JAKARTA - Saat ini banyak pers di daerah menjalin kontrak kerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda). Kontrak tersebut dimaksudkan antara lain untuk mempublikasikan melalui pers berbagai aktivitas yang dilakukan Pemda. Kontrak semacam ini bisa membuat pers terkooptasi dan hanya memberitakan hal yang baik saja mengenai Pemda.
Penilaian ini dikemukakan Direktur Eksekutif Indonesia Media Law & Police Centre (IMLPC), Christiana Chelsia Chan, saat menjadi pembicara dialog Dewan Pers Menjawab yang disiarkan secara langsung stasiun TVRI, Rabu, 5 September lalu. Acara ini juga menghadirkan pembicara Satria Naradha (Anggota Dewan Pers), Sasongko Tedjo (Pemimpin Redaksi harian Suara Merdeka, Semarang), dan Wina Armada sebagai moderator.
Menurut Chelsia, adanya kontrak kerjasama antara pers lokal dengan Pemda ini ditemukan dalam penelitian yang dilakukan lembaganya (IMLPC). Penelitian difokuskan di enam provinsi yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, berlangsung dari Januari 2006 sampai Mei 2007.
Kesimpulan dari penelitian ini, antara lain, pers lokal dalam banyak hal sulit menolak keinginan Pemda karena ikatan kontrak. “Akhirnya yang diberitakan yang baik saja,” ungkap Chelsia.
Dalam penelitian ini, lanjutnya, juga ditemukan adanya kemauan pers di daerah untuk taat kepada Kode Etik Jurnalistik. Selain itu ada beberapa kepala daerah yang merasa tidak puas dengan pers lokal kemudian berinisiatif membuat pers sendiri.
Menanggapi temuan IMLPC ini, Sasongko membenarkan ada pers lokal yang menjalin kontrak kerjasama dengan Pemda. Ia juga tidak menolak adanya kecenderungan sejumlah pers di daerah “dikuasai” Pemda akibat dari kontrak tersebut. “Tapi kalau dikatakan sampai parah saya tidak setuju,” imbuhnya.
Menurutnya kontrak dengan Pemda dapat dibenarkan sebatas untuk publikasi iklan atau advertorial, bukan dalam bentuk berita. “Domainnya harus jelas, bukan pemberitaan dan bukan penyuapan,” tegasnya.
Saat ini masih banyak masalah menyangkut rendahnya sumber daya pers lokal, terutama wartawan. Untuk mengatasi persoalan ini menuntut kesadaran bersama. Sebab sebenarnya kondisi pers adalah refleksi dari “wajah” masyarakatnya juga. Selain itu, lembaga seperti media watch dan ombudsman di perusahaan pers harus dibentuk untuk mengawasi pers. “Kurangnya pengawasan akan membuat pers berselingkuh,” ujar Sasongko.
Mengenai peningkatan sumber daya pers lokal, Satria Naradha mengungkapkan, Dewan Pers dalam dua tahun terakhir ini terus melakukan pelatihan bagi wartawan di daerah. “Untuk peningkatan profesionalisme, secara bertahap sudah dilakukan Dewan Pers,” katanya.
Terkait dengan kontrak kerjasama antara pers dengan Pemda, Satria mengingatkan, harus dibedakan antara iklan dengan karya jurnalistik. Menurutnya, karya jurnalistik tidak boleh dikontrakkan dan terpengaruh keinginan-keinginan Pemda yang mungkin saja dapat merugikan hak masyarakat untuk mendapat informasi yang benar.***
SMS PENONTOT:
“Kehadiran pers di daerah banyak juga membantu, tapi tidak dipungkiri banyak juga yang merugikan perkembangan daerah. Karena banyak pers-pers bodrex dan tidak profesional.” (08129241xxx)
“Dewan Pers tolong jaga agar kebebasan pers tetap terjamin, terutama nasib pers lokal.” (081511344xxx)
“Pers di daerah jangan menggerogoti pemerintah daerah. Buatlah berita-berita yang obyektif. Jangan berpihak dan menjadi alat sang penguasa untuk berpromosi.” (08154192xxx)
“Banyak pers menjadi corong pemerintah, pers diadu dengan pers. Coba turun ke lapangan untuk melihat. Bubarkan Pokja Pers di instansi pemerintah.” (08161855xxx)
“Semua lini pers tergantung dari SDMnya. Kalau mau jujur, tidak ada SDM yang baik tanpa kesejahteraan yang baik dan laik!” (0659-8986xxx)
“Media lokal lebih banyak yang menjadi corong-corong penguasa dengan kontrak.” (081524852xxx)