Media, Solidaritas dan Pemberdayaan

Media, Solidaritas dan Pemberdayaan
12 Oktober 2009 | Administrator

Dalam suasana Lebaran tahun ini, rakyat Indonesia kembali berduka, khususnya saudara-saudara kita di Sumatera Barat. Gempa 7, 6 richter terjadi di bumi Minang itu. Hingga tulisan ini dibuat, tercatat ada 739 korban meninggal, 421 hilang, 596 luka berat, 897 luka ringan, dan pengungsi mencapai 736 orang. Selain itu, kerusakan bangunan mencapai 190 ribu, total kerugian diperkirakan Rp 7 triliun lebih. Waktu pemulihan diprediksi membutuhkan enam bulan hingga dua tahun. Siapa pun yang akan ditunjuk menjadi Kepala Badan Rehabilitasi Sumbar akan mempunyai pekerjaan berat, terlebih soal bagaimana menyembuhkan trauma sosial ribuan orang yang keluarganya tewas atau terluka.

Bagaimana dengan peran media? Selain gencar memberitakan akibat gempa dari berbagai sudut pandang dan peristiwa, media tanpa dikomando juga membuka Dompet Peduli atau semacamnya untuk mengumpulkan dana bagi para korban --sebuah tradisi yang perlu terus dipelihara dan dijaga. Sumbangan yang berhasil dikumpulkan media jumlahnya tidak sedikit. Contohnya, hingga minggu pertama Oktober 2009, Trans Corporation (Trans TV dan Trans 7) menampung Rp 3 miliar lebih; Media Grup (Media Indonesia dan Metro TV) Rp 23 miliar; tvOne senilai Rp 27 miliar. Di media cetak, harian Kompas menerima Rp 3,9 miliar. Dan hampir semua televisi atau koran besar di tanah air melakukan hal serupa. Sumbangan melalui media ini jumlahnya terus bertambah setiap hari.

Dari sini terlihat kekuatan dan efektivitas media. Melalui media, orang atau negara dari berbagai penjuru dunia --tanpa melihat agama, suku, ras atau bangsanya-- dengan cepat tergerak membantu korban gempa di Sumatera Barat. Jepang, Swedia, Prancis dan Australia, misalnya, segera mengirim para relawannya untuk membantu relawan tanah air yang sudah bekerja keras sejak awal. Sekali lagi, inilah bukti betapa liputan media, dengan karakter masing-masing, efektif menimbulkan simpati untuk menggalang solidaritas sosial. Fenomena ini sudah terjadi berulangkali di berbagai tempat menyangkut tragedi atau musibah.

Media juga efektif menggerakkan daya hidup masyarakat. Simak saja. Dalam lima tahun terakhir, televisi nasional dan lokal gencar membuat program acara kuliner, sampai-sampai istilah "mak nyus" yang diucapkan Mas Bondan Winarno menjadi ikon dan digunakan masyarakat untuk menggambarkan makanan yang enak dan lezat.  Doktor politik Hermawan "Kiki" Sulistyo pun sekarang mengikuti jejak Mas Bondan menjadi host acara wisata kuliner yang dikemas tvOne. Apa yang terjadi setelah berbagai "acara makan-makan" itu bertaburan di layar kaca? Wisata kuliner menjadi andalan karena dapat mendongkrak ****onomian rakyat.

Datanglah ke Salatiga di Jawa Tengah. Di sebuah kota kecil itu sekarang marak warung yang berderet di sepanjang Jalan Achmad Yani, menempati emperan ruko yang tidak berkembang. Padahal lima tahun lalu kawasan itu sepi bila menjelang malam. Di Solo, sejak sebulan lalu Walikota Solo meresmikan pusat jajan Galabo yang menempati halaman depan Pasar Benteng Solo. Ada tidak kurang 80 penjual aneka masakan dan makanan khas Solo. Penikmat kuliner bisa menikmati aneka jajanan sambil sesekali dihibur tontotan musik.

Wisata kuliner menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Saya yakin di berbagai daerah fenomena ini juga muncul dengan bermacam variasi dan sentuhan. Perkembangannya tergantung bagaimana eksekutif dan legislatif setempat menyikapinya, apakah dengan kreatif produktif atau kontra produktif dan defensif.

Dalam teori komunikasi massa, dua fenomena di atas --akibat berita bencana (solidaritas) dan berita wisata kuliner (gaya hidup)-- biasa disebut dengan istilah lembaga ekonomi dan sosial media. Atau dalam istilah umum, di sini media menunjukkan diri sebagai institusi budaya dalam arti luas. Dan Pasal 3 UU No. 40/1999 tentang Pers menyebut pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Selanjutnya, pers nasional juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Media terbukti mempunyai kekuatan laten yang dahsyat dan bermanfaat. Sekarang tergantung pada para pekerja media. Bila mereka bekerja keras dan kreatif, akan terus muncul program acara yang bukan saja kreatif dan atraktif --salah satu unsur utama dalam program layar kaca-- tapi juga bisa menghasilkan yang produktif, inspiratif, positif, dan konstruktif. Bangsa ini membutuhkan generasi kreatif dan produktif dengan pikiran positif dan konstruktif, bukan sekadar atraktif. Jadi, mari kita tunggu tayangan-tayangan tv lain yang bisa menggairahkan dan memberdayakan masyarakat. Cukup sudah tayangan yang membodohi dan membohongi masyarakat.*

 

Buletin ETIKA Dewan Pers, September 2009.