Pernyataan Dewan Pers tentang Pornografi dalam Pers

Pernyataan Dewan Pers tentang Pornografi dalam Pers
27 Juli 2015 | Administrator

Pernyataan Dewan PersNo. 13/PDP/X/2001 tentang
Pornografi dalam Pers


Merebaknya penyiaran dan penerbitan majalah dan tabloid yang mengumbar foto dan artikel erotik telah menimbulkan keresahan pada sebagian anggota masyarakat. Bukan itu saja; penerbitan yang dipandang pornografis itu, yang sebagian liar karena terbit tanpa identitas dan alamat penerbit yang jelas, telah mencemari kebebasan pers yang selama tiga tahun ini telah dirasakan masyarakat Indonesia.

Kehadiran berbagai penerbitan pornografis itu dapat mengancam sendi-sendi prinsip kebebasan pers yang sehat, seolah-olah merebaknya media pornografi adalah bagian dari semangat kebebasan pers. Terlebih-lebih sebagian masyarakat beranggapan bahwa penerbitan pornografis, yang berbentuk tabloid dan majalah, juga dikategorikan sebagai penerbitan pers.

Dewan Pers menerima sejumlah keluhan dan pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan penerbitan pornografis ini, khususnya karena media yang tidak pantas dikonsumsi anak-anak tersebut diperjualbelikan dengan sangat leluasa di sembarang tempat. Pengaduan juga datang dari kelompok Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) yang secara khusus memerangi pornografi.

Dewan Pers menyadari bahwa penilaian menyangkut pornografi selalu mengundang perdebatan dan sulit diperoleh kesepakatan yang pasti mengenai batasan-batasannya. Isu pornografi selalu terkait dengan perkembangan zaman dan keragaman sistem nilai masyarakat, sehingga persepsi dan penilaian setiap orang bisa berbeda-beda tentang kadar kepornoan satu gambar atau tulisan yang dipublikasikan media.

Meskipun demikian, untuk menanggapi berbagai keluhan dan pengaduan, pada kesempatan ini Dewan Pers merasa perlu menyampaikan pokok-pokok pikiran menyangkut pornografi dan kecabulan (obscenity) dalam pers ini, sebagai berikut:

  1. Secara prinsip pornografi dan kecabulan tidak masuk dalam kategori pers. Pers menyebarkan informasi yang berkaitan dengan wilayah kepentingan publik, sedangkan pornografi dan kecabulan terkait dengan wilayah privat (personal). Pelanggaran menyangkut pornografi atau kecabulan sesungguhnya telah diatur dalam KUHP Pasal 282, disebut sebagai Pelanggaran Kesusilaan, yang antara lain berbunyi: “mempertunjukkan atau menempelkan di depan umum tulisan, gambar yang diketahui isinya melanggar kesusilaan” diancam hukuman penjara maksimal 18 bulan.
  2. Dewan Pers mengamati bahwa sebagian media penerbitan yang secara eksploitatif mempublikasikan pornografi dan kecabulan adalah tabloid dan majalah liar, sehingga sulit dilacak pertanggungjawaban penerbitannya. Terhadap penerbitan semacam ini, maka adalah tugas Kepolisian untuk menegakkan hukum, bukan saja karena menyebarkan tulisan atau gambar pornografis (melanggar Pasal 282 KUHP), melainkan juga merupakan pelanggaran mengenai ketidakjelasan status badan hukum penerbitannya.
  3. Dewan Pers mengimbau agar masyarakat berperan aktif melaporkan kepada aparat hukum media penerbitan yang cenderung mengeksploitasi pornografi dan kecabulan, mengingat aktivitas penerbitan tersebut selain menyinggung rasa kesopanan masyarakat, juga termasuk melanggar hukum. Dalam hal ini Dewan Pers mencatat sedikitnya 18 penerbitan telah ditindak oleh aparat penegak hukum karena tuduhan melanggar Delik Kesusilaan untuk selanjutnya diproses melalui pengadilan.
  4. Lazimnya, pers tidak menyiarkan informasi dan produk visual dengan cara mengumbar pornografi dan kecabulan. Meskipun demikian, adakalanya pers menerbitkan atau menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu. Dalam hal ini Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) secara tegas menyebutkan: “Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan pornografis, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.” Yang dimaksud pornografis, dalam penjelasan KEWI, adalah informasi atau gambar yang secara gamblang memperlihatkan aurat yang bisa menimbulkan nafsu birahi atau mengundang kontroversi publik.
  5. Terhadap media serius (mainstream) dan media hiburan yang jelas badan hukumnya, Dewan Pers mengingatkan agar pers selalu menaati kode etik dan peka terhadap nilai rasa kesopanan yang dianut masyarakat. Dewan Pers dalam hal ini dapat memberikan pertimbangan dan penilaian jika masyarakat berkeberatan atau mengadu atas pemuatan atau penyiaran materi yang dinilai mengandung unsur pornografi atau kecabulan, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers.
  6. Sementara itu, dirasakan sudah sangat mendesak untuk menetapkan aturan menyangkut distribusi media hiburan yang dikategorikan untuk bacaan orang dewasa. Media hiburan yang menampilkan foto dan artikel “seronok” hendaknya diatur distribusinya dan hanya dijual di tempat-tempat tertentu yang tidak mudah dijangkau anak-anak. Di samping itu, dalam pendistribusiannya, media tersebut juga wajib menutup sampul yang “seronok” agar tidak tampak terlalu mencolok.


Jakarta, 11 Oktober 2001

Dewan Pers

ttd

Atmakusumah Astraatmadja
Ketua