Tahun 2008 Dewan Pers Dukung Riset LPM

images

Dewan Pers akan mendukung riset-riset mengenai pers yang dilakukan Lembaga Pemantau Media (LPM) atau media watch pada tahun 2008. Dukungan dapat juga meliputi pelaksanaan seminar atau publikasi hasil riset. Di dalam anggaran Dewan Pers tahun depan, biaya untuk dukungan ini telah dialokasikan. Namun, karena jumlahnya terbatas, Dewan Pers hanya akan mendukung LPM yang memiliki proposal riset terbaik.

Rencana dukungan Dewan Pers ini terungkap dalam acara “Forum Pertemuan Dewan Pers dengan Lembaga Pemantau Media” yang diselenggarakan Dewan Pers di Bogor, 24-25 November lalu. Acara yang dibuka oleh Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA, ini dihadiri puluhan peserta dari pengelola LPM di Indonesia.

Dalam sambutannya, Ichlasul Amal meminta ada kerjasama yang lebih kongkrit antara Dewan Pers dengan LPM. Sebab masyarakat sangat berharap kedua lembaga ini dapat menyalurkan permasalahan-permasalahan mereka terkait pemberitaan pers.

Jumlah pers di Indonesia, lanjut Amal, sangat banyak sehingga memerlukan pengawasan yang lebih intensif. Pengawasan ini sangat penting untuk pengembangan kebebasan pers  yang sehat. Padahal Dewan Pers hanya ada di Jakarta. Karena itu, “Media watch sangat dibutuhkan oleh masyarakat menjadi lembaga independen yang dapat membantu mereka,” kata Amal.

Di tempat yang sama Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, mengungkapkan ada bermacam bentuk kegiatan pemantauan yang bisa dilakukan LPM. Melakukan riset, misalnya. Dewan Pers, kata Leo, siap untuk menyediakan panggung guna publikasi riset tersebut.

Kegiatan lain bisa berbentuk pengaduan ke Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia, class action untuk menolak tayangan media tak bermutu, atau boikot media serta tayangan yang tak bermutu. “Dewan Pers membutuhkan media watch untuk bersama mengkritik pers guna perbaikan pers,” tegasnya.

Presentasi
Dalam pertemuan ini setiap peserta diberi waktu untuk mempresentasikan kegiatan yang telah dilakukan selama tahun 2007 dan rencana kegiatan tahun 2008. Dari presentasi tersebut terungkap, kegiatan media watch umumnya berupa pemantauan sehari-hari kinerja pers, riset-riset tentang pers, pendidikan media literacy, dan penerbitan. Sementara kendala yang paling menonjol adalah keterbatasan dukungan dana.

Dukungan dana yang terus berkurang ini disebabkan, antara lain, karena semakin sedikitnya lembaga donor yang memberi perhatian kepada LPM, tidak seperti yang terjadi pada awal masa reformasi. Dengan rencana program yang banyak dan “berat”, seperti riset-riset ilmiah, jelas LPM tidak akan bisa bekerja tanpa dana “besar” pula.

Karena itu sebagai alternatif, agar tetap berjalan, LPM didorong untuk melakukan pemantauan “ringan” yang berbiaya murah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang tersedia. Bentuknya dapat berupa pemantauan harian terhadap pers yang dipublikasikan di website atau blog.

Temuan-Temuan Media Watch

Dalam pertemuan Dewan Pers dengan Lembaga Pemantau Media (Media Watch) ini, para peserta mempresentasikan hasil-hasil kerja mereka. Berikut kami sajikan beberapa di antaranya:

Media Watch Habibie Center (Tahun 2007):

  • Banyak media yang terlalu menggampangkan narasumber anonim. Padahal masih banyak narasumber resmi yang bisa dikutip.
  • Sejumlah media lokal tidak berimbang dalam memberitakan pelaksanaan Pilkada dengan memberi ruang yang luas bagi kandidat yang didukung oleh partai besar dan modal besar.
  • Media massa masih mengandalkan jurnalisme omongan (Talking Journalism), malas melakukan investigasi. Wartawan di lapangan sering berbagi informasi dengan rekan-rekannya (plagiat).
  • Pemberitaan kriminal di TV mengumbar kekerasan, sadisme dan cenderung tidak menaati prinsip asas praduga tak bersalah. “Reka ulang” bermain diwilayah abu-abu (grey area) antara jurnalistik dan non jurnalistik.

Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatra (KIPPAS) Medan:

  • Pemuatan gambar foto di harian Serambi Indonesia, 3 Oktober 2006, memperlihatkan sepasang pelaku khalwat (laki-laki dan perempuan) lengkap dengan pengalungan nama mereka di dada. Foto dimuat penuh dan tanpa ada upaya blocking. Pemuatan foto tersebut merupakan bentuk kekerasan lain yang dialami pelaku khalwat.
  • Berita berjudul “Listrik Padam Shalat Jumat Tergangggu, Ketua MUI Medan: Hari Minggu Kok Bisa Hidup, Ada Apa?” dimuat harian Waspada (headline), 7 Juli /2007. Kickers yang dipilih dan dikutip dari Ketua MUI Medan seharusnya pernyataan yang tidak bernuansa provokatif, bahwa PLN melakukan diskriminasi terhadap umat Islam sewaktu pelaksanaan ibadah Jumat. Pers seharusnya menghubungkan antara satu fakta (listrik mati hari Jumat) dan fakta lain (hari Minggu hidup) secara rasional, bukan dengan mem-blow up statment yang bisa menyuntik emosi umat.

Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP):

  • Riset media mengenai kejahatan seksual yang hadir di surat kabar Jakarta selama 2004-2006. Sampel: Surat kabar Pos Kota, Rakyat Merdeka, dan Warta Kota. Hasil: Kejahatan Seksual Perkosaan menempati urutan teratas dengan pelakunya adalah orang-orang yang dekat/dikenal korbannya.
  • Menyebarkan angket kepada sekitar 1178 siswa dari 25 SMA Negeri di DKI Jakarta pada pertengahan tahun 2006. Tujuan: menjaring informasi tentang aksesibilitas remaja terhadap pornografi. Hasil: remaja mengakses pornografi karena dorongan dari teman sebaya, dan pornografi yang tersedia bebas di media.
  • Pemantauan suratkabar Harian Pos Metro dan Harian Lampu Merah. Temuan: Banyak memuat materi pornografi dan pemberitaan kasus-kasus kejahatan seksual yang tidak proporsional; Pada edisi 16 Agustus 2007, menampilkan foto adegan hubungan intim yang berasal dari Video Porno Siswa Rangkasbitung. Tindakan: MTP bersama-sama dengan elemen masyarakat lain yang peduli terhadap masalah pornografi seperti ASA Indonesia, dan KIP3, melaporkannya ke Mabes Polri pada tanggal 3 September 2007.
  • Memantau program televisi. Temuan: beberapa sinetron anak bermuatan ’dewasa’. Di antaranya: Heart Series (SCTV) , My Love (SCTV) , Candy (RCTI), Juwita jadi Putri (RCTI), Roman Picisan (SCTV).  Intisari cerita: menggambarkan kisah percintaan gaya dewasa yang tidak pantas dilakukan anak-anak (pemainnya artis anak-anak). Penonton (sasaran ABG) bagaikan disuguhkan tayangan orang dewasa, terutama dalam hal penggambaran budaya pacaran sejak dini yang sebaiknya tidak di tampilkan dalam sebuah sinetron anak.*

 

By Administrator| 04 Desember 2007 | berita |