Jakarta (Berita Dewan Pers) – Kalangan pers perlu membicarakan peliputan demonstrasi yang dilakukan dengan cara kekerasan yang masih sering terjadi akhir-akhir ini. Sebab, keberadaan wartawan di lokasi demonstrasi dan liputan pers diyakini dapat turut mempengaruhi bentuk demonstrasi. Salah satu cara yang diusulkan yaitu “moratorium” untuk tidak meliput demonstrasi yang dilakukan dengan cara kekerasan.
Demikian antara lain pemikiran yang muncul dalam diskusi tentang liputan pers dan demonstrasi anarkis yang digelar Dewan Pers di Jakarta, Jumat (12|7|2013). Diskusi ini digelar untuk mengevaluasi liputan pers tentang demonstrasi, terutama saat menjelang kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.
Hadir sebagai pembicara diskusi, Ketua Dewan Pers Bagir Manan, wartawan senior ANTV Ivan Haris, dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia Ali Abdillah.
Bagir Manan menekankan perlunya pers bersikap menghadapi demonstrasi yang suka menggunakan kekerasan. “Jangan sampai pers jadi faktor yang menyebabkan hal-hal yang tidak menguntungkan itu,” katanya.
Ia menambahkan, tidak sepatutnya pers menggunakan mahasiswa sebagai instrumen atau obyek untuk meraih kesuksesan, misalnya untuk menaikkan kepemirsaan program.
Menurutnya, gerakan mahasiwa adalah kekuatan moral. Mahasiswa harus menyadari kepentingan moral ini sebagai cara untuk mempengaruhi pejabat negara agar lurus dan baik. Di sisi lain, pers perlu berpikir bagaimana menjaga mahasiswa dengan kekuatan moralnya. “Itu yang perlu kita (pers) pikirkan, yaitu bagaimana menjaganya,” ujar Bagir.
Ali Abdillah mengakui sejumlah aksi demonstrasi mahasiswa awalnya tidak direncanakan dengan cara kekerasan. Namun, pada saat demonstrasi berlangsung, sering muncul provokator yang menyebabkan demonstrasi berubah kekerasan.
Wartawan yang meliput demo, Ali melanjutkan, ada yang mengingatkan mahasiswa agar tidak melakukan pengrusakan, tetapi ada yang justru menyuruh membakar ban.
Di kalangan mahasiswa saat ini muncul dua pemikiran apabila demonstrasi yang mereka lakukan ingin diliput pers, yaitu demonstrasi merusak atau kreatif. “Aksi simbolik dan kreatif harus mendapat tempat tersendiri di banding kekerasan,” tegas Ali.
Menurutnya, selain demontrasi, banyak aksi akademik yang dilakukan mahasiswa. Namun, pers jarang meliputnya. Mahasiswa juga mulai menggunakan media sosial sebagai sarana demo.
“Menjadi titik tekan kita, jangan sampai demonstrasi merugikan publik. Proses kegagalan kalau sampai merugikan publik,” tambahnya.
Moratorium
Dalam diskusi ini, Anggota Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, berpendapat sudah waktunya pers membuat “moratorium” tidak memberitakan demonstrasi yang dilakukan dengan kekerasan. Pers harus lebih memberi perhatian kepada demonstrasi yang diam dan yang memiliki pesan kuat.
Ia menambahkan, perusakan fasilitas publik oleh para demonstran dapat menghancurkan kualitas hidup masyarakat. Kerugian akan kembali pada masyarakat. Pemberitaan tentang demonstrasi yang dilakukan dengan kekerasan juga tidak akan meningkatkan kualitas jurnalisme. “Kualitas hidup kita juga tidak bertambah baik,” tegasnya
Ivan Haris menanggapi positif usulan agar kalangan pers membuat “moratorium” untuk tidak meliput atau menonjolkan demonstrasi yang dilakukan dengan kekerasan. Namun, ia memberi catatan, beberapa demonstrasi yang berlangsung dengan kekerasan tetap perlu diberitakan dengan alasan yang kuat. (red)