BANDAR LAMPUNG: Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, mengatakan gaji wartawan yang rendah merupakan salah satu penyebab utama terjadinya pelanggaran atas Kode Etik Jurnalistik.
"Banyaknya gaji wartawan yang di bawah standar upah minimum regional serta \\\'hidup dari kartu pers\\\' membuat mereka cenderung membuat berita asal-asalan, dan berakibat pada pelanggaran kode etik," katanya dalam suatu diskusi yang digelar Dewan Pers di Bandar Lampung, Selasa (3-4).
Diskusi yang dilaksanakan di salah satu hotel berbintang di Bandar Lampung itu menghadirkan pembicara, yakni Wina Armada (anggota Dewan Pers), Sutarja (Kepala Biro Humas Infokom Provinsi Lampung), Sabam Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers) dan Bambang Eka Wijaya (Pemimpin Umum SKH Lampung Post).
Diskusi tersebut digelar karena di era kebebasan pers saat ini, kalangan masyarakat banyak menilai pers kurang mematuhi etika, tidak akurat, serta tidak bertanggung jawab dalam menyajikan berita.
Selain itu banyak pers terbit "asal-asalan", mengumbar pornografi, provokatif, serta cenderung memfitnah dan menyesatkan.
Menurut Abdullah, sebanyak 29,1 persen wartawan berpendidikan sarjana (S1) masih menerima gaji di bawah Rp1 juta per bulan, dan 25,9 persen lainnya bergaji antara Rp1 juta dan Rp1,399 juta per bulan.
Abdullah yang juga pengajar pada Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Ketua Umum Institut Pengembangan Media Lokal itu mengatakan bahwa Dewan Pers menerima rata-rata 20 pengaduan masyarakat setiap bulan, atau 240--250 per tahun, yang terkait erat dengan berita-berita yang diduga melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Sebagian besar wartawan di Indonesia saat ini hanya berijazah setingkat SMA dan sedikit atau sama sekali tidak pernah mendapat pelatihan jurnalistik dan pemahaman tentang peran jurnalisme dalam demokrasi.
Akibatnya, para wartawan itu membuat berita cenderung merembet ke masalah pribadi seseorang, atau melakukan pencemaran nama baik dan melakukan pembunuhan karakter.
Pada diskusi yang diikuti oleh sekitar 94 peserta itu diikuti wartawan dari media cetak dan elektronik. Peserta diskusi juga berasal dari sejumlah organisasi kewartawanan, di antaranya PWI, KWRI, PRSNI, dan PWII. n ANT/K-2