Jakarta (Berita Dewan Pers) – Kasus yang dialami Prita Mulyasari menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi. Karena itu, upaya kasasi yang akan dilakukannya harus didukung.
“Prita adalah korban dari pasal yang mengancam kebebasan berekspresi,” kata anggota Dewan Pers, Uni Lubis, saat menjadi narasumber dialog Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI nasional, Selasa (12/7). Dialog ini juga dihadiri pengajar dari Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Abdullah Alamudi, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim, serta Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi sebagai pembawa acara.
Uni Lubis menyatakan, Dewan Pers telah lama merisaukan keberadaan pasal-pasal tentang pencemaran nama baik (defamasi) seperti yang ada di dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang digunakan untuk menjerat Prita. “Pasal defamasi sangat rentan disalahgunakan,” tambahnya.
Menurutnya, dalam kasus Prita, terbukti Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah disalahgunakan oleh penegak hukum. “(Pasal) Ini jelas menjadi ancaman, mau dibilang maksudnya baik atau tidak,” katanya.
Edmon Makarim berpendapat, dalam persoalan Prita, yang terjadi adalah kesalahan penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Karena itu, tidak tepat kalau konten dari pasal tersebut dipersoalkan. Apalagi, perbuatan pencemaran nama baik harus diatur di dalam undang-undang.
Bagi Edmon, penyalahgunaan undang-undang tidak hanya datang dari kekuasaan, tetapi dari mana saja. UU ITE sudah mengatur jangan sampai orang menjadi korban. “Kalau ada kesalahan dalam praktek, kenapa konten dipersoalkan?” ungkapnya.
Abdullah Alamudi mengusulkan revisi UU ITE dengan membuang pengaturan tentang informasi di dalam UU tersebut. Sehingga, hanya mengatur soal transaksi elektronik. “Tidak ada lagi pencemaran nama baik di dalamnya,” katanya. (red)