Jakarta (Berita Dewan Pers) – Kode Etik Jurnalistik tidak membolehkan wartawan membuat berita yang memuat prasangka atau kebencian atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan (SARA). Hal ini menjadi prinsip universal yang diakui negara-negara beradab.
Hasutan kebencian berdasar SARA dianggap sangat berbahaya bagi masyarakat. Pers kita umumnya tidak tertarik dengan isu SARA ini. Kampanye SARA justru dinetralisir oleh pers.
Demikian pendapat Wakil Ketua Dewan Pers, Bambang Harymurti, saat menjadi narasumber acara dialog Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI Nasional, Selasa (14/8). Dialog yang dipandu Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, ini juga menghadirkan Faisal Basri (ekonom) dan Henry Subiakto (Staf Ahli Menkominfo).
Menurut Bambang, pers harus berpihak melawan segala cara yang dapat menimbulkan kebencian SARA. Dalam memberitakan persoalan yang sensitif SARA, kata kuncinya adalah relevansi. “Apakah relevan memuat berita seorang muslim memukul kristiani padahal kasusnya bukan agama,” ia menambahkan.
Mantan Pemimpin Redaksi majalah Tempo ini menegaskan, dalam menghadapi isu SARA, tidak cukup pers bersikap netral, tetapi harus berpihak untuk mencegahnya. “Pers mengklarifikasi dengan semangat membuktikan SARA itu tidak benar,” katanya.
Dari segala perspektif, menurut Faisal Basri, kalau isu SARA dikembangkan akan sangat berbahaya. Tetapi, masyarakat mulai tidak menerima isu SARA begitu saja, misalnya dalam pemilihan kepala daerah.
Kasus SARA tidak perlu ditutup-tutupi, karena kalau ditutup-tutupi justru bisa menimbulkan distrosi. Namun, media yang memberitakan isu SARA secara fulgar juga ditinggal pembacanya. “Isu SARA-nya bisa dibungkus dengan keadilan,” ujarnya.
Indonesia negara multikultur. Karena itu, menurut Henry Subiakto, kita tidak bisa abaikan potensi konflik antarsuku atau agama. Di negara demokrasi, kebebasan berpendapat dijamin konstitusi. Namun, apabila sudah menyangkut isu SARA, kebebasan berpendapat harus digunakan dengan hati-hati.
Ia meminta media mengedepankan empati dalam membuat berita terkait SARA agar tidak memunculkan kebencian. “Media harus mengedukasi masyarakat. Perbedaan SARA harus diterima sebagai keniscayaan. Media harus mencoba untuk mengedukasi,” katanya. (red)