Wartawan profesional perlu menguasai tiga kompetensi, yaitu kompetensi kesadaran, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan. Ketiga kompetensi ini menegaskan bahwa profesi wartawan membutuhkan pendidikan dan tanggung jawab. Sebab, peran yang dimainkan pers sangat besar. Pers adalah industri kultural yang menyosialisasikan nilai-nilai di masyarakat.
Menanggapi maraknya wartawan gadungan (bodrek) dan wartawan pemeras (amplop) ---yang merupakan sisi gelap dunia pers--- masyarakat harus mengambil peran terpenting, punya keberanian melawan, dan tidak memberi uang kepada wartawan dengan alasan apapun. Sebab tingkah laku semacam itu sangat menyimpang dari praktek wartawan yang sebenarnya.
Demikian intisari acara “Dewan Pers Menjawab” yang disiarkan langsung stasiun TVRI, Rabu, 29 November lalu, dengan tema Standar Kompetensi Wartawan. Dalam acara yang dipandu Hinca IP Pandjaitan ini hadir sebagai pembicara Lukas Luwarso, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers, Eduard Depari, Senior Corporate Communication PT RGM, dan Jamiluddin Ritongan, Pengamat Komunikasi.
Lukas berpendapat permasalahan wartawan amplop dan bodrek telah menyebabkan penilaian negatif masyarakat terhadap wartawan. Pasca Reformasi memang sangat mudah seseorang menjadi wartawan. Akibatnya banyak muncul wartawan gadungan.
Atas dasar itu Dewan Pers kemudian merumuskan buku Kompetensi Wartawan. Sebagai salah satu penulisnya, Lukas menjelaskan, buku Kompetensi yang merupakan versi 1 ini lebih diperuntukkan untuk internal komunitas pers. “Kompetensi wartawan berguna bagi wartawan yang bekerja di media yang mapan”, ungkapnya.
Sementara Eduard berpendapat kemunculan wartawan bodrek dan amplop merupakan bentuk ketidakprofesionalan wartawan. Diminta komentarnya mengenai perbandingan jumlah wartawan profesional dengan yang tidak, Eduard berpendapat jumlahnya imbang. “Secara konservatif bisa dikatakan fifty-fifty (50-50) wartawan yang profesional dengan tidak”.
Sedangkan Jamiluddin menyarankan masyarakat harus kritis dengan keberadaan wartawan, misalnya dengan menanyakan identitas ketika mereka ingin melakukan wawancara. Dengan demikian masyarakat ikut melakukan pengawasan dan membangun pers yang sehat.