Dewan Pers Beberkan Ciri-Ciri Berita Hoax

images


    Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, membeberkan beberapa ciri berita bohong yang biasa disebut hoax, saat tampil sebagai pemateri dalam kegiatan Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat di Ternate, Maluku Utara, pertengahan  Agustus  lalu. 
    Kegiatan Literasi Media  sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat tersebut digelar oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Maluku Utara. 
     Stanley, demikian Yosep Adi Prasetyo disapa, menyebut ciri pertama hoax adalah begitu disebar, berita itu  dapat mengakibatkan kecemasan, permusuhan dan kebencian pada masyarakat yang terpapar.  “Masyarakat yang terpapar hoax biasanya akan terpancing perdebatan. Jika sudah berdebat, mereka akan saling benci dan bermusuhan," ujarnya.
     Ciri kedua hoax, lanjut Stanley, adalah ketidakjelasan sumber beritanya. "Jika diperhatikan, hoax di media sosial biasanya berasal dari pemberitaan yang tidak atau sulit terverifikasi," tambah Stanley. Ciri ketiga, menurut dia, isi pemberitaan tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu.
     Kemudian ciri keempat, kata Stanley, sering bermuatan fanatisme atas nama ideologi. "Judul dan pengantarnya provokatif, memberikan penghakiman bahkan penghukuman tetapi menyembunyikan fakta dan data," ujarnya seraya menambahkan, “Biasanya juga mencatut tokoh tertentu. Penyebarnya juga meminta apa yang dibagikannya agar dibagikan kembali,"
     Dari ciri-ciri hoax yang disebutkannya, Stanley meminta masyarakat untuk selalu waspada dan ikut mencegah peredarannya, karena semakin hari semakin mengkhawatirkan. Masyarakat juga diminta berlaku cerdas dalam membedakan konten dalam media sosial dan pers.
    "Yang ada di media sosial itu informasi, belum terverifikasi kebenarannya. Oleh karena itu jika ada informasi di medsos, baca dengan teliti, klarifikasi kebenarannya, verifikasi dengan cara membandingkan berita yang sama dari sumber berbeda, jangan langsung diterima atau disebar ulang," pesan Stanley.
    Sebelumnya,   ketika tampil sebagai pemateri di kegiatan Visit Media BNPT dan FKPT Aceh ke redaksi media massa pers, Stanley  mengatakan dalam konteks Aceh saran penggunaan diksi keras dikurangi dapat dibenarkan. Catatan sejarah masa lalu disebutnya sebagai alasan pembenaran. “Aceh memiliki sejarah masa lalu yang kelam, salah satunya GAM yang sempat dituding sebagai terorisme. Apa yang disarankan FKPT Aceh ada benarnya,” katanya,  Rabu (9/8/2017).
   Stanley menilai apa yang disosialisasikan FKPT Aceh sudah tertuang dalam Pedoman Peliputan Terorisme, aturan bersama terkait pemberitaan seputar terorisme yang merupakan hasil kerjasama BNPT dan Dewan Pers.
   “Pers diminta tidak melakukan glorifikasi dalam pemberitaan, salah satunya pemilihan diksi yang lembut dan tidak menyudutkan pihak-pihak tertentu,” jelas Stanley.
   Lebih jauh Stanley mengatakan, menjelang akhir tahun 2016 berita hoax semakin banyak tersebar di tengah masyarakat terutama melalui media sosial. Saat ini, kata dia,  banyak beroperasi media-media tidak resmi yang menyebarkan berita-berita tidak valid.Celakanya berita-berita tersebut tidak jarang menjadi konsumsi masyarakat umum.
    Ia  memaparkan, sekarang  telah beredar 47 ribu media di seluruh Indonesia dengan 2.500 diantaranya media cetak dan 43.300 lainnya media online.  Namun, yang terverifikasi oleh Dewan Pers hanya 500 media cetak dan 168 media online. Sementara sisanya masih tidak diketahui validitasnya
    "Bahkan tak jarang kasus pemerasan dan penipuan terjadi dengan membawa embel-embel badan pers, padahal media tersebut adalah media abal-abal," ujar Stanley menceritakan contoh kasus yang pernah ia temui.
         
Persatuan Kebaikan
     Dalam pada itu,   Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Imam Wahyudi, mengingatkan media massa, khususnya pers untuk ikut terlibat dalam upaya pencegahan terorisme. Dia menganalogikan keterlibatan pers sebagai sebuah persatuan kebaikan untuk melawan kejahatan.
     Hal itu disampaikan Imam Wahyudi saat menjadi pemateri dalam kegiatan Visit Media yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Bali di RRI Denpasar dan TVRI Bali, Rabu (2/8/2017).
    "Pers adalah bagian dari elemen masyarakat yang merupakan kebaikan dan harus bersatu, bahu-membahu membantu Pemerintah dalam pencegahan terorisme," kata Imam.
    Pria yang menghabiskan karirnya di media massa baik cetak maupun elektronik  tersebut juga mengatakan, keterlibatan media menjadi mutlak karena yang dihadapai adalah terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa.
     "Tidak bisa kalau hanya Pemerintah yang (diandalkan untuk) menyelesaikan persoalan terorisme. Masyarakat, termasuk pers di dalamnya, juga harus terlibat aktif," tambahnya.
     Namun Imam Wahyudi mengingatkan bahwa keterlibatan pers dalam upaya ini tetap harus pada koridornya, yakni dalam kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan independen.
     "Artinya bekerja sesuai standar profesi yakni menguasai konsep, ilmu pengetahuan baik khusus maupun umum, skill dan etika. Juga selalu siap mempelajari dan menguasai pengetahuan dan hal-hal baru yang diperlukan agar bisa bekerja secara profesinal dan independen," pungkasnya. (WARTA KOTA)

By dedy| 05 Oktober 2017 | berita |