Media Tradisional Masih Penting

Media Tradisional Masih Penting
02 Mei 2020 | MediaCentre2

RMco.id  Rakyat Merdeka - Hari Kebebasan Pers Internasional (World Freedom Press Day), diperingati tiap 3 Mei. Namun sejumlah tantangan masih ditemui para pekerja pers di tiap negara di dunia.

Kamis (30/4), Pusat Kebudayaan Amerika Serikat (AS) di Jakarta @america, menggelar diskusi virtual memperingati World Freedom Press Day.

Diskusi itu dihadiri Political Officer Kedutaan Besar (Kedubes) AS Gabriel M. Hons-Oliver, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan dan Ketua Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Asep Setiawan.

Diskusi dimoderatori jurnalis senior Yeyen Rostiyani. Oliver yang membuka diskusi menyebut, jurnalisme itu sangat penting. Kata dia, pers sangat mendukung demokrasi dunia. Termasuk di negaranya.

Jurnalis, kata Oliver, bebas mengekspresikan pendapat mereka melalui berita yang mereka buat. Ini berlaku bagi seluruh jurnalis di dunia, termasuk AS dan Indonesia.

Meski demikian, kata Oliver, terkadang ia menemui adanya bias media. “Bagi saya itu bukan masalah. Hal tersebut adalah bagian dari kebebasan pers,” ujar Oliver.

Meski demikian, kini jurnalis menghadapi tantangan yang cukup besar. Yakni berita bohong atau hoaks. Menurutnya, tak semua orang bisa memiliki kemampuan menganalisa kebenaran berita.

Oliver mengatakan, media mainstream sangat berpengaruh bagi masyarakat. Saat ini, keberadaan media sosial sebagai wadah informasi, sering disalahgunakan. “Sehingga dapat menyebarkan berita hoaks,” ujarnya.

Ia menyebut, masyarakat masih bisa mempercayai media-media tradisional. Seperti, koran atau stasiun televisi. Jika mengambil sumber yang terpercaya, masyarakat bisa yakin bahwa informasi yang disampaikan sudah tepat.

Terkait pers di Tanah Air, Abdul Manan mengungkapkan, saat ini masih ada tiga hal yang membuat kebebasan pers di Indonesia tidak tumbuh. Pertama adalah sistem yang korup yang membuat lembaga negara tak berfungsi dengan baik.

Kata Abdul, jika sistemnya korup, tidak akan mungkin ada kebebasan pers. Katanya lagi, dalam situasi seperti itu, jangan diharapkan lahir regulasi-regulasi yang akan melindungi kebebasan pers.

“Kita lihat konteks sekarang bagaimana sikap DPR dan pemerintah ngotot merevisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang isinya kita anggap mempertahankan pasal-pasal lama yang bisa memenjarakan wartawan,” kata Manan.

Kedua, kemiskinan yang menjerat kalangan wartawan. Kebebasan pers di Indonesia, menurut Manan, sulit tumbuh jika kesejahteraan wartawan memprihatinkan.

Jika gaji tidak cukup, wartawan tidak akan punya waktu yang cukup banyak berkonsentrasi menghasilkan karya jurnalistik yang baik.

“Karena itu, kesejahteraan adalah tema yang penting kalau kita berbicara kebebasan pers,” tambahnya.

Masih kata Abdul, hal terakhir yang mempengaruhi kebebasan pers di Indonesia adalah iklim ketakutan. Wartawan sering menghadapi ancaman, dan itu tidak hanya berwujud ancaman fisik.

Menanggapi hal itu, Asep Setiawan menyebut, secara keseluruhan kemerdekaan pers di Indonesia sudah mulai membaik. Hanya saja, masih ada beberapa faktor yang menghambat kemajuannya.

“Kesejahteraan juga masih menjadi persoalan, dan pendidikan,” ujar Asep.

Pihaknya menemukan hal ini di beberapa wilayah seperti di Papua. “Maka, dalam indeks pers itu, bisa ditemui apa yang sebenarnya menjadi persoalan pers di Indonesia, dan apa yang harus diperbaiki,” tandas Asep.

Sumber : Media Tradisional Masih Penting