Kampanye Perubahan Prilaku Perlu Sinergitas Semua Pihak

Kampanye Perubahan Prilaku Perlu Sinergitas Semua Pihak
06 November 2020 | MediaCentre2

Redaksi9.com - Masalah  penanganan Covid-19 masih menjadi kendala karena begitu banyak persepsi yang berbeda di masyarakat.  Apa yang disebut negatif oleh rumahsakit masih belum sama standar ukurannya.  Mungkin karena covid adalah hal yang baru. Hal itu diungkapkan, wartawan Kompas, Mohammad Bakir, yang juga penyintas Covid-19, dalam webinar, Mengarusutamakan Perubahan  Perilaku untuk Menyelamatkan Masyarakat dari Pandemi Covid-19, Jumat (6/11).

Bakir juga melihat dari tingkat kebijakan juga beda-beda. Ia mengambil contoh, di Banyuwangi menerapkan protocol kesehatan yang  ketat di hotel. Sementara, di beberapa daerah, ada bupati malah melarang warganya untuk tes PCR agar daerahnya tetap zona hijau. 

“Bupati yang tidak memperbolehkan warganya tes PCR  harus diberi sanksi karena memberi contoh yang kurang baik dan menghambat dalam penanganan Covid,’ kata Bakir. 

Hal lain yang juga menjadi kendala, kata Bakir, masyarakat menyebut sehat itu berbeda-beda. “Kalau petani batuk-batuk masih disebut sehat. Beda degan orang lain ukurannya. Sekarang juga banyak sekali Orang Tanpa Gejala atau OTG,” katanya. 

Menurutnya,  virus ini tidak terlihat, tapi bisa membuat mati.  “Inilah yang harus menjadi hal serius yang dipahami masyarakat,” imbuhnya.    Menurut Bakir,  ada  hal yang bisa disentuh dengan agama. Soal Covid, kata dia, tokoh agama bisa diajak turutserta dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat. 

Ia menilai, 3M, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan  adalah hal wajib  dilaksanakan setiap orang dengan kesadaran.  “Tidak cukup karena keluarganya pernah terkena Covid. Tapi kesadaran karena dirinya sendiri,” ujar Bakir. 

Karena itu, ia menilai, sinergitas semua pihak, baik daerah maupun pusat sangat diperlukan.   “Perlu pemahaman yang sama, karena selama ini, hampir 50 persen pemahaman belum sama. Ini genting lho, itu yang harus diketahui masyarakat,” imbuh Bakir. 

Kasubdid Sosialisasi Bidang Perubahan Prilaku Satgas Covid-19, Dr. Ir. Dwi Listyawardani mengatakan,  memakai masker mungkin tak sulit dilakukan masyarakat, namun, menjaga jarak masih sering diabaikan.

Menurutnya, strategi yang harus dilakukan adalah memberikan informasi yang berstruktur dan berkelanjutan. Selain itu, bermitra dan bergandeng tangan dengan berbagai pihak. 

“Peran media masa sangat penting untuk memelihara keberlanjutan ini. Selain juga harus melibatkan tokoh masyarakat dan komunitas,” kata Dwi. 
Mengubah prilaku memang tak mudah. Ia mencontohkan, program KB memerlukan waktu 20 tahun untuk mengubah prilaku.  “Dulu kan dianggap banyak anak banyak rezeki,” katanya. 

Sementara, menurut dr. Dewi Puspitorini, Sp.P (K) MARS, M.H, untuk mencegah Covid,  memakai masker adalah suatu kewajiban. “Memakai masker  juga tidak sekadar memakai masker, tapi bagaimana menggunakan masker yang benar dan benar-benar menutupi hidung dan mulut,” kata Dewi. 
Pemerintah selalu mengaungkan 3M, namun, ketika ada pembagian sembako menjaga jarak sudah dilupakan masyarakat. Ini juga menjadi perhatian serius, terutama bagi yang akan membagikan sembako. 


Menurut Dewi, pejabat dan tokoh masyarakat perlu memberi contoh bagaimana memakai masker yang benar. Menurutnya, setiap orang harus dianggap OTG. Tujuannya agar masyarakat waspada dan tetap disiplin 3M. Penderita hipertensi, diabetes, jantung, adalah kelompok berisiko. Ia juga menyarankan sebaiknya berhenti merokok. Bagi yang sudah melakukan gaya hidup sehat, seperti olahraga yang teratur adalah sangat baik, namun, harus tetap menerapkan 3M. 

Ketua PWI Pusat, Atal Dapari menilai,  Pers Indonesia sudah sangat inten memberitakan soal Covid ini.  Ia menilai, memang mengubah prilaku memang sangat  sulit.  “Saya menilai, kerja wartawan sudah  sangat maksimal,” kata Atal. 

Ia meminta, para wartawan mampu mempengaruhi masyarakat. Para wartawan harus berpikir, bagaimana merangkul rakyat. Masyarakat paling percaya pada wartawan. 

“Ketika masyarakat mulai tidak  percaya dengan pemerintah, di sanalah peran media massa. Ketika masyarakat tidak percaya Covid, di sanalah para wartawan memberi pemahaman.  Wartawan harus jadi juru bicara ke public, karena Covid ini serius,” tegas Atal. 

Menurutnya, para narasumber berita juga perlu menjadi perhatian. “Misalnya, dalam membicarakan soal vaksin. Tidak semua pejabat bicara vaksin. Cukup satu orang yang bicara. Jadi ada satu informasi yang diterima,” imbuhnya. 

Sementara, menurut Anggota Dewan Pers, Jamalul Insan,   banyak informasi beredar di media sosial, sehingga media pers wajib memberkan informasi yang benar karena kewajiban pers kepada public. “Kalau wartawan tidak memberikan informasi yang benar, maka masyarakat akan mencarinya di media sosial,” imbuhnya.


Ia mengatakan, Dewan pers telah mendorong para wartawan untuk menghasilkan karya jurnalistik perubahan prilaku dengan berkontribusi melalui fellowship perubahan prilaku, program kolaborasi Dewan Pers dengan satgas Covid-19.

Berdasarkan, terori perubahan prilaku, wartawan adalah garda terdepan terhadap perubahan prilaku melalui pemberitaan, selain berdasarkan kode etik juga berkontribusi membawa perubahan prilaku kepada masyarakat.

“Tugas jurnalis, adalah agen perubahan garda terdepan. Selain  menjalankan tugas jurnalistik,  juga menjadi contoh dalam mendorong perubahan prilaku,” kata  Jamalul. (ira)

Sumber : https://www.redaksi9.com/read/3320/-