Dewan Pers Sosialisasikan Nota Kesepahaman dan Pedoman Media Siber

images

Jakarta (Berita Dewan Pers) - Dewan Pers terus menyosialisasikan kepada masyarakat dua nota kesepahaman yang telah ditandatangani masing-masing dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi Informasi, serta Pedoman Pemberitaan Media Siber.

Kali ini sosialisasi dilakukan di Jakarta, Selasa, (20/3/2012), dengan menghadirkan narasumber Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi dan Bekti Nugroho, serta Kadiv Hukum Polri, Brigjen Anton Setiadi.

Nota Kesepahaman Dewan Pers dengan Polri tentang Koordinasi Dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Kemerdekaan Pers ditandatangani 9 Februari 2012. Nota Kesepahaman dengan Komisi Informasi tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Dalam Mendukung Kemerdekaan Pers ditandatangani tahun lalu, 14 Juli 2011. Sementara Pedoman Pemberitaan Media Siber disahkan pada 3 Februari 2012.

Perlindungan

Wina Armada Sukardi menegaskan, Pasal 8 UU Pers yang menyebut “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum” bukan pasal deklaratif. Maknanya, ketika wartawan melaksanakan tugas jurnalistik sesuai kode etik dan UU Pers maka ia dianggap sedang melaksanakan UU.

“Orang yang sedang melaksanakan UU tidak bisa dihukum, tidak bisa dikriminalkan,” kata Wina.

Menurutnya, Nota Kesepahaman Dewan Pers – Polri ingin menegaskan pentingnya penegakan hukum di satu pihak dan perlindungan kemerdekaan pers di pihak lain. “Perlindungan kemerdekaan pers adalah bagian dari penegakan hukum,” ujarnya.

Nota Kesepahaman ini, ia menambahkan, merupakan langkah perlindungan kemerdekaan pers di tingkat “hilir”. Di “hulu”, sudah ada Surat Edaran Mahkamah Agung yang meminta para hakim yang menyidangkan kasus pers untuk meminta keterangan ahli dari Dewan Pers. Sedangkan di tingkat “tengah” direncanakan ada Nota Kesepahaman Dewan Pers dengan Kejaksaan Agung.

Brigjen Anton Setiadi menyatakan, setidaknya ada tiga kemungkinan yang terjadi dalam penanganan kasus pers oleh Polri. Pertama, kasusnya berisi dugaan pelanggaran kode etik jurnalistik yang akan diselesaikan oleh Dewan Pers. Kedua, ada bukti permulaan tindak pidana pers yang akan disidik oleh Polri. Terakhir, ada bukti permulaan tindak pidana umum, sehingga penyelidikan oleh Polri berdasar KUHP atau KUHAP.

“Repotnya ngaku wartawan tapi memeras. Ini bukan tindak pidana pers, tapi tindak pidana umum,” kata Anton.

Media siber

Media online atau media siber tumbuh subur di Jakarta dan daerah lainnya. Perkembangan ini, menurut Bekti Nugroho, ikut memunculkan persoalan etik. Misalnya, dari beberapa kali pertemuan di daerah, pengelola media siber cenderung mengabaikan verifikasi dan keberimbangan di dalam berita karena alasan mengejar kecepatan.

Komentar mengandung SARA dari pengguna media siber juga banyak muncul. Media siber turut bertanggung jawab terhadap isi komentar ini. “Media online sebagai ruang publik harus ada etikanya. Memanfaatkan internet secara sehat dan kritis,” katanya.

Selama tahun 2011, menurut Bekti, Dewan Pers menerima 43 pengaduan (26 persen) terhadap media siber. Pengaduan untuk media cetak masih tertinggi yaitu 58 persen, sisanya media elektronik 17 persen. (red)

By Administrator| 20 Maret 2012 | berita |