AKHIR-akhir ini semakin banyak narasumber pers yang digugat dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik karena pernyataannya yang dimuat pers. Kecenderungan ini tentu saja merisaukan, tidak hanya bagi narasumber bersangkutan, tetapi juga praktisi pers. Berikut wawancara dengan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, tentang maraknya gugatan terhadap narasumber yang disiarkan melalui kanal Youtube Dewan Pers.
Bagaimana pendapat Dewan Pers terhadap maraknya kasus gugatan dan tuntutan kepada narasumber pers?
Saya ingin bicara dulu tentang pencemaran nama baik. Ini sebetulnya kaidah karet. Sulit sekali memberikan substansinya, sehingga setiap orang bisa menggunakannya sebagai cara untuk membuat seseorang menjadi tersangka atau terdakwa. Karena itu wajar kalau banyak pandangan yang mengatakan kaidah seperti itu tidak wajar dalam satu kehidupan masyarakat yang bebas, kehidupan masyarakat yang demokratis. Sebab kebebasan berpendapat dan berekspresi akan mudah sekali dianggap sebagai mencemarkan nama baik. Itu konsep dasar yang semestinya penegak hukum juga berhati-hati kalau menghadapi persoalan seperti itu.
Sekarang terjadi upaya-upaya yang bermula dari pemberitaan pers, tapi yang dikejar narasumber. Saya yakin mereka (yang menggugat narasumber) memahami, kalau mereka membawa ini kepada persoalan pers, maka tidak dapat memenuhi sepenuhnya selera mereka untuk menjadikan ini persoalan hukum. Sebab, kalau masuk ke persoalan pers maka pertama-tama harus diselesaikan menggunakan prinsip-prinsip pers bebas yang diatur UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan prinsip-prinsip pers universal.
Saya pikir, mereka sadar atau tidak sadar sedang menggerogoti upaya kita untuk membangun tatanan kehidupan pers yang sehat. Dimana pers menjadi sumber kebenaran, sumber dimana kita mendapatkan berita yang benar.
Khusus mengenai upaya menjadikan sumber berita sebagai pihak yang dianggap melakukan perbuatan pidana, khususnya pencemaran nama baik, hal itu juga berkaitan dengan salah satu hal yang sangat mendasar di dalam pers bebas. Telah menjadi asas umum dalam pers bebas yaitu menjadi kewajiban pers untuk melindungi narasumbernya. Mengapa kewajiban itu sangat ditekankan kepada pers bebas, karena apabila sumber berita menjadi tidak aman maka tidak akan ada lagi pihak yang memberikan keterangan, fakta-fakta, demi kepentingan masyarakat umum. Dengan itikad baik narasumber, justeru mereka menjadi tersangka melakukan pidana.
Karena itu, kewajiban yang absolut bagi pers untuk melindungi narasumber. Di mana saja pernah terjadi kasus semacam ini, pers mengatakan “lebih baik kami dipenjarakan daripada kami harus mengungkapkan narasumber kami”. Ini harus dipegang teguh pers.
Pihak yang merasa dicemarkana nama baiknya, kalau itu bersumber dari pemberitaan—adanya karena pemberitaan—maka tidak semestinya yang dia kejar narasumber. Menurut asas pers, setiap pemberitaan menjadi tanggung jawab pers, khususnya tanggung jawab redaksi. Mengapa tidak itu yang dipersoalkan.
Saya memohon kepada pers yang memberitakan, apabila mereka dikejar-kejar untuk mengungkapkan narasumbernya, saya meminta mereka tetap memegang teguh prinsip dalam keadaan apapun narasumber dilindungi dan pes yang harus mengambilalih tanggung jawab.
Apa langkah yang sudah dilakukan Dewan Pers terkait gugatan dan tuntutan kepada narasumber berita?
Dewan Pers telah melakukan surat menyurat, memohon. Meskipun yang dibawa ke ranah hukum adalah narasumber, tapi karena bersumber dari pemberitaan, kita meminta kepada penegak hukum agar masalah ini dikembalikan ke masalah pers.
Saya berharap sikap Dewan Pers ini diikuti seluruh pers. Tidak perlu ragu-ragu. Pers kita sudah biasa menghadapi masalah seperti itu. Bahkan dulu lebih pahit. Tapi pers kita bisa bertahan dengan baik dan sekarang menjadi kekuatan yang tidak mungkin tidak diperhitungkan. Kalau ada masyarakat Indonesia ingin mengecilkan peran pers, itu berarti dia sedang mendorong kita kembali kepada sistem-sistem lama. Saya berharap tidak ada yang berpikir seperti itu. (red)