Mamuju (Berita Dewan Pers) – Pers dan lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman), memegang peran kunci dalam pemberantasan korupsi. “Selama dua pihak ini tidak bersih, maka korupsi akan sulit dicegah,” kata Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho, saat menjadi narasumber acara literasi media yang digelar Dewan Pers di Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (18/6).
Bekti menambahkan, salah satu syarat tercapainya pemerintahan yang baik (good government) adalah adanya kebebasan pers yang terjamin. Di sini, kelangsungan kebebasan pers sangat dipengaruhi oleh sudut pandang positif atau negatif dari masyarakat.
“Jika pers dipahami sebagai kebutuhan untuk demokrasi, maka orang cenderung melihat pers secara positif untuk memperbaiki masyarakat atau pemerintah,” kata wartawan senior RCTI ini.
Literasi Media
Acara literasi media di Mamuju ini merupakan rangkaian dari kegiatan serupa yang digelar di beberapa kota selama tahun ini. Dewan Pers menyadari peran penting masyarakat dalam upaya meningkatkan profesionalisme pers. Masyarakat didorong untuk kritis terhadap pers.
Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam diskusi yang sama mengungkapkan tujuh kebiasan buruk pejabat saat berhadapan dengan pers, yaitu menutup diri; emosional atau main hakim sendiri; tidak membedakan tanggung jawab wartawan dan pemimpin redaksi media atas berita yang bermasalah.
Kebiasan buruk lainnya, menumpuk-numpuk kasus karena berita atau tidak langsung merespon saat pertama diberitakan buruk; langsung mengadu ke polisi; menyuap wartawan; serta mengontrol pers melalui pemasangan iklan.
Tentang iklan, Agus mengingatkan prinsip pemisahan yang tegas antara berita dan iklan (prinsip pagar api). Iklan tidak boleh disajikan dalam bentuk berita. Prinsip ini harus dipegang oleh wartawan dan dipahami oleh masyarakat.
Agus melanjutkan, berita satu media pers yang selalu baik terhadap lembaga tertentu sama mencurigakannya dengan berita yang selalu jelek tentang lembaga tersebut. “Idealnya berita pers proporsional: Fakta positif dan negatif tentang lembaga tertentu diberitakan sesuai apa adanya,” katanya.
Dalam acara yang sama, mantan Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, meminta pejabat, politisi, dan pengusaha tidak memberikan uang amplop kepada wartawan. Dengan begitu keberadaan “wartawan abal-abal” (tidak profesional) dapat cepat berkurang.
“Kebiasaan memberikan uang amplop menyuburkan praktik wartawan abal-abal,” tegasnya. (red)