktual dengan fakta jurnalistik yang benar. Fungsi pers juga untuk mendidik bangsa dan melakukan fungsi kontrol sosial(pasal 3). Pers juga berperan melakukan

pengawasan, kritik, dan koreksi untuk kepentingan umum (pasal 6). Selain itu, pers mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi (pasal 4). Pers dalam melaksanakan pekerjaan jurnali stik di atas wajib menaati Kode Etik Jurnalistik(pasal 7).

 

Kesempatan Dewan Pers melakukan  pengkajian, investigasi dan verifikasi terhadap pekerjaan jurnalistik oleh ribuan media yang diadukan ke Dewan Pers sejak lembaga  independen ini beroperasi mempedomani UU No. 40/1999 tentang Pers menunjukkan fakta-fakta sebagai berikut.

 

Dari 2.741 pengaduan Dewan Pers pada periode 2000 – 2010 diterbitkan pernyataan penilaian bahwa pelanggaran yang dilakukan media hanya pelanggaran kode etik jurnalistik (KEJ). Media Teradu dinilai menghakimi (melanggar Pasal 3 KEJ), narasumber berita tidak jelas/ tidak kredibel (Pasal 2 KEJ) dan atau tidak berimbang/tidak uji informasi (Pasal 1 dan 3 KEJ). Atas Pelanggaran tersebut, media Teradu direkomendasikan Dewan Pers wajib melayani.

 

Tabel berikut ini menunjukkan pada periode tahun 2011 hingga 1 Juni 2017, 407 media dari 4.163 media yang diadukan ke Dewan Pers telah disidangkan oleh Dewan Pers. Hasilnya tercatat 7 (tujuh) jenis penilaian yang diterbitkan oleh Dewan Pers.

 

 

No

Rekapitulasi 2011-2017

Jumlah

%

1

Tidak melayani KEJ

32

8.2

2

Wajib layani Hak Jawab

109

28.1

3

Hak Jawab dan Minta Maaf

193

49.1

4

Terindikasi langgar UU Pers

14

3.6

5

Terindikasi langgar UU lain di luar UU Pers

32

8.2

6

Media tidak penuhi kriteria pers

8

2.2

7

Jumlah

388

100

* Dari jumlah 407 kasus pengaduan terdapat konflik Non Berita sejumlah 19 kasus.

 

hak jawab Pengadu dan atau meminta

maaf kepada Pengadu dan

masyarakat.

 

Kemudian sejak 2011 hingga 19 Juni 2017 dari jumlah 4.163 pengadu – sejalan dengan semakin banyaknya media yang beroperasi sebagai penumpang gelap kemerdekaan pers – tercatat sejumlah media terindikasi melanggar hukum.

 

Kondisi pers sekarang ini memaksa Dewan Pers turut terlibat langsung agar PWI, AJI, IJTI, LPDS

ikut berpartisipasi untuk meningkatkan jumlah wartawan yang memenuhi standar kompetensi. Patut disesalkan negara kurang memberikan dukungan. Idealnya, negara bertanggung jawab mendirikan ratusan

schools of journalism sebagai pemasok wartawan yang berkualifikasi kompeten untuk memenuhi kebutuhan pers naional. Karena hal itu belum terwujud maka dari jumlah ratusan ribu wartawan yang sekarang bergiat, hanya sekitar 15.000 yang telah diverifikasi Dewan Pers telah bersertifikat Wartawan Muda, Madya, dan Utama.

 

Fakta menunjukkan bahwa meledaknya jumlah media justru belum berdampak positif terhadap terwujudnya fungsi pers untuk mengedukasi bangsa. Dalam program “Media Literacy” yang

diselenggarakan Dewan Pers di berbagai daerah sering disuarakan bahwa “quality journalists produce quality media; quality media produce quality society.” Persoalan potensial yang dihadapi sekarang ini, masyarakat yang cerdas semakin cerdas. Kenapa? Karena mereka mengkonsumsi hanya media yang berkualitas. Sementara sekitar 60% masyarakat Indonesia yang paling membutuhkan informasi yang mencerdaskan justru berpotensi menjadi korban media abal-abal dan media sosial yang konsep produknya menyuarakan hoax, kebohongan, intoleransi dan kebencian. Membiarkan media berkualitas kalah bersaing menghadapi media abal-abal dan medsos yang jualannya hoax, kebohongan, intoleransi, dan kebencian tentu saja berdampak counter productive terhadap terwujudnya salah satu tujuan nasional.

 

Dari uraian tersebut diatasterproyeksi bahwa ditingkatkannya performa Dewan Pers melakukan verifikasi media selain menjadi masukan bagi negara dalam rangka national policy making juga berdampak kontributif bagi pemahaman publik untuk mengetahui media mana yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupannya dan media mana yang kurang memberi manfaat atau justru yang membodohinya.



Download