Jakarta (Berita Dewan Pers) – Wartawan Indonesia masih banyak yang mengandalkan “jurnalisme pernyataan”. Misalnya, dalam polemik rencana “bantuan” Indonesia untuk Dana Moneter Internasional (IMF) akhir-akhir ini, banyak media hanya memberitakan pernyataan narasumber yang saling bertentangan tanpa mencoba melakukan analisis data sendiri. Akibatnya, muncul informasi keliru dari pers yang mengandalkan pernyataan narasumber. Wartawan perlu didorong untuk melakukan analisis data saat meliput persoalan keuangan atau ekonomi.
Demikian satu pemikiran yang muncul dalam dialog Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI Nasional, Selasa malam (10/07/2012). Dialog yang dipandu Wina Armada Sukardi ini menghadirkan tiga narasumber, Yopie Hidayat (Juru Bicara Wakil Presiden), Metta Dharmasaputra (Direktur Eksekutif Kata Data), dan Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang.
Metta mengakui, saat ini media kesulitan mencari wartawan ekonomi yang mau memecah data-data untuk memperkuat liputan. Wartawan malas melakukan riset data ekonomi. Padahal, dalam kasus bantuan untuk IMF, ada masalah serius yang harus didalami. Ditambah lagi, Pemerintah dan Bank Indonesia tidak aktif menyampaikan kepada publik apa keuntungan yang akan didapat Indonesia jika membantu IMF.
“Kita harus sesegera mungkin meninggalkan jurnalisme pernyataan. Mewajibkan wartawan untuk menganalisa data,” katanya.
Menurut Yopie Hidayat, media harus memberi tempat untuk berbagai versi pendapat yang muncul di masyarakat. Media juga bagian dari mekanisme untuk meluruskan informasi keliru yang muncul. Dalam kasus IMF, kata “membantu” telah dipahami keliru oleh banyak orang, dipaksa dikait-kaitkan dengan APBN. Padahal, ini dua masalah yang berbeda. Rencana sumbangan US$ 1 miliar itu, menurutnya, tidak diambil dari APBN, tetapi bagian dari cadangan devisa yang dikelola BI.
“Kita hidup di masyarakat internasional. Kalau mau jadi bangsa kuat dan hebat, kita harus berada di sistem itu dan memenangkannya. Posisi kita lebih baik dan kita harus bangga,” ungkapnya.
Sebaliknya, menurut Dani Setiawan, saat ini IMF dikuasai kepentingan negara lain. Bantuan kepada IMF akan menempatkan Indonesia dalam kepentingan negara-negara lain. Upaya menjaga dan memulihkan ekonomi internasional tidak tepat dilakukan dengan cara “menghidupkan” IMF.
“Kami tidak percaya IMF merupakan penolong krisis ekonomi dunia saat ini, terutama Eropa,” katanya. (red)