Lembaga-lembaga independen internasional, seperti Reporters Sans Frontieres (RSF), Committee to Protect Journalist (CPJ), dan Freedom House secara rutin telah melakukan survei mengenai peringkat kebebasan pers Indonesia yang hasilnya berbeda-beda. RSF, misalnya, menempatkan peringkat kebebasan pers Indonesia di tingkat dunia lebih rendah dibanding yang diberikan Freedom House.
Perbedaan ini disebabkan jenis metode yang digunakan masing-masing lembaga tidak sama. Karena itu, dalam rangka penyusunan parameter kebebasan pers Indonesia yang akan dilakukan Dewan Pers, dapat digunakan gabungan beberapa metode. Contohnya gabungan metode dengan pendekatan advokasi, di satu sisi, dan pendekatan riset di sisi lain.
Gagasan ini muncul dalam diskusi mengenai perumusan parameter kebebasan pers Indonesia yang diselengarakan Dewan Pers di Sekretariat Dewan Pers, Jakarta, 11 Mei lalu. Acara yang dimoderatori anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, ini dihadiri puluhan peserta antara lain berasal dari pengamat dan praktisi pers, akademisi, pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi pers.
Dalam diskusi yang bertujuan untuk mendapat masukan guna penyusunan buku laporan tahunan Dewan Pers ini muncul beberapa usulan mengenai kriteria penilaian terhadap kebebasan pers di Indonesia. Kriteria yang digunakan, misalnya, perlu memerhatikan aspek perlindungan wartawan dari kekerasan, penegakan hukum kasus kekerasan terhadap pers, serta penggunaan UU No.40/1999 tentang Pers dalam penyelesaian kasus-kasus terkait pemberitaan pers.
Disamping itu aspek menyangkut penegakan kebebasan informasi dan kebebasan ekspresi juga perlu dipertimbangkan. Sebab kebebasan pers bersandingan dengan keduanya. Swasensor yang terjadi di internal pers menjadi aspek lainnya yang perlu dijadikan kriteria meskipun cukup sulit mengukurnya.
Pelaksanaan fungsi self-regulasi pers serta penerapan regulasi dari negara kepada pers penting dimasukkan sebagai parameter kebebasan pers Indonesia lainnya. Sebab jika pelaksanaan self-regulasi lebih tinggi dibanding regulasi dari negara, maka kualitas pers seharusnya juga lebih baik. Sedangkan metode jajak pendapat dapat juga dilakukan untuk memperkuat hasil survei.
Berbagai aspek sebagai tolok ukur penilaian yang diusulkan tetap harus memperhatikan kondisi sosial-kultur masyarakat Indonesia. Sebab tolok ukur kebebasan pers di negara lain belum tentu cocok digunakan di Indonesia.
Pengukuran tingkat kebebasan pers Indonesia dapat dilakukan dengan membandingkan peringkat setiap provinsi. Perbandingan ini diharapkan dapat mendorong persaingan antarprovinsi dalam penegakan dan perlindungan kebebasan pers.