JAKARTA - SETIAP tanggap 9 Februari, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) merayakan Hari Pers Nasional. Pada tahun ini, perayaan hari pers nasional berpusat di Semarang-Jawa Tengah. Peringatan ini dihadiri oleh Presiden SBY. Dalam pidatonya, SBY mengimbau pers agar melakukan self censorship (kritik diri). Apa arti penting pernyataan SBY? Sejauh mana pers telah melakukan kritik diri? Dan sejauh mana pers telah menumbuhkan demokrasi? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dan Bekti Nugroho anggota Dewan Pers, dengan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara:
Apa makna ucapan SBY tentang self censorship tersebut?
Sebenarnya yang paling tepat mengungkapkan itu adalah kalangan dunia pers. Tapi ucapan presiden itu patut diapresiasi. Jadi, seorang wartawan profesional memang harus ketat dalam self censorship. Jadi kalau ada hasil karya jurnalistiknya, semestinya sebelum diturunkan kepada redaktur, dia harus menanyakan dirinya, apakah tulisan itu sudah pantas diterbitkan. Does it fit to print. Dengan kalau dia wartawan radio televisi, apakah sudah layak disiarkan. Alat ukurnya adalah kode etik bagi dia. Kode etik artinya, informasinya adalah fakta dan kebenaran. Kerena tugas pers profesional hanya mengemukakan fakta dan kebenaran. Karena itu dia harus bertanya apakah beritanya sudah sesuai fakta, dan kebenaran. Juga harus bertanya apakah beritanya sudah menggunakan sumber yang layak dipercaya, sumber berita itu seimbang, fakta yang ditemukan sudah diuji kebenarannya, dicek dan ricek. Terakhir, apakah beritanya berguna untuk kepentingan umum atau tidak. Wartawan profesional harus bertanya kepada dirinya, apakah berita itu sudah patut diberitakan. Alat ukurnya hal elemen dari kode etik tadi.
Jadi pers belum melakukan self censorship?
Sebenarnya ucapan SBY itu kurang tajam. Kita inginkan pejabat, menteri, polisi berani mengatakan media mana yang melanggar kode etik. Ketika saya aktif di Dewan Pers, Dewan Pers independen sudah menerima kurang lebih 1700 pengaduan. Dari pengaduan itu memang sebagian besar media yang diadukan ditemukan mereka melanggar kode etik, terutama media yang tidak berkualitas. Mereka itu melakukan pelanggaran mendasar. Misalnya, pejabat A divonis melakukan korupsi. Itu sudah menghakimi. Padahal, Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Pers mengatakan, pers tidak boleh menghakimi. Tapi hal itu sering terjadi pada media kelas dua. Dan ini banyak beroperasi di daerah tingkat II. Karena itu, Dinas Pendidikan, PU, atau instansi perizinan sering menjadi sasaran. Jadi media itu tidak mencerahkan.
Benarkah kebebasan pers telah kebablasan?
Temuan saya, khususnya media cetak berkualitas, banyak media yang memberikan pencerahan. Bacalah Tajuknya, baca halaman Opini. Media itu sangat bermanfaat, berkualitas dan memberikan pencerahan. Tapi kalau koran kuning di terminal, seolah kemerdekaan pers itu salah digunakan, kebablasan. Hasil temuan kami di Serikat Penerbit Suratkabar, jumlah media yang berkualitas di tiap provinsi ada satu atau dua koran. Di Jakarta ada tujuh sampai delapan koran.
Apakah kritikan pers sudah mengganggu SBY?
Pendekatannya memang harus dua arah. Media memang dituntut undang-undang untuk mengungkapkan informasi secara tepat, akurat dan benar. Tapi pejabat juga harus belajar untuk menilai media itu tepat akurat dan benar. Saya kuatir, media profesional yang melakukan kontrol, investigasi terhadap penyimpangan yang dilakukan pejabat sudah tidak disukai pejabat. Padahal, investigasi mereka adalah temuan jurnalistik. Barangkali mereka menjadi tak tahan.
SBY misalnya mengutip contoh tulisan sebuah koran yang mengatakan "Bupati A melakukan korupsi 30 milyar. Berita itu bertentangan dengan kode etik pers?
Jelas itu melanggar kode etik. Ada media di Jakarta misalnya, diadukan Menteri Agama karena menulis berita, Menteri Agama Dulu Korupsi dan Menteri Agama sekarang juga Korupsi. Berita ini sudah menghakimi. Padahal, yang menghakimi hanya hakim. Pers itu paling menduga korupsi. Itupun didukung keterangan dan sumber yang dipercaya. Di daerah yang banyak anggaran belanjanya banyak diserbu oleh pers seperti ini. Mereka misalnya memberitakan Bupati Korupsi. Ini merusak trust. Pemberitaan seperti ini tidak boleh dilakukan.
Bukankah jika dilengkapi data pers berkewajiban memberitakan hal itu?
UU Pers Pasal 5 ayat 1 mengatakan, pers nasional harus menghormati asas praduga tak bersalah. Seorang koruptor pun kalau belum divonis hanya boleh diduga. Yang berhak memutuskan seseorang bersalah adalah hakim. Itu harus dihormati. Dan kode etik pers juga mengatakan demikian. Tapi, hal ini banyak dilanggar.
Bagaimana Anda melihat kondisi umum pers saat ini?
Temuan saya selama 8 tahun terakhir ini, keadaan umum pers kita baik. Bila dianalogikan dengan dunia kesehatan, keadaan jantung, fungsi ginjal, otaknya masih baik. Cuma kaki kudisan. Sejumlah pers kita masih kudisan karena melanggar kode etik. Tapi koran berkualitas itu, tajuk, opini, halaman depannya baik. Itu jantung sebuah koran. Media yang berkualitas ini melakukan kritik profesional. Cuma mereka sering tidak disukai pejabat karena pejabat sering tidak siap dikritik.* (Fransiskus Saverius Herdiman)
---------------
Talkshow ini terselenggara atas kerjasama Dewan Pers, Yayasan TIFA, dan Radio 68H.