Wartawan Terlibat Politik Harus Cuti Atau Mundur

images

Sejumlah wartawan mempertanyakan mengapa Dewan Pers meminta setiap wartawan yang memilih untuk maju menjadi pasangan calon (paslon) Pilkada, anggota tim sukses partai atau tim sukses pasangan calon untuk segera non-aktif sebagai wartawan atau mengundurkan diri secara permanen. Banyak wartawan menilai menjadi paslon atau tim sukses adalah hak politik dan sekaligus bentuk partisipasi politik.

seharusnya setiap insan pers tahu bahwa keberadaan pers sesungguhnya adalah dalam rangka menjamin kemerdekaan pers dan untuk memenuhi hak masyarakat mendapatkan informasi yang berkualitas dan adil sebagaimana bunyi Pasal 6 UU No 40/1999 tentang Pers. Selain itu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, setiap wartawan berkeajiban untuk selalu bersikap independen dengan memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani dan menghasilkan berita yang akurat yaitu yang dapat dipercaya benar sesuai keadaan obyektif ketika peristiwa terjadi. Memang, wartawan yang merupakan komponen utama pers Indonesia semestinya harus bisa menjadi wasit dan pembimbing yang adil, menjadi pengawas yang teliti dan seksama terhadap pelaksanaan Pilkada, dan tidak justru sebaliknya, menjadi “pemain” yang menyalahgunakan ketergantungan masyarakat terhadap informasi yang dipasok media. Seorang wartawan yang maju menjadi paslon dalam Pilkada, atau tim sukses sesungguhnya seorang wartawan telah memilih untuk berjuang guna kepentingan politik pribadi atau golongannya. Hal ini bukan tak mungkin akan menimbulkan adanya konflik kepentingan dengan tugas utama wartawan yang harus mengabdi pada kebenaran dan kepentingan publik. Karena itu ketika seorang wartawan memutuskan terjun ke politik praktis maka pada hakekatnya ia telah kehilangan legitimasinya dalam menjalankan profesi jurnalistik.

 Konflik kepentingan dalam hal ini adalah suatu keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang memerlukan kepercayaan, seperti halnya pengacara, dokter, aparat sipil negara (ASN), dan TNI-Polri, wartawan juga memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan. Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya. Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak menimbulkan tindakan yang tidak etis atau tidak pantas. Posisi wartawan adalah posisi yang kerap istimewa. Seorang wartawan memiliki previlege untuk mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi (6M). Seorang kandidat atau paslon kepala daerah yang berbaju jurnalis akan menikmati keuntungan bila bertarung dalam Pilkada. Demikian juga wartawan yang menjadi tim sukses. Ia bisa menggunakan bahandan informasi yang dimilikinya untuk memojokkan paslon lawan atau juga sekadar mengolah informasi yang disebarluaskannya hanyalah berupa berita yang menguntungkan pihaknya sendiri.

 Seorang wartawan yang memiliki posisi strategis dalam newsroom juga bisa mendesain angle, memilih narasumber, mengedit pernyataan dan lain-lain yang akan menghasilkan pemberitaan yang sarat dengan konflik kepentingan dengan profesi artaan yang semestinya membela kepentingan publik dan bahkan kerap harus berposisi sebagai publikc watch dog. Karena itulah, seperti halnya ASN, TNI, dan Polri, wartawan perlu membersihkan diri agar tak memiliki konflik kepentingan dalam menyampaikan laporan dan pemberitaan terkait Pilkada dan Pemilu. Dalam survei yang dilansir Edelman dan juga The Economist, profesi wartawan di Indonesia sesungguhnya adalah profesi yang masih dihormati dan publik masih menaruh kepercayaan yang tinggi pada profesi ini.***

 

By AdminMediaCentre| 03 Agustus 2018 | berita |