JAKARTA: Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika masih berniat merevisi Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers.
Namun, rencana tersebut diletakkan dalam konteks demokrasi, bukan sarana kontrol atas pers seperti pada masa Orde Baru.
Hal itu disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Sofyan Djalil, saat berkunjung di Kantor Media Indonesia, Jakarta, Senin (22/1). "Adanya pemikiran untuk revisi UU Pers harus dilihat dalam konteks filter bagi industri pers di Indonesia dan pelaksanaan demokrasi yang sudah berjalan ini," katanya.
Menurutnya, UU Pers yang ada sekarang ini lahir dengan semangat kebebasan yang luar biasa, setelah terbelenggu di bawah kontrol yang ekstrem. Karena itu, 46 pasal dalam UU Pers \'tidak boleh\' memiliki peraturan pemerintah yang berarti sama sekali tidak ada interpretasi atas undang-undang tersebut.
Sifat UU yang seperti itu, menurut Sofyan, menjadikan institusi pers sebagai sosok suci yang tidak bisa disalahkan. Hal itu memberikan ancaman luar biasa pada pemerintah.
Misalnya dalam mengkritik pemerintah, pers sudah merasa cukup hanya memberikan hak jawab. "Kalau kita menggugat, nanti malah kita yang masuk penjara," kelakar Sofyan.
Namun ia sepakat bahwa kebebasan pers yang sudah ada sekarang tidak boleh diambil kembali. Tetapi, lanjutnya, revisi UU Pers tetap dibutuhkan yang akan berfungsi sebagai filter bahwa pers sebagai industri.
Artinya, institusi pers harus sehat yang didukung basis finansial kuat. "Jika terlalu ramai, tidak akan bisa untung," ujar Sofyan. Ia mencontohkan di Ternate ada tujuh koran yang beredar, sedangkan di Kendari ada delapan. "Siapa yang akan membeli?" tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Menkominfo juga mengatakan hal yang sama tentang televisi. Saluran televisi di Indonesia, menurutnya, terlalu banyak. Ia mengatakan, lima stasiun televisi nasional sudah mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia dan diharapkan menjurus ke tiga atau empat kelompok kepemilikan saja. "Biarkan merger sendiri-sendiri saja," katanya. (Isy/OL-01)