Sekadar ilustrasi dapat digambarkan sebagai berikut Kepala Staf Kepresidenan (waktu itu –red), Teten Masduki, melalui kuasa hukumnya Ifdhal Kasim, SH pada 29 September 2017 mengadu ke Dewan Pers. Pasalnya ada 3 media memberitakan -- dengan judul agak mirip--bahwa Sunny (Sunny Tanuwidjaja yang sering disebutsebut sebagai staf Ahok-red) mengucurkan Rp 200 miliar kepada Teten Masduki untuk membiayai media sosial guna menyerang Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Berita tersebut selain provokatif dan mengadu domba, menurut Teten, bohong dan fitnah. Teten mengaku tidak pernah menerima kucuran dana dari Sunny. Dia juga tidak pernah diklarifikasi oleh media-media itu. Sesuai mekanisme pengaduan, Dewan Pers mengundang para pihak untuk meminta klarifikasi. Dari ketiga media tersebut, ternyata hanya satu yang hadir. Itu pun setelah pemanggilan kedua. Sedangkan dua media lainnya, tidak datang tanpa alasan. Ada satu media yang menggunakan alamat di bilangan Depok. Setelah dicek di lapangan oleh Staf Dewan Pers, ternyata alamat itu palsu. Hanya rumah kosong tanpa penghuni. Menurut orang sekitar, rumah itu memang sudah lama idak ada yang menempati. Dewan Pers memeriksa dan menilai berita ketiga media tersebut. Berita yang mereka tampilkan itu tidak memenuhi elemen dasar standar penulisan karya jurnalistik (5W1H), tidak uji informasi, tidak berimbang, menggunakan sumber yang tidak kredibel, menghakimi dan melanggar asas praduga tak bersalah. Atas dasar itulah, Dewan Pers memutuskan bahwa berita media tersebut tidak memenuhi karya jurnalistik baik dari segi teknis maupun etis bahkan cenderung beritikad buruk. Pengadu dan pihakpihak yang merasa dirugikan atas berita tersebut dapat menggunakan UU lain di luar UU No. 40/1999 tentang Pers. Sedangkan media yang bersedia hadir ke Dewan Pers masih diberi kesempatan untuk memuat Hak Jawab Pengadu disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan pembaca. Karena Dewan Pers juga melihat bahwa penanggungjawab media ini belum memiliki sertifikat Wartawan Utama -- sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Dewan Pers -- maka wajib mengikuti uji kompetensi. Perusahaan pers media ini juga harus sesui dengan Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers. Rekomendasi Dewan Pers itu kemudian dikunci dengan kalimat tegas “Apabila Rekomendasi di atas tidak dilaksanakan oleh Teradu, maka Pengadu atau pihak yang merasa dirugikan, dapat membawa kasus ini ke proses hukum (pengadilan), dan pada masa depan Dewan Pers tidak akan menangani masalah atau perkara pers yang terkait dengan Teradu. Sehingga setiap pihak yang merasa dirugikan oleh Teradu dapat langsung menempuh proses hukum tanpa terlebih dulu mengadu ke Dewan Pers”. Selama 2017, Dewan Pers mengeluarkan Pernyataan Pernilaian dan Rekomendasi (PPR) terhadap 41 media dengan rincian 16 media cetak dan 25 media siber. Pada kurun yang sama, Dewan Pers menyelesaian pengaduan melalui mediasi dan ajudikasi yang dituangkan dalam 51 Risalah Penyelesaian Pengaduan ke Dewan Pers (Risalah). Risalah itu menyangkut 23 media cetak, 2 media elektronik dan 26 media online (siber). Pelanggaran umum, seperti tercermin dalam Risalah, dapat dirinci bahwa sebanyak 39 media melanggar Pasal 1 KEJ dan 43 media melanggar Pasal 3 KEJ, sisanya melanggar Pasal 11 media melanggar Pasal 2 KEJ. Media-media itu ada yang melanggar Pasal 1 dan 3 KEJ sekaligus, bahkan Pasal 1, 2 dan 3 KEJ. Yang menyedihkan, ada media-media yang terindikasi melanggar asas praduga tak bersalah (Pasal 5) dan tanoa mengumumkan pe-nanggungjawab medianya (Pasal 12) UU No 40/1999 tentang Pers. Hal sama juga tercermin dalam PPR yang dikeluarkan Dewan Pers. Sebanyak 11 media melanggar Pasal 1 KEJ dan 26 media melanggar Pasal 3 KEJ. Seperti dalam Risalah, PPR yang dikeluarkan Dewan Pers menunjukan ada media-media yang melanggar Pasal 1 dan 3 sekaligus. Bahkan melanggar pasal-pasal lain dalam KEJ yakni Pasal 2 (4 media); Pasal 4 (2 media), Pasal 5 (media), Pasal 6 (media) dan Pasal 8 (2 media). Dalam PPR tersebut, Dewan Pers juga menunjuk beberapa media terindikasi melanggar Undang-Undang Pers Pasal 3 (11 media), Pasal 2 (media), Pasal 6 (11 media) dan Pasal 12 (2 media) Sumber Daya Manusia Menanggapi kenyataan itu, Wakil Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Hendry Ch Bangun menjelaskan, bahwa apa yang tergambar dalam pengaduan ke Dewan Pers sepanjang 2017 merupakan salah satu buntut dari tumbuh masifnya media sejak reformasi 1998 yang ditandai dengan tidak memadainya sumber daya manusia profesional yang tersedia untuk mengelola media. Ditambah dengan mudahnya membuat media, kata Hendry, maka siapapun merasa bisa membuat media walaupun pengetahuan dan pengalamannya minim. Wartawan dengan masa kerja minim di tempat kerjanya, tambah Hendry, membuat media sendiri dengan bermodalkan semangat dan uang seadanya. “Mengelola media tidak dengan manajemen redaksi yang standar, tentu saja”, katanya. Menurut dia, media ini lalu merekrut wartawan, mempekerjakannya tanpa memberi pelatihan yang memadai. Dapat diperkirakan kualitas produk berita yang dihasilkan, rawan pelanggaran kode etik jurnalistik. Terjadilan lingkaran setan yang tidak tahu dimana harus memotong jalurnya terutama karena di Indonesia siapa saja bebas menjadi wartawan, setiap orang bebas mendirikan media. Hendry menengarai pelanggaran terhadap Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik merupakan gambaran dari wartawan yang tidak pernah mendapat pelatihan. ”Dia tidak tahu bahwa karya jurnalistiknya harus merupakan informasi yang akurat (tidak salah nama, salah tanggal, salah data) dan berimbang (memberi kesempatan yang sama bagi orang yang disebut dalam berita, memberi porsi keteranganyang setara, dan tidak pernah membuat berita hanya berdasarkan satu narasumber)”, ujarnya. Ia menambahkan, wartawan itu tidak tahu bahwa informasi harus diuji untuk mengetahui ke benarannya, dan tidak boleh menuduh, mencap seseorang tanpa meminta konfirmasi. “ Produk berita seperti ini terjadi juga karena tidak adanya fungsi editing, tidak ada yang mengecek berita yang dibuat reporter, atau lebih mengerikan lagi, editor tidak tahu berita yang “dilepasnya” itu salah, lolos sehingga tampil di hadapan pembaca”, katanya. Lebih lanjut Hendry menyatakan, media akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik, sesuai undang-undang dan ketentuan yang ada apabila pengelolanya profesional ditandai dengan memiliki sertifikat kompetensi utama bagi pimpinan redaksi dan penanggungjawab, sertifikat madya bagi jajaran tengah seperti editor, produser, serta sertifikat kompetensi muda untuk wartawan lapangan. “Maka kalau pengelolanya belum profesional berbagai persoalan akan tetap muncul”, tegasnya. Karena itu, menurut Hendry, pimpinan media harus diedukasi. Dewan Pers secara rutin memberikan pelatihan dan sosialisasi bagi manajemen maupun wartawan bagi pentingnya ketaatan terhadap aturan yang ada. “Adanya verifikasi yang saat ini gencar dilakukan mau tidak mau akan membuat pengelola media yang serius menjalankan bisnisnya, akan semakin taat. Apalagi kementerian dan lembaga pemerintah makin keras. Mereka hanya bersedia bekerja sama dengan media yang terverifikasi dan hanya memberi informasi kepada wartawan bersertifikat”, pungkasnya. Terkait hal itu, dari sisi perkembangan uji kompetensi wartawan, terjadi peningkatan yang cukup signifikan sepanjang tahun 2017. Hingga saat ini Dewan Pers telah mengeluarkan 11.811 nomor id sertifikat kompetensi wartawan dan selama Tahun 2017 Dewan Pers telah memberikan pengesahan 2.551 Sertifikat Kompetensi Wartawan. Namun peningkatan ini belum sebanding lurus dengan peningkatan kualitas kerja wartawan, mengingat jumlah estimasi total wartawan yang aktif bekerja saat ini mencapai 80.000 orang.