JAKARTA - Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi mengatakan, Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD (RUU Pemilu) sebaiknya fokus ke masalah Pemilu dan tidak mengatur pemberitaan pers. “Hapuskan semua ketentuan yang terkait dengan mekanisme kerja pers,” katanya saat menjadi pembicara diskusi “Kemerdekaan Pers dan Pemilu yang Demokratis” yang digelar Dewan Pers di Jakarta, 12 September lalu.
Acara diskusi ini juga mengundang pembicara Anggota Pansus RUU Pemilu DPR RI, Yasona H. Laoly, dan Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari. Diskusi yang dibuka oleh Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA ini dipandu oleh Cristiana Chelsia Chan dari Indonesia Media Law and Policy Center (IMLPC) dan dihadiri puluhan peserta dari berbagai kalangan.
Menurut Wina, pers bekerja dengan prinsip yang sama, yakni tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Berpedoman pada KEJ tersebut, wartawan memberitakan berbagai informasi dengan mempertimbangkan prinsip, misalnya, ketokohan sumber dan urgensi informasi. Prinsip ini tidak bisa dibatasi oleh RUU Pemilu yang membuat perbedaan waktu antara masa kampanye dengan masa tenang.
Mekanisme kerja pers dalam meliput pemilu, lanjut Wina, sudah tercakup secara memadai dalam KEJ, UU No.40/1999 tentang Pers, dan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. “Sebaiknya UU ini (UU Pemilu) jangan lagi memuat mekanisme pers,” tegasnya.
Sebelumnya, dalam kata sambutannya Ketua Dewan Pers, Ichlasul Amal mengingatkan, jangan sampai pers dikuasai kelompok tertentu dalam pemilu. Sebab, jika ada persaingan pers yang tidak sehat, akan menimbulkan konsekwensi buruk pada pelaksanaan pemilu. Hal ini karena antara kebebasan pers dengan pemilu demokratis saling terkait. “Kedua-duanya saling bergantung,” katanya.
Pada kesempatan yang sama Yasona H. Laoly mengungkapkan, di DPR saat ini muncul pendapat agar ada aturan untuk pers dalam meliput pemilu. Aturan ini diperlukan karena belajar dari Pemilu 2004 lalu. Saat itu ada pers yang dikuasai partai tertentu dan muncul pemberitaan yang merugikan partai lain.
Yasona menekankan, keinginan mengatur pers dalam pemilu semata-mata agar pers bisa bersikap fair. Meskipun demikian, secara pribadi ia setuju aturan mengenai pers cukup mengacu pada UU Pers, UU Penyiaran, dan KEJ yang telah menyediakan aturan dan sanksi yang tegas. Syaratnya harus ada komitmen kuat dari Dewan Pers dan KPI untuk mengawasi pers dan menegakkan keadilan untuk pihak yang dirugikan.
Untuk itu, ia misalnya mengusulkan agar Dewan Pers dan KPI membuat posko bersama untuk pengaduan dalam pemilu. “Sebagai bentuk kemauan keras menegakkan independensi pers dalam pemilu,” ujarnya.
Konglomerasi Media
Sementara itu, Muhammad Qodari mengingatkan, dalam pemilu ancaman kebebasan pers bisa datang dari penguasa-penguasa ekonomi berbentuk konglomerasi media. Saat ini kepemilikan seorang pengusaha atas sejumlah perusahaan pers yang digabung dalam group sangat mungkin memunculkan adanya kontrol informasi. “Bukan mustahil ada pihak tertentu yang mengontrol pipa informasi,” ungkapnya.
Qodari juga menyinggung munculnya fenomena politisi plus pengusaha media dalam Pemilu 2004 yang tidak tampak pada pemilu sebelumnya. Diprediksi hal sama terjadi pada pemilu 2009. Mengingat saat ini semakin banyak perusahaan pers, khususnya pers elektronik (televisi), dikuasai pengusaha yang sekaligus politisi.**