JAKARTA - Dewan Pers mengusulkan agar sejumlah pasal dalam RUU Pemilu yang bertentangan dengan kemerdekaan pers dihapus. Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Khusus RUU Pemilu di gedung DPR, Rabu (5 September).
Terhadap RUU Pemilu tentang DPR, DPD, dan DPRD, Dewan Pers mengusulkan pasal 103 yang mengatur tentang “pemberitaan kampanye” dihapus sama sekali. Pasal itu antara lain mengatur tentang larangan bagi media massa untuk menyiarkan berita selama minggu tenang masa kampanye.
“Jika pasal tersebut diterapkan, maka pemimpin redaksi media cetak dan elektronik dapat dipidana penjara antara tiga sampai enam bulan penjara dan didenda antara satu sampai lima juta rupiah. Ketentuan ini adalah upaya kriminalisasi karya jurnalistik yang sudah tidak sesuai dengan era demokrasi,” ujar Leo.
Dewan Pers mengusulkan ketentuan untuk mengatur media massa dalam pemilu cukup dibatasi pada persoalan iklan kampanye yang disiarkan melalui Lembaga Penyiaran Publik, seperti TVRI dan RRI. Sebagai lembaga penyiaran publik TVRI dan RRI wajib memberikankesempatan yang sama kepada peserta pemilu untuk menyamaikan materi kampanye.
Terhadap RUU Pemilu tentang Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Pers juga usul agar DPR menghapus pasal 57 yang berbunyi: “Media cetak dan Media elektronik dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak peserta Pilpres atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan dan/atau merugikan peserta Pilpres dalam masa tenang.” Pemimpin redaksi yang medianya melanggar ketentuan ini dapat didenda sebesar Rp. 450 juta.
Selain mengusulkan penghapusan dan pengubahan sejumlah pasal, Dewan Pers juga menyarankan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) berkerjasama dengan Dewan Pers dan KPI, jika bermaksud membuat peraturan spesifik mengenai kampanye melalui peraturan KPU.
Sudah diatur di UU Pers
Dewan Pers juga mengingatkan DPR bahwa segala ketentuan pelaksanaan kampanye pemilu yang berkenaan dengan media massa yang akan diatur dalam UU Pemilu sepatutnya merujuk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dan Kode Etik Jurnalistik; serta Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Secara prinsip ketentuan mengenai karya jurnalistik yang disebarluaskan melalui media massa sudah diatur dalam UU Pers, oleh karena itu, UU Pemilu tidak perlu mengatur secara spesifik mengenai ketentuan pemberitaan media massa dalam kaitan dengan proses pelaksanaan pemilu, agar UU Pemilu tidak terjerumus menjadi sarana penghambat kemerdekaan pers,” tambah Wakil Ketua Dewan Pers.
Wakil Ketua Dewan Pers mengingatkan, untuk mengawal pelaksanaan Pemilu 2009 dibutuhkan keterbukaan akses bagi peserta pemilu untuk berkampanye, serta ketersediaan informasi bagi publik untuk menentukan pilihannya. Media massa memiliki peran penting sebagai sarana akses komunikasi dan informasi antara peserta pemilu dan publik untuk menjamin terselenggaranya Pemilu 2009 dengan bebas, jujur, adil dan damai.
Di sisi lain, Leo Batubara juga menekankan bahwa Pers Indonesia dituntut mampu menjaga independensi dan sikap kritis dalam peliputan dan pemberitaan pemilu. Pers berpegang pada prinsip jurnalisme yang beretika dan profesional dalam menyebarkan informasi untuk mendorong terlaksananya Pemilu 2009 yang demokratis, aspiratif dan kualitatif.