Koalisi untuk Kebebasan Informasi Publik dan Dewan Pers menggelar konferensi pers di Sekretariat Dewan Pers, Jakarta, 25 Februari lalu. Konferensi ini untuk merespon sejumlah pasal dalam RUU Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) yang dinilai justeru bertolakbelakang dengan semangat keterbukaan. Di bawah ini pernyataan Koalisi selengkapnya:
“Keterbukaan di Ujung Tanduk”
Pemerintah Mempertaruhkan Nasib RUU Keterbukaan Informasi Publik
(RUU KIP)
[Jakata, 25/02/08]. Nasib jaminan hukum bagi keterbukaan informasi publik semakin tidak jelas. Perjalanan panjang pembahasan RUU Keterbukaan Informasi Publik sejak tahun 2000 yang didorong oleh kalangan kelompok masyarakat sipil justru tidak mematangkan pola berpikir legislator kita, khususnya pemerintah. Alhasil, RUU Keterbukaan Informasi Publik terancam menjadi RUU Ketertutupan Informasi Publik.
Pertarungan kepentingan dalam pembahasan RUU KIP semakin memperlihatkan secara jelas bahwa pemerintahan kita masih dibawah bayang-bayang rezim ketertutupan. Setidaknya hal ini terlihat dari alotnya pembahasan RUU KIP dan beberapa catatan atas pola pikir pemerintah yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan informasi. Masyarakat yang secara prinsip memiliki hak informasi atas penyelenggaraan negara dan kepentingan publik harus menyatakan alasan yang dapat diterima oleh badan publik untuk mendapatkan informasi yang nyata-nyata dalam RUU KIP telah dinyatakan sebagai informasi yang terbuka. Terbayanglah dibenak kita bahwa sebuah alasan harus dapat diterima terlebih dahulu oleh badan publik agar permintaan tersebut menimbulkan kesediaan untuk membuka suatu informasi publik. RUU KIP yang seharusnya mengatur tentang hubungan antara peminta informasi dengan badan publik selaku penguasa –bukan pemilik- informasi akhirnya juga bergeser mengatur pula tentang penggunaan informasi publik yang nyata-nyata terbuka.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang jelas-jelas didirikan untuk mengemban amanat konstitusi kita pada Pasal 33 UUD NKRI 1945 dan bertujuan menyelenggarakan ****onomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana juga tercantum dalam UU 19/2003 tentang BUMN justru dijauhkan dari kontrol masyarakat. Upaya menjauhkan BUMN dari kontrol masyarakat terlihat dari pemerintah yang belum rela mengkategorikan BUMN secara tegas dan jelas sebagai badan publik yang wajib memberikan informasi publik. Bagaimana mungkin suatu demokrasi ekonomi terwujud jika peran masyarakat untuk mengontrol BUMN dipersulit. Bagaimana mungkin masyarakat sejahtera melalui penyelenggaraan BUMN jika informasi tentang BUMN saja tidak diperoleh. Alih-alih pemerintah beralasan akan mengurangi daya saing BUMN, melindungi kekayaan intelektual, dan ****onomian nasional. Pertanyaannya mengapa BUMN kita selama ini tanpa RUU KIP toh semakin terpuruk dan tidak berdaya saing? Suatu alasan yang tidak masuk akal. Jika ketakutannya itu, RUU KIP memiliki pengaturan tentang kewajiban untuk merahasikan informasi selama jika dibuka akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan publik. Mungkin pemerintah lupa dan perlu kita ingatkan bahwa pemerintah melalui Menteri BUMN dan BUMN sendiri selama ini juga telah mendengung-dengungkan Good Corporate Governance. Lalu apa makna Good Corporate Governance jika tanpa keterbukaan informasi. Sesuatu yang patut kita pertanyakan.
Lebih parah lagi, RUU KIP melalui Pasal 49 juga mencantumkan ancaman sanksi bagi penggunaan informasi publik yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tanpa kejelasan penggunaan seperti apa yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terbayanglah dibenak kita betapa banyaknya peraturan perundang-undangan yang selama ini lahir dibawah semangat ketertutupan. Artinya RUU KIP terancam gagal menjadi penyelaras berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini bertentangan dengan semagat keterbukaan. Bagaimana mungkin masyarakat yang telah mendapatkan informasi publik berdasarkan RUU KIP justru diancam pidana dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan lainnya yang selama ini lahir dari era keterutupan. Tidak berlebihan jika RUU KIP ini dianggap justru tidak mendidik masyarakat kita untuk lebih berani. Lebih berani meraih hak asasi-nya yang jelas-jelas dijamin konstitusi, peraturan perundang-undangan tertinggi dalam suatu negara hukum yang demokratis. Lebih berani menyatakan pendapat dan melakukan kontrol untuk kepentingan nasibnya atas pengelolaan sumber daya publik atas nama kepentingan publik. Mengapa, karena masyarakat takut dengan ”pasal karet” yang sewaktu-waktu dengan mudah dapat memenjarakannya. Kondisi tersebut adalah salah satu ciri masyarakat dalam bayang-bayang rezim ketertutupan. Apakah RUU KIP harus dibawa kearah demikian? Sangat mungkin terjadi jika pemerintah tetap bersikukuh dengan memasukkan pasal karet tersebut.
Untuk itu, kami koalisi masyarakat sipil peduli dengan nasib keterbukaan bangsa ini. Kami menuntut agar para legislator kita, khususnya pemerintah tidak mempertaruhkan nasib RUU Keterbukaan Informasi Publik yang dapat mengingkari semangat batin konstitusi UUD 1945 sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Untuk itu pemerintah harus:
- Menghapuskan Pasal 49 RUU KIP yang mengancam pidana bagi pengguna informasi publik;
- Memasukkan BUMN/BUMD secara tegas dan jelas sebagai salah satu badan publik dalam RUU KIP dan mengatur informasi yang dikecualikan atas BUMN/BUMD dengan menerapkan prinsip ketat, terbatas, dan tidak mutlak sebagaimana dalam RUU KIP tersebut; dan
- Menghapuskan kewajiban masyarakat untuk mengemukakan alasan dalam meminta informasi publik yang nyata-nyata telah ditetapkan sebagai informasi terbuka.*
Koalisi Untuk Kebebasan Informasi Publik
AJI, Bina Desa, CETRO, DESANTARA, ELSAM, ICRP, ICW, IPC, ICEL, IICT, ISAI, Imparsial, KONTRAS, KRHN, LBH Jakarta, LBH Medan, LBH Semarang, LeIP, LSPP, MTI, PSHK, Pattiro, TII, Solidaritas Perempuan, YLKI, YAPPIKA, Yayasan SET, Yayasan TIFA, Yayasan VAB
(Kontak person: Bejo Untung (Yayasan SET). HP. 0817.6030417)