Refleksi 10 Tahun Kemerdekaan Pers

Refleksi 10 Tahun Kemerdekaan Pers
12 Oktober 2009 | Administrator

Leo Batubara
Wakil Ketua Dewan Pers
Pers belum berhenti bergulat antara kebebasan dan ancaman. Pada 23 September 1999 RUU Pers hasil bahasan pemerintah dan DPR diundangkan menjadi UU No.40/1999 tentang Pers. UU Pers itu adalah UU pertama yang ketentuan-ketentuannya memerdekakan pers.

 

Isi pokoknya, pertama, jika UU Pokok Pers yang sebelumnya memberi otoritas kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan, pengatur, pengawas dan pengendali pers, UU Pers hasil gerakan reformasi mengamanatkan pers yang mengontrol pemerintah dan pemerintah tidak lagi mencampuri penyelenggaraan pers.

 

Kedua, izin penerbitan pers tidak diperlukan.
Ketiga, bagi siapa saja yang melakukan penyensoran, pembredelan termasuk yang menyatakan korporasi perusahaan pers sebagai terlarang, dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.

Keempat, pers dan wartawan yang melakukan tugas jurnalistik untuk kepentingan umum, jika salah tidak dikriminalkan. Sanksinya diselesaikan dengan klarifikasi berupa hak jawab. Bila tidak puas atas keputusan Dewan Pers pengadu dapat menempuh jalur hukum dan media teradu dapat dipidana denda paling banyak Rp500 juta.

Kelima, Dewan Pers independen dan diberi kewenangan antara lain menjaga kemerdekaan pers, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan mengupayakan penyelesaian sengketa pers akibat pemberitaan pers.

Ketika RUU Pers dibahas, mahasiswa dan aktivis demokrasi sedang gencar-gencarnya melakukan tekanan agar penyelenggara negara menyeret pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme di era Orde Baru ke pengadilan. Semangat untuk mengupayakan terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik juga tercermin dalam berbagai pasal UU Pers yang baru.

Tercatat beberapa pasal dan ayat yang memberi perintah kepada pers, pertama, memperjuangkan keadilan dan kebenaran; kedua, melakukan fungsi kontrol sosial; ketiga, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang terkait kepentingan umum; keempat, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Untuk menjamin terlaksananya hal-hal tersebut di atas UU Pers memberi hak kepada pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Berdasar Amandemen ke-2 UUD 1945, hak itu adalah hak konstitusional warga negara Indonesia.

Kinerja 10 tahun

Pada 23 September 2009 kemerdekaan pers berusia 10 tahun. Menganalisis performance pers 10 tahun ini dari segi freedom from UU Pers telah membebaskan pers dari berbagai rambu-rambu represif. Dari segi freedom for –apakah pers nasional telah memberi manfaat kepada bangsa— tercatat bukan saja keberhasilan tetapi juga kegagalan dan ancaman.

Pertama, terjadi ledakan media. Jumlah media cetak kurang lebih 1000 dengan tiras kurang lebih 19 juta eksemplar (10 tahun sebelumnya 289 penerbitan, tiras 14,4 juta). Media televisi kurang lebih 250 (6). Media radio kurang lebih 2000 (740 + RRI).

Kedua, dari 1000 media cetak sekitar 30\\% sehat bisnis, selebihnya belum. Dari segi kuantitas jumlah media cetak yang sehat bisnis minoritas, tapi menguasai sebagian besar tiras yang 19 juta eksemplar. Dari pengaduan masyarakat ke Dewan Pers sejumlah media dari yang belum sehat bisnis terdeteksi melakukan pemerasan.

Ketiga, dari jumlah media tersebut sejumlah media berkategori serius dan berkualitas. Media tersebut kuat dalam memberi pencerahan kepada khalayak.

Keempat, dalam pelaksanaan fungsi kontrol sosial pers, utamanya dalam penyelenggaraan jurnalisme investigasi –menurut hemat saya— pers gagal melaksanakan harapan rakyat. Rakyat mengharap pers profesional proaktif membantu penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik dan membantu pemberantasan korupsi, hasilnya bukannya temuan pers tentang pejabat, politisi, pebisnis bermasalah yang diduga korup yang diperiksa, justru persnya yang terancam.

Ancaman meningkat

Fakta-fakta menunjukkan, pelaksanaan perintah UU Pers terhadap pers untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran, melakukan pengawasan, kritik dan fungsi kontrol sosial serta memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui mendapat perlawanan dari penyelanggara negara.

Segera setelah Presiden Megawati menghidupkan kembali kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika menterinya berupaya merevisi UU Pers agar kembali mengakomodasi sistem pers Orde Baru. Birahi merevisi UU Pers semakin mendekati kenyataan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meningkatkan peringkat Kantor Kominfo menjadi Depkominfo. Menghadapi perlawanan masyarakat pers, ancaman merevisi UU Pers melemah. Dalam kunjungannya ke Dewan Pers (8/6/07) tidak lama setelah dilantik menjadi Menteri Kominfo, Mohammad Nuh menegaskan: “Pemerintah tidak punya niat merevisi UU Pers. Terserah sampeyan Dewan Pers.”

Setelah gagal merevisi UU Pers, penyelenggara negara tampaknya meningkatkan tekanannya dengan strategi sebagai berikut.

Pertama, mengkriminalisasi pers. Dalam perkara dengan seorang pengusaha, terkait pemberitaan, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti dituntut 9 tahun penjara mempedomani UU No.1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan KUHP. Birahi mengkriminalisasi pers semakin ditingkatkan lewat UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU No.44/2008 tentang Pornografi dan UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Menurut RUU Rahasia Negara korporasi, termasuk perusahaan pers yang melanggar ketentuan rahasia negara, dipidana penjara paling singkat 7 tahun dan paling lama 20 tahun. Pemerintah sedang mempersiapkan RUU KUHP yang lebih represif dari KUHP. Jumlah pasal yang dapat memenjarakan wartawan meningkat dari 37 menjadi 61 pasal. Dari segi waktu hukumannya juga diperberat.

Kedua, mempidana denda dengan jumlah yang membangkrutkan pers. Harian Kompas dalam perkara dengan PT Texmaco, beritanya digugat berdasar KUHAP membayar ganti rugi sebesar US$ 150 juta (Rp1,5 triliun (materiil)) dan US$1 juta (imateriil). Mempedomani RUU Rahasia Negara perusahaan pers yang melanggar ketentuan rahasia negara dipidana denda paling sedikit Rp50 miliar dan paling banyak Rp100 miliar.

Ketiga, menghidupkan kembali kebijakan rezim Orde Baru yakni membredel pers. UU No.10/2008 tentang Pemilu menugaskan Dewan Pers mencabut izin penerbitan pers jika berita dan wawancara yang dimuat tidak adil dan berimbang. UU No.42/2008 tentang Pilpres berisi ketentuan mencabut izin penerbitan pers jika memberitakan pelanggaran kampanye di minggu tenang.

Keempat, mempersempit bahkan menutup akses pers atas sumber-sumber informasi yang bermasalah, yang diduga korup. RUU Rahasia Negara yang berwatak rezim ketertutupan sepertinya didesain untuk membuat pers tidak berdaya untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

Dari paparan di atas terproyeksi, pertama, kado yang diberikan pemerintah dan DPR dengan 10 parpol terkait HUT ke-10 kemerdekaan pers bukannya perundang-undangan yang memperkokoh tetapi mengancam kemerdekaan pers.

Kedua, arah kemerdekaan pers ke depan ditentukan oleh political will Presiden terpilih SBY dan DPR yang ditopang 9 parpol. Bila mereka satu kata dengan perbuatan tentang janji mereka menyelenggarakan pemerintahan baik dan memberantas korupsi, kemerdekaan pers pasti akan diperkokoh. Tetapi, bila mereka tidak serius dengan janji itu, maka ancaman terhadap pers sekarang ini adalah awal dari berakhirnya kemerdekaan pers. Kemudian, kekuasaan akan tanpa kontrol.*

 

Artikel ini pernah dimuat di harian Seputar Indonesia edisi 25 September 2009