Perusahan Pers Harus Peduli Keselamatan Wartawan

images

Perusahaan pers wajib menyediakan peralatan dan keahlian keselamatan untuk para wartawannya. Sementara wartawan membutuhkan kesadaran untuk mematuhi standar keselamatan yang telah ditetapkan oleh perusahaannya maupun pihak lain.

Saat ini hanya sedikit perusahaan pers yang peduli dengan kebutuhan pelatihan keselamatan bagi wartawan ketika meliput di daerah berbahaya seperti konflik, bencana atau musibah. Padahal perusahaan pers wajib memenuhinya dan wartawan memiliki hak untuk mendapatkannya, khususnya untuk wartawan yang ditugaskan meliput di daerah berbahaya.

Berbagai musibah yang dialami masyarakat Indonesia belakangan ini juga menuntut agar wartawan memerhatikan soal etika pemberitaan. Sebab sering pers tidak peduli dengan privasi korban bencana saat wartawan melakukan peliputan maupun ketika berita disampaikan. Persaingan antarperusahaan pers dan kebutuhan mendapat berita eksklusif menyebabkan etika pemberitaan sering dilanggar.

Pemikiran-pemikiran di atas mengemuka dalam workshop “Etika Pemberitaan dan Keselamatan Wartawan di Tengah Konflik, Bencana, dan Musibah” yang digelar Dewan Pers di Jakarta, Rabu, 21 Maret lalu. Diskusi yang dibuka Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, ini menghadirkan pembicara Abdullah Alamudi (Anggota Dewan Pers), Rosiana Silalahi (Pemimpin Redaksi Liputan6 SCTV), Irjen Polisi Sunarno (Deputi Operasi Kapolri), dan Ignatius Haryanto (Peneliti dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan), serta Bekti Nugroho (Anggota Dewan Pers) sebagai moderator.

Rosiana mengatakan kejadian tenggelamnya kapal Levina I yang menyebabkan meninggalnya dua wartawan televisi, Suherman (Lativi) dan Mohamad Guntur (SCTV), telah menjadi tolok ukur agar faktor keselamatan diperhatian oleh perusahaan pers dan wartawan di lapangan. “Ada perintah atau tidak ada perintah keselamatan harus didahulukan” tegasnya.

Penegasan Rosi ini dikemukakan antara lain karena kebiasaan wartawan di lapangan yang sering mengabaikan prosedur keselamatan. “Perusahaan wajib menyediakaan peralatan keselamatan, tapi di lapangan tergantung pada masing-masing wartawan”.

Menurutnya tidak ada pemimpin perusahaan pers yang ingin wartawannya menjadi korban. Sebab wartawan adalah investasi yang tidak ternilai. Karena itu pelatihan keselamatan untuk wartawan SCTV akan dijadikan program prioritas. Rosi juga menegaskan kepada wartawannya agar keselamatan diutamakan.. “Harus dipahami jika Anda punya liputan eksklusif tapi pulang dengan tidak selamat maka itu bukan eksklusif”, katanya.

Ia juga mengkritik petugas di Levina I yang seharusnya tidak mengizinkan wartawan memasuki kapal. Selain karena sudah ada police line, bangkai kapal yang sudah miring dianggap tidak aman untuk dinaiki oleh puluhan orang. “Kasus ini bagian dari ketidaktegasan dari pihak berwenang. Keputusan dibuat dengan enteng untuk kondisi seperti itu”, kritiknya.

Sementara itu Abdullah menilai banyak perusahaan pers yang kurang peduli terhadap kebutuhan pelatihan mengenai keselamatan wartawan atau yang sering disebut Hostile Environment and First Aid Training (HEFAT). “Sulit menyakinkan perusahaan pers untuk mengirimkan wartawannya ke pelatihan”.

Selain kebutuhan pelatihan, menurut Abdullah, perusahaan pers juga harus tegas memberi sanksi kepada wartawan yang melanggar prosedur. Ia mencontohkan Chief Correspondent BBC di Afghanistan diberi sanksi oleh perusahaannya karena dianggap terlalu jauh ke garis depan pertempuran yang dinilai membahayakan diri dan krewnya. Sanksi diberikan dengan cara tidak memuat berita wartawan bersangkutan.

Etika
Mengenai soal etika pemberitaan, Ignatius menitikberatkan pada dua persoalan yaitu etika wartawan ketika berita dikumpulkan dan etika saat berita disiarkan. “Dalam banyak masalah etika pengumpulan berita yang harus diperhatikan adalah perasaan korban pada saat kejadian,” katanya.

Ignatius menyingggung perlunya wartawan memperhatikan kondisi korban musibah. Korban harus dihormati, misalnya dengan tidak mengajukan pertanyaan yang berat untuk dijawab. Atau tidak bertanya mengenai perasaaan korban karena itu bisa dianggap menyakitkann korban.

Menanggapi pentingnya pelatihan keselamatan bagi wartawan, Ia mengutip sebuah pendapat yang menyebut ada dua jenis wartawan yang mati di medan perang. Pertama adalah wartawan yang baru pertama kali ke medan perang. Yang satu lagi yaitu wartawan yang sudah lama di medan perang yang merasa telah “kebal”.

Sedangkan Irjen Polisi Sunarno meminta wartawan untuk memikirkan dampak negatif dari pemberitaan yang dramatis. Sebab pemberitaan seperti itu, misalnya dalam kasus kerusuhan Abepura, Papua, tahun 2006 yang menewaskan empat polisi, menurutnya dapat menimbulkan efek berbahaya bagi polisi di lapangan. “Mencegah mereka (polisi) tidak balas dendam itu sudah luar biasa”, ungkapnya.

By Administrator| 27 Maret 2007 | berita |