Pers Mahasiswa Sebagai Sarana Pembinaan Karakter

images

Berita Dewan Pers - Pers mahasiswa dapat menjadi sarana yang konstruktif untuk membentuk sarjana berkarakter dan mempunyai kepribadian yang bertanggung jawab.
       Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, di sela-sela kegiatan Workshop Jurnalistik Mahasiswa yang diadakan Dewan Pers di Bandar Lampung, Rabu (22/10/2014) kepada RRI mengatakan, pers mahasiswa berfungsi untuk membangun sikap kritis terhadap lingkungan agar terjaga dari segala bentuk demoralisasi, membentuk karakter bertanggung jawab serta membangun sikap mencintai dan menjunjung tinggi etik.
        Menurut Bagir Manan, jika mahasiswa mempunyai kegiatan, seperti jurnalistik, akan terbangun karakter kaum terpelajar yang baik. Selain memiliki ilmu dalam bidang kesarjanaan, juga akan tertanam rasa tanggung jawab dalam diri mereka. Negara membutuhkan banyak kaum terpelajar dalam berdemokrasi.
       Saat ini, banyak kaum pelajar yang tidak mempunyai rasa tanggung jawab. Hal ini ditunjukkan banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para sarjana yang seharusnya dapat menjadi contoh.
        “Pers mahasiswa merupakan forum untuk pelatihan keterpelajaran, karena tidak semua yang dibutuhkan sarjana dapat ditampung melalui kurikulum. Beberapa hal yang perlu dibangun melalui latihan, di antaranya yang sangat esensial adalah membangun kepribadian atau karakter,” ujar Bagir Manan.
        Lebih lanjut dikatakan, salah satu budaya penting demokrasi adalah dialog sebagai salah satu instrumen keterbukaan. Dialog bukan hanya instrumen meniadakan purba sangka dan meniadakan serba apriori, tetapi yang tidak kalah penting dialog memuat latihan berdiskusi secara rasional, tertib dan damai. Kemampuan berdiskusi dengan baik merupakan salah satu ciri kematangan demokrasi.

Keterpelajaran
        Sebelumnya, ketika berbicara dalam acara serupa di Padang, Sumatera Barat, Selasa 4 November 2014, Ketua Dewan Pers menekankan, pers yang benar harus hidup dalam tradisi keterpelajaran. Kegiatan pers yang baik harus mengikuti standar pers yang baik dan sehat. Untuk menghasilkan standar jurnalistik yang baik, bermutu dan sehat, pelaku jurnalistik harus mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang cukup, bahkan harus memiliki wawasan yang luas.
       “Apabila ketiga kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi, jurnalis tidak dapat memenuhi kebutuhan publik. Hal tersebut juga merupakan syarat pemenuhan kewajiban profesi”, katanya.
       Ia menambahkan, pekerjaan pers merupakan pekerjaan idealistik. Seorang pelaku pers apakah wartawan, editor dsb, yang menjadikan pers sebagai panggilan hidupnya, merupakan pekerjaan idealistik. Apalagi di Indonesia, bekerja di pers berbeda dengan bekerja di perusahaan swasta.
“Melalui pers, kehidupan idealistik itu yakni berbagai cita-cita dan harapan,  dicoba untuk diwujudkan”, katanya.
      Lebih jauh Bagir Manan mengungkapkan, 50 tahun lalu Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) merupakan organisasi yang besar bahkan memiliki media cetak dan radio. IPMI ada di Bandung, Jakarta, Yogyakarta dan di beberapa tempat lainnya.
        Waktu itu pers mahasiswa, kata Bagir Manan,  mempunyai program tetap di RRI. Program tersebut sangat popular. Program hiburannya (musik)  bermutu. Selain itu, keberanian mahasiswa dalam  mengkritisi  masalah sosial politik yang mengemuka di masyarakat memperoleh apresiasi dari banyak anggota masyarakat. Kekritisan itu kemudian memudar seturut dengan kebijakan negara yang “membelenggu” pers mahasiswa.
“Dewan Pers ingin mengembalikan tradisi kekritisan pers mahasiswa itu dengan menggelar workshop di sejumlah daerah”, kataya.
        Melalui workshop pers mahasiswa, ada beberapa harapan yang ingin dicapai, misalnya tersedia wartawan handal pada masa depan. Lebih dari itu, kegiatan ini melengkapi sistem kurikulum perkuliahan.
“Sebagai guru, saya melihat banyak segmen dibutuhkan oleh mahasiswa di masa mendatang yang tidak dapat diperoleh dari kurikulum formal. Ada keterpisahan antara mahasiswa dengan kehidupan masyarakatnya. Hal itulah yang ingin dijembatani dalam kegiatan-kegiatan semacam ini. Agar mahasiswa lebih memahami realitas kehidupan sosial di sekitarnya,” ujar Bagir Manan.
        Ia menambahkan, pelaku pers yang baik dituntut menjadi pemikir yang bebas dan merdeka. Bebas dan merdeka adalah ciri keterpelajaran atau intelektual. Pekerja bebas mesti bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya. Pekerjaan intelektual membutuhkan integritas, yaitu orang yang berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara terbaik dengan menghasilkan yang  terbaik.
“Seorang pelaku pers harus melakukan penelitian, membuat berita yang baik sehingga menghasilkan karya jurnalistik terbaik. Substansi terpenting adalah membangun tradisi kaum terpelajar dan karakter yang bertanggung jawab”, ujarnya.
   
Hatta dan Syahrir
         Bagir Manan menjelaskan tentang makna keterpelajaran dengan mengutip pendapat tokoh nasional Hattta dan Syahrir.
        Pada tahun 1956, menurut Bagir Manan, Bung Hatta menyampaikan pidato di depan para sarjana UI dengan judul “Tanggungjawab Kaum Intelektual”. Dalam pidato itu, Bung Hatta menegaskan “ilmu dapat dicari, ilmu dapat dipelajari tapi keterpelajaran merupakan hasil latihan”. Keterpelajaran merupakan karakter, attitude atau sikap. Salah satu sikap seorang yang terpelajar adalah bertanggung jawab.
        Pada tahun 1934, ketika ditahan di Rutan Cipinang, Jakarta, bersama Hatta, Syahrir menulis: “Apa bedanya sarjana dengan kaum terpelajar?” Menurut Syahrir, kaum terpelajar menjadikan ilmu sebagai hati nuraninya, bukan sekedar pengetahuan, bukan sekedar menguasai teori, tapi menjadi hati nurani. Ilmu sebagai way of life.
Karena itu, tugas orang terpelajar adalah menjaga, menghidupkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan demi kepentingan orang banyak.
       Terkait pers mahasiswa, mantan Ketua Mahkamah Agung ini mengatakan, independensi pers pada umumnya dan pers mahasiswa menuntut integritas, kejujuran (honesty), tidak berbohong dan harus dapat dipercaya.
“Menjadi pihak yang dipercaya bukan dengan cara mengungkap semua hal ke publik, namun harus mengetahui kebijaksanaan atas hal-hal apa yang bisa disampaikan secara luas ke publik”, ujarnya.
       Konsekuensi yang lain adalah dignity. “Dengan memahami fungsi keterpelajaran, pers mahasiswa dapat menumbuhkan karakter sebagai kaum terpelajar”, ujarnya. (rri.co.id/dari berbagai sumber/red)

By Administrator| 17 Desember 2014 | berita |