Dewan Pers dan Yayasan Pantau Luncurkan Buku BLUR

images

Jakarta (Berita Dewan Pers) - Bertempat di Kantor Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta, pada Kamis (27/12)  Dewan Pers bekerja sama dengan Yayasan Pantau meluncurkan  buku berjudul BLUR, Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir  Informasi karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Buku ini berjudul asli BLUR: How to Know What's True In The Era of Information Overload.

Dipandu Anggota Dewan Pers, Uni Lubis, dalam diskusi peluncuran buku itu  tampil sebagai pembicara utama Andreas Harsono dari Yayasan Pantau. Turut berbicara  Pemimpin Redaksi Femina, Petty S Fatimah. Sementara Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, memberikan sambutan. Hadir dalam diskusi ini tidak hanya  kalangan wartawan, tetapi juga praktisi di bidang hubungan masyarakat.

Andreas yang adalah murid Bill Kovach ketika belajar di Universitas Harvard 1999-2000, dalam paparannya mengatakan antara lain Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah dua wartawan, dua sahabat, yang sudah menulis tiga buku bersama. Pada 1999, mereka menulis Warp Speed: America in the Age of Mixed Media. Mereka memakai kasus Monica Lewinsky guna menerangkan bagaimana kecepatan pemberitaan menekan waktu untuk verifikasi informasi, “…sources are gaining more leverage and argument is overwhelming reporting”

Pada Desember 2001, mereka menerbitkan buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Mereka memperkenalkan sembilan elemen jurnalisme. Ia jadi buku populer, sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa.

Pada April 2007, mereka menerbitkan revisi buku tersebut. Bukan revisi biasa. Mereka menambahkan satu elemen lagi untuk menambah sembilan elemen jurnalisme. Elemen ke-10 itu tentang “Hak dan Tanggung Jawab Warga.” Elemen baru ini dimunculkan karena internet mengubah dunia jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel menulis, sekarang setiap orang bisa jadi penerbit lewat blog, setiap orang bisa siaran dengan You Tube atau Vimeo, setiap orang bisa jadi komentator dengan Facebook atau Twitter.

Pada Agustus 2011, mereka menerbitkan buku ketiga Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload. Buku ini merupakan pengembangan dari elemen ke-10.  Mereka menulis, teknologi internet mengubah cara penyampaian informasi dan format pemberitaan. Secara revolusioner internet mengubah dunia informasi. Dampaknya, banyak informasi ngawur beredar di internet.

Internet praktis menghancurkan peranan ruang redaksi sebagai gate keeper informasi. Wartawan kini tak memiliki peranan buat menentukan apa yang perlu diberitakan, apa yang tak perlu. Namun, teknologi internet tak mengubah makna tentang keperluan informasi yang bermutu agar masyarakat bisa mengambil keputusan substansial buat mengatur kehidupan mereka.

Kovach dan Rosenstiel melihat sejumlah fungsi yang diminta oleh para konsumen berita dari dunia jurnalisme yakni:

Authenticator – Konsumen memerlukan wartawan untuk memeriksa keautentikan suatu informasi, mana fakta benar, mana yang dapat diandalkan. Masyarakat tak melihat wartawan hanya sebagai penyedia informasi. Mereka memerlukan wartawan untuk menerangkan bukti dan dasar untuk memahami mengapa suatu informasi bisa dipercaya. Peran authenticator memerlukan keahlian yang lebih canggih dari suatu ruang redaksi.

Sense Maker – Jurnalisme juga cocok untuk memainkan peran sebagai sense maker, menerangkan sesuatu masuk akal atau tidak. Peran ini jadi penting karena sekarang banyak informasi lewat internet yang tidak masuk akal sehat. Kebingungan dan ketidakpastian lebih sering muncul. Bill Keller dari New York Times memakai istilah “tsunami informasi.” Pasokan informasi mbludak, masyarakat menjadi kesulitan untuk menyaring mana yang masuk akal, mana propaganda, mana tipu-tipu dst.

Investigator – Wartawan harus terus berfungsi sebagai investigator guna mengawasi kekuasaan serta membongkar kejahatan dalam pelaksanaan pemerintahan. Jurnalisme yang membongkar apa yang tersembunyi, atau dirahasiakan, sangat penting untuk merawat demokrasi. Ia adalah fundamental bagi jurnalisme baru maupun lama.

Witness Bearer – Ada kejadian-kejadian tertentu dalam setiap masyarakat yang harus diamati, dipantau dan diteliti. Wartawan tetap harus berada di tempat-tempat tertentu, termasuk kantor-kantor pemerintahan, dimana mereka menjadi saksi kejadian penting. Jika sumber daya mereka kurang, maka pers harus menemukan cara untuk minta bantuan citizen reporter. Di sini ada potensi menciptakan kemitraan dengan warga. Di sini juga terletak kewajiban masyarakat untuk memberdayakan jurnalisme.

Empowerer – Ini fungsi saling pemberdayaan: wartawan dan warga. Wartawan memberdayakan warga dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam newsgathering. Warga memberdayakan wartawan dengan pengalaman dan keahlian mereka. Fungsi ini harus dimulai dengan mengakui bahwa masyarakat adalah mitra dalam jurnalisme. Ia akan menghasilkan dialog terus-menerus antara wartawan dan warga.

Smart Aggregator – Masyarakat memerlukan aggregator cerdas yang rajin menelusuri web serta menawarkan informasi bermutu kepada masyarakat. Wacana organisasi berita sebagai "taman tertutup,” yang hanya menawarkan karya mereka sendiri, sudah berakhir. Wartawan cerdas harus berbagi sumber yang bisa diandalkan, laporan-laporan yang mencerahkan, serta mengarahkan khalayak mereka ke sumber-sumber terpercaya.

Forum Organizer – Sebuah organisasi berita, baru atau lama, juga dapat berfungsi sebagai “alun-alun” dimana warga bisa memantau suara dari semua pihak, bukan hanya suara kelompok atau ideologi mereka sendiri. Jika wartawan membayangkan bahwa tujuan mereka adalah memberi inspirasi kepada masyarakat, maka forum organizer adalah fungsi yang masuk akal dan tepat buat mendorong masyarakat mengambil keputusan yang bermutu buat perbaikan pemerintahan mereka. Masyarakat memerlukan informasi bermutu, liputan dari lapangan—bukan fakta semu—serta alun-alun dimana mereka bisa mendapatkannya.

Role Model – Media baru, terutama warisan nama-nama media lama yang terkenal, jika bisa bertahan hidup, pasti akan berfungsi sebagai panutan (role model) bagi warga yang ingin jadi citizen reporter. Warga akan menengok ke wartawan untuk melihat bagaimana wartawan bekerja, meniru apa yang mereka lihat dan  mengubah apa yang mereka tidak suka. Kini banyak organisasi berita membuat kelas-kelas jurnalisme untuk warga dan mendidik warga dalam newsgathering. Kovach dan Rosenstiel memuji pendekatan ini namun wartawan harus mengerti bahwa perilaku mereka sekarang masuk ranah publik, bukan hanya laporan-laporan mereka. Mereka juga perlu jadi role model.

Tingkatkan kompetensi
Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, mengawali sambutannya dengan mengajukan pertanyaan, apakah kode etik sanggup penuhi tuntutan perubahan jenis media baru? Kalau tidak maka KEJ harus diperbarui agar KEJ tetap jadi pengontrol fungsi jurnalistik.  Jika KEJ tidak bisa mengontrol, maka negara akan mengatakan “kami tidak akan membiarkan kondisi ini, kami akan mengatur kembali apa yang kami anggap sebagai ketidaktertiban itu”.

Karena itu, seperti ditulis pada pengantar buku BLUR, Bagir Manan menegaskan wartawan perlu terus meningkatkan kompetensi, baik secara teknis sesuai perkembangan teknologi maupun secara kreatif dalam menyajikan informasi yang relevan bagi audiens. Perubahan dunia media, peran baru wartawan dan organisasi media, justru mengukuhkan perlunya memelihara disiplin dasar jurnalisme, terutama disiplin verifikasi dalam menyajikan kebenaran.

Buku BLUR menunjukkan bahwa disiplin dasar itu kini tak hanya menjadi ketrampilan wartawan. Publik pun perlu memiliki ketrampilan sama dalam memilih informasi. Publik yang kian terampil dan kritis menuntut wartawan lebih profesional dan kompeten.  “Inilah esensi BLUR,” tulisnya.
 
Petty S. Fatimah menyatakan, saat ini para pengelola media sudah lebih tahu harus berbuat sesuatu menyikapai popularitas media sosial. Media sosial adalah kanal yang menarik dan menentukan, sesuatu yang cukup sulit dilakukan oleh media tradisional. Mengutip pernyataan Kovach, kehadiran media sosial harus disikapi sebagai sarana ampuh dimana media kita jadi relevan di masa sekarang.

Endi Bayuni dari harian The Jakarta Post mengatakan, kalangan pers tidak lagi punya monopoli informasi, istilah gate keeper tidak lagi relevan. Menurutnya, terkesan citizen journalism lebih bagus dari media tradisional. Pers cenderung mengabaikan cek-ricek, cover both side cenderung ditinggalkan karena siaran berita yang lebih didahulukan.

“Cek dan ricek diabaikan, yang penting tulis saja dulu. Respon dari pihak lainnya mungkin akan datang dalam 1-2 jam kemudian," ujarnya.

Diskusi itu ditutup dengan pembagian buku Blur dan buku-buku lainnya yang diterbitkan Dewan Pers kepada setiap peserta diskusi. *

By Administrator| 28 Desember 2012 | berita |