Kekerasan dan Ketaatan terhadap KEJ
30 Juni 2018 | AdminMediaCentre
Organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, dalam kurun waktu Mei 2017 hingga awal Mei 2018, tingkat kekerasan terhadap wartawan meningkat.
Hasil tersebut terlihat dari laporan Bidang Advokasi AJI yang menyebut ada peningkatan sebanyak 3 kasus dari tahun sebelumnya dalam kurun waktu yang sama yakni 72 kasus menjadi 75 kasus. “Terdapat 75 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama Mei 2017 hingga awal Mei 2018. Kasus ini terjadi di 56 daerah kota/kabupaten di 25 Provinsi,” kata Katua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan seperti dikutip tribunnews.com dalam diskusi ‘Musuh Kebebasan Pers’ di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (3/5/2018).
Kenyataan itu sungguh memprihatinkan. Kekerasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang, termasuk wartawan, tidak dapat dibenarkan baik secara etik terlebih secara hukum. Apalagi kekerasan tersebut secara fisik. Dan, masih mengutip catatan AJI, ternyata kekerasan secara fisik masih mendominasi statistik kekerasan terhadap wartawan. Perbuatan semacam ini jelas kriminal dan karena itu pelakunya harus diproses secara hukum, siapa pun dia atau mereka.
Jumlah kekerasan terhadap wartawan yang cenderung meningkat setiap tahun itu perlu dikulik lebih dalam. Apakah publik – untuk sebagian – ingin mencari jalan pintas sehingga menyelesaikan permasalahan cenderung menggunakan kekerasan atau memang ada faktor pemicunya sehingga publik merasa kekerasanlah jalan yang mesti mereka tempuh. Tentu hal ini tidak menafikan kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang, lagi-lagi menurut AJI, jumlahnya lebih signifikan.
Kekerasan yang dilakukan oknum-oknum aparat penegak hukum tentu bukan hanya memprihatinkan tetapi juga memalukan. Pucuk pimpinan tertinggi mereka telah berulang kali mengingatkan seluruh jajarannya agar semakin profesional dan mengedepankan hukum ketimbang cara-cara tidak terpuji berupa kekerasan itu agar mereka lebih disegani -- bukan ditakuti -- publik. Profesionalisme aparat akan melahirkan kepercayaan (trust). Namun kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan aparat jelas bertentangan dengan arahan pimpinan itu. Keluarannya, aparat menjadi semakin dijauhi oleh masyarakat termasuk para wartawan.
Begitu pula kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum organisasi entah organisasi massa atau politik. Kekerasan oleh kelompokkelompok ini juga memalukan karena biasanya pimpinan mereka di depan publik selalu menggembor-gemborkan sikap demokratis dan taat hukum. Kekerasan, termasuk penggrudukan, pengancaman atau intimidasi jelas bertentangan dengan sikap demokratis itu. Ini yang, oleh organisasi-organisasi pers, dikatagorikan sebagai ancaman serius terhadap kemerdekaan pers.
Momentum Introspeksi
Meskipun demikian, di sisi lain, peningkatan kasus kekerasan terhadap wartawan semestinya menjadi momentum untuk introspeksi bagi rekan-rekan jurnalis dan media. Apakah selama ini mereka telah benar-benar menjalankan profesinya secara profesional artinya taat kepada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjadi pedoman kerjanya? Apakah mereka – untuk sebagian – tidak menyalahgunakan profesinya untuk melakukan intimidasi dan pemerasan seperti mereka yang melakukan kekerasan terhadapnya atau yang mereka kritisi setiap hari dalam liputannya? Apakah mereka menulis secara independen seturut dengan hati nuraninya?
Bukankah dalam pedoman penulisan sudah digariskan bahwa pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi? Dan berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan?
Pengalaman menunjukkan - ditengah maraknya media-media, utamanya media siber saat ini -- kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan umumnya dipicu karena sang wartawan melakukan jurnalistik “hantam kromo” terhadap subyek yang diberitakan. Mereka menulis tanpa melalui verifikasi, tidak akurat, tidak berimbang bahkan beropini menghakimi serta melanggar asas praduga tak bersalah. Bahkan terindikasi ada niat buruk untuk mencederai subyek yang diberitakan. Umumnya berita semacam ini ditulis oleh “wartawan” abal-abal dengan motif tertentu. Dengan demikian “Wartawan“ juga melakukan kekerasan (dalam bentuk tulisan) kepada subyek yang diberitakan.
Karena itu tepat bila kekerasan tehadap wartawan didefinisikan sebagai “kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan pekerjaan jurnalisme atau kekerasan terhadap karya jurnalistik”. “Wartawan” abalabal jelas tidak menjalankan tugas jurnalistik.
Memang sering didengungkan “kata-kata hendaknya dibalas dengan kata-kata” namun kata-kata yang ditulis terhadap subyek yang diberitakan telah begitu dalam melukai sang subyek bahkan keluarga besarnya sehingga mereka yang dirugikan terkadang merasa tidak cukup hanya diselesaikan melalui sebuah Hak Jawab. Bagaimana, misalnya, bila seseorang yang terhormat di masyarakat diberitakan berselingkuh padahal faktanya tidak ada?
Tentu semua kasus-kasus itu, sekali lagi, tidak berarti membenarkan terjadinya kekerasan terhadap wartawan, bahkan terhadap “wartawan” abal-abal sekalipun. Akan tetapi wartawan juga dituntut untuk memiliki rasa empati terhadap subyek yang diberitakan sebelum menerbitkan tulisannya. Bagaimana bila yang diberitakan negatif itu saudaranya, ayahnya, ibunya atau keluarga besarnya sementara faktanya tidak ada sama sekali? Karena itu, terhadap berita-berita negatif dan lebih-lebih sensitif, wartawan dan media harus benar-benar mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya dengan cermat dan teliti sebelumnya menerbitkannya. Itulah sebabnya ketaatan terhadap KEJ menjadi mutlak. ***
Herutjahjo Soewardojo adalah Anggota Pokja Komisi Pengaduan Masyarakat Dewan Pers. Tulisan ini pendapat pribadi.
Download