Kewajiban lembaga publik untuk memberikan informasi menjadi salah satu urgensi keberadaan Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP) yang saat ini tengah di bahas di DPR. Jika RUU KMIP nanti disahkan menjadi UU, maka lembaga publik yang tidak mau memberi informasi bisa dihukum.
Anggota Komisi I DPR, Dedy Djamaluddin Malik, mengatakan anggota DPR solid untuk mendukung RUU KMIP. “Buktinya kita ingin KMIP menjadi payung UU Rahasia Negara. Kita berhasil mendahulukan KMIP,” katanya.
Ia menambahkan, ada tiga hal penting yang diatur dalam RUU KMIP. Pertama, soal hak publik untuk mendapatkan informasi dari lembaga-lembaga publik. Kemudian, yang terpenting, ada kewajiban bagi lembaga publik untuk memberikan informasi yang diminta. Lembaga publik yang dimaksud dalam rancangan adalah semua lembaga yang menerima hak dari uang negara.
Yang terakhir diatur yaitu menyangkut penyelesaian sengketa informasi. Dalam hal ini DPR dan pemerintah telah setuju untuk membentuk Komisi Informasi yang akan menjadi lembaga independen penyelesai sengketa.
“DPR tidak menunda-nunda tapi justeru mempercepat RUU KMIP. Tidak ada urusan dengan uang,” tegas Dedy dalam acara Dewan Pers Menjawab yang disiarkan TVRI Rabu, 18 April lalu, mengomentari kritik tentang lambatnya RUU KMIP diselesaikan oleh DPR. Dalam acara tersebut juga hadir Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, dan Dosen FISIP Universitas Indonesia, Djaka Winarso.
Leo mengatakan demokratisasi dimaknai sebagai pergeseran dari tertutup ke terbuka. Salah satunya ditandai dengan kebebasan ekspresi. Di Indonesia telah ada UU Pers yang menjamin kebebasan ekspresi. Lebih dari itu juga diperlukan hak masyarakat mendapatkan informasi dalam demokrasi.
“UU Pers telah memerintahkan pers untuk melakukan kontrol. Selama tujuh tahun banyak kendala karena ketertutupan informasi. Jika RUU KMIP disahkan maka ada kewajiban keterbukaan. Jadi, budaya “jika bisa dipersulit kenapa dipermudah” akan hilang dengan UU ini,” ungkap Leo.
Ia menambahkan dari 40 negara di dunia yang telah memiliki UU KMIP, pers di negara-negara tersebut dapat terbantu. Sebab konsep negara terbuka akan memperbesar pers yang baik dan memperkecil pers yang buruk. Misalnya di Indonesia saat ini jurnalisme investigasi yang dilakukan pers tidak berkembang karena informasi sangat tertutup.
Sementara itu Djaka menyoroti belum siapnya lembaga-lambaga publik sekarang ini, terutama di bagian Humas, untuk menghadapi tuntutan keterbukaan. “JIka UU ini (KMIP) diundangkan namun tidak dibarengi dengan kesiapan birokrasi, akan jadi masalah,” katanya.
Karena itu ia menyarankan lembaga-lembaga publik untuk menempatkan staf yang kompetensi di bagian Humas. “Jika ada political will, satu tahun sudah cukup menyiapkannya”. (red)
SMS Penonton:
“Maksud keterbukaan informasi bagus, cuma jangan idealis dan perlu bertahap. Sekarang media terlalu maju, dan pemerintah yang lagi susah kerjanya banyak untuk jawab kritikan-kritikan.” (0815.2210xxx)
“Bisakah DPR menjamin Komisi Informasi independent? Ingat, transparansi informasi jadi kata kunci untuk buka ketertutupan, seperti kasus IPDN.” (081000104xxx)
Selamat dan sukses buat pers jika UU Pers disandingkan dengan UU KMIP. Semoga Indonesia dapat segera bebas dari KKN terlebih di tingkat kabupaten terkecil.” (0852.32071xxx)
“UU Kebebasan Memperoleh Informasi sangat baik. Namun perlu diketahui bahwa menggunakan informasi untuk memeras banyak dipraktekkan oleh wartawan.” (0852.39000xxx)
“Terima kasih kepada DPR yang telah mengupayakan UU KMIP. Semoga DPR/DPRD menjadi lembaga terdepan yang siap terbuka dengan masyarakat.” (0852.52090xxx)
“Pers Indonesia kebebasan yang terkekang. RUU Kebebasan Memperoleh Informasi wajib disahkan. DPR jangan hanya sibuk menuntut tunjangan.” (0856.6227xxx)