Debat Ca-Pers
24 Agustus 2009 | Administrator
Oleh Lukas Luwarso
Debat capres-cawapres dalam kampanye Pemilihan Presiden 2009 telah berlangsung sebanyak lima kali, terbagi atas debat antar calon presiden tiga kali, dan dua kali untuk calon wakil presiden. Topik debat bervariasi dari soal strategi tata kelola pemerintahan bersih, penegakan supremasi hukum, sampai upaya mengatasi kemiskinan. Menurut KPU tema itu dipilih
berdasarkan "urgensi yang dihadapi bangsa lima tahun ke depan."
Dari lima kali debat capres cawapres, tidak ada tema yang secara spesifik membahas persoalan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi. Dengan demikian, bolehlah disimpulkan, bagi KPU dan capres secara khusus serta bagi bangsa Indonesia secara umum, soal kemerdekaan pers dan berekspresi tampaknya memang bukan urgen.
Meskipun menjelang dan selama periode perdebatan, sesungguhnya ada isu terkait kebebasan berekspresi yang menarik dan aktual untuk diperdebatkan capres dan cawapres. Yaitu soal Prita vs Omni Tengerang dan Khoe Seng Seng cs melawan Duta Pertiwi. Kalau saja pihak KPU menyertakan sub-tema kemerdekaan pers dan berekspresi dalam materi perdebatan, atau setidaknya ditanyakan oleh moderator debat, maka boleh jadi perdebatan menjadi lebih
menarik.
Karena perdebatan hanya akan menarik jika menyangkut isu yang faktual dan aktual, bukan hanya membahas persoalan generik yang dapat dijawab secara normatif. Perdebatan soal Isu kemiskinan, demokrasi, persatuan, hak asasi manusia, jati diri bangsa hanya akan menarik kalau merujuk pada kasus yang aktual dan faktual --yang lazimya disebarkan atau disiarkan oleh pers.
Bayangkan, jika moderator membuka perdebatan dengan menanyakan kepada masing-masing kandidat pertanyaan berikut: apakah saudara sekalian membaca koran? Jika ya, menurut saudara, apakah persoalan bangsa yang paling urgen yang sedang diliput koran hari-hari ini, dan apa solusi yang anda tawarkan terkait dengan persoalan itu?
Pertanyaan itu tidak pretensius dan tidak mengada-ada, walaupun terasa menjebak. Jika para capres memang membaca koran maka dengan mudah mereka bisa memaparkan berbagai persoalan dan menawarkan solusinya. Namun, jika kandidat tidak membaca koran, maka layak dipertanyakan keseriusannya dalam mencalonkan diri menjadi pemimpin. Jika seorang kandidat tidak mengetahui persoalan aktual dan faktual yang ada dalam masyarakat, seperti tercermin dalam pemberitaan media massa, apa yang dia akan ungkapkan dalam perdebatan? Retorika kosong?
Para capres-cawapres selama masa kampanye habis-habisan berupaya memanfaatkan media untuk keuntungan mereka, dengan membuat pres release, memasang iklan hingga membayar wartawan. Para capres perlu memahami agar tidak cuma memanfaatkan media massa, melainkan juga memahami isi dan pesannya. Karena, seperti sering disebut, media adalah telinga dan mata
rakyat.
Debat capres-cawapres boleh saja tidak menganggap tema kemerdekaan pers dan berekspresi sebagai hal yang urgen. Namun urgensi itu memang belum terasa, karena saat ini Indonesia masih menikmati kebebasan (meskipun kebebasan yang penuh dengan ancaman). Urgensi itu baru terasa, jika kemerdekaan pers dan berekspresi dibungkam atau dihalang-halangi, sebagaimana yang saat ini dialami Prita dan Khoe Seng Seng. Bayangkan Capres tidak boleh menyampaikan persoalan apapun dalam debat kandidat? Tidak ada kebebasan artinya tidak ada perdebatan.
Jadi KPU salah, jika menganggap kemerdekaan pers dan berekspresi tidak urgen dalam lima tahun kedepan. Karena jika kemerdekaan itu hilang, lima tahun lagi bukan cuma tidak akan ada debat capres, melainkan juga tidak perlu ada KPU, dan pemilu menjadi membosankan seperti pada zaman Orde Baru.*
Penulis ada pengamat media.