Standar kompetensi wartawan yang disusun Dewan Pers mensyaratkan seorang wartawan profesional harus memiliki pengetahuan, keterampilan, serta memahami dan menaati kode etik. Wartawan juga dituntut mampu membuat berita yang menarik, atraktif, dan dibutuhkan masyarakat.
Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, mengatakan hal tersebut saat menjadi narasumber dialog Dewan Pers Menjawab yang disiarkan langsung stasiun TVRI, Rabu, 4 Juli lalu. Dialog ini juga dihadiri Troy Pantouw (Public Relations Manager) dan Kamsul Hasan (Ketua Umum PWI Jaya) dan dipandu Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi.
Leo mengatakan, dalam paradigma pers profesional, rakyat lah yang berdaulat. Maka jika ada pers tidak profesional sehingga tidak dipercaya rakyat, ia akan mati dengan sendirinya.
Tantangan pers saat ini, menurut Leo, adalah peningkatan profesionalisme dan pengelolaan perusahaan pers agar sehat. Dengan mengatasi kedua tantangan tersebut diharapkan penyalahgunaan profesi wartawan dapat berkurang dan wartawan amplop bisa hilang. Cara yang bisa ditempuh, antara lain, dengan menyediakan lembaga pendidikan jurnalistik yang berkualitas.
Amplop
Leo menambahkan, wartawan yang menolak amplop (uang) dari narasumber bisa digolongkan wartawan profesional. Selama ini keberadaan wartawan yang hanya mengejar amplop telah merusak kredibilitas pers. “Wartawan profesional adalah yang melakukan kerja jurnalistik secara teratur. Yang amatiran pasti tidak rutin,” katanya.
Ia menyarankan masyarakat untuk tegas menolak wartawan amplop. Misalnya dengan tidak memberikan uang yang diminta. Masyarakat juga perlu kritis terhadap wartawan yang datang, caranya dengan menanyakan identitas dan bukti karya jurnalistik mereka. ”Jika meminta amplop, jangan dilayani. Jika memeras lapor ke polisi,” tegasnya.
Sementara menurut Troy Pantouw ada trilogi profesi yang harus dimiliki wartawan, yaitu kompetensi, integritas moral, dan wawasan luas. Saat ini banyak wartawan yang tidak memenuhi trilogi tersebut. Contohnya ada oknum wartawan yang datang ke perusahaan dan tanpa malu-malu meminta uang. Ada juga berita dimuat tanpa konfirmasi. ”Terima kasih kepada wartawan profesional,” katanya.
Pada kesempatan yang sama Kamsul Hasan berpendapat kemerdekaan pers mendapat kritik keras sejak masa reformasi. Kritik muncul karena ada wartawan tidak profesional. Penyebab wartawan tidak profesional, antara lain, karena gaji yang diterima tidak layak. Kemudian juga muncul banyak perusahaan pers yang tidak sehat.
Bagi Kamsul gaji yang diterima wartawan memengaruhi profesionalisme mereka. Sedangkan perusahaan pers yang tidak sehat akan cenderung melanggar etika. ”Wartawan yang tidak mendapat gaji yang layak akan bermasalah di lapangan,” katanya. (red)
SMS dari Pemirsa TVRI
”Perlu lembaga pendidikan wartawan yang profesional. Kita belum punya.” (0816.49175xxx)
”Sebaiknya wartawan harus memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga independen secara nasional.” (0852.39378xxx)
”Dewan Pers selama ini belum menindak wartawan nakal. Perannya kurang efektif dalam meningkatkan profesional wartawan dan terkesan hanya mengkampanyekan kebebasan pers.” (0852.37938xxx)
”Banyak wartawan bodrek (wartawan tanpa suratkabar) sekarang ini membuat jalannya pemerintahan di daerah terganggu, karena membuat berita yang tidak obyektif. Perlu sanksi yang cukup, supaya jera.” (0815.32943xxx)
”Saya setuju kalau diadakan tes untuk jadi wartawan yang baik dan bermoral. Yang lulus baru diberi id card.” (0813.99339xxx)
”Wartawan profesional = jangan menerima atau minta imbalan dari masyarakat.” (0815.45198xxx)
”Kebanyakan wartawan yang belum memahami kode etik jurnalistik, mencari berita terkesan sambil mencari imbalan. Terutama berita yang berhubungan dengan masalah orang pemerintahan atau pegawai negeri.” (085233747xxx)